Jumat, 12 Agustus 2011

Kesaksian

Suatu Perjalanan Pulang ke Rumah
oleh Rosalind Moss

Sewaktu saya mulai melakukan suatu hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya - yaitu untuk mempelajari klaim-klaim Gereja Katolik - saya bersandar pada doa, khawatir bahwa yang jahat akan menipu dan membuat saya tiada berguna bagi kerjaan Kristus yang telah saya kenal dan kasihi.

Saya dibesarkan di suatu keluarga Yahudi, yang masih merayakan banyak dari tradisi-tradisi Yahudi, setidaknya di saat saya masih kecil. Saya ingat punya suatu perasaan khusus bahwa Allah yang tunggal adalah Allah kami dan bahwa kami adalah umat-Nya. Akan tetapi ketika saya mulai tumbuh besar dan menempuh jalan kami masing-masing, banyak hal yang kami tinggalkan di belakang. Akhirnya kakak laki-laki saya, David, menjadi seorang ateis, dan saya, mungkin, menjadi seorang agnostik (tidak peduli eksistensi Allah).

Pada musim panas tahun 1975 (saat itu kami berusia tigapuluh tahunan) saya mengunjungi David. Selama bertahun-tahun David telah mencari kebenaran, mencari makna hidup ini, dan untuk memastikan apakah Allah itu sungguh-sungguh ada. Seringkali saya berpikir pada diri sendiri,

Apa yang membuat kamu berpikir bahwa kebenaran itu ada?! ... bahwa ada sesuatu hal yang merupakan kebenaran? Dan apa yang membuat kamu berpikir bahwa kamu bisa menemukannya? Bukankah serupa seperti layaknya mencari jarum di tumpukan jerami? Dan bagaimana kamu akan mengenalinya?

Bahkan sekalipun kebenaran itu ada, dan kamu dapat menemukannya, dan kamu tahu ketika kamu telah memilikinya ... dan bahkan jika kebenaran itu berada bahwa Allah itu ada - lalu apa selanjutnya? Bagaimana dengan mengetahui kebenaran itu bisa membuat suatu perubahan dalam hidupmu?

Pada percakapan kami dalam pertemuan ini, David menceritakan kepada saya bahwa dia telah menemukan suatu artikel yang mengatakan bahwa ada orang-orang Yahudi - orang-orang keturunan Yahudi - yang masih hidup, di dunia ini, yang percaya bahwa Yesus Kristus adalah Mesias orang Yahudi - Sang Mesias (!) yang masih kami tunggu-tunggu kedatangannya selama ini. Saya tidak akan pernah melupakan kekagetan yang menjalari seluruh tubuh saya pada saat itu. Pikiran saya melayang balik ke tahun-tahun ketika kami duduk di meja Paskah Yahudi dalam pengharapan akan kedatangan Mesias, menyadari bahwa Dia adalah satu-satunya pengharapan yang kami miliki. Dan sekarang David mengatakan kepada saya bahwa ada orang-orang - orang-orang Yahudi - yang percaya bahwa Dia telah datang?!

Saya berkata kepada David, "Maksudmu mereka percaya Dia telah ada disini - di dunia ini?! Dan t-a-k s-e-o-r-a-n-g-p-u-n tahu??? Dunia ini tidak berubah? Dan Dia telah pergi???!"

Sekarang lalu apa? Tiada lagi harapan, tiada yang tersisa. Ini gila-gilaan. Selain itu, engkau tidak bisa menjadi seorang Yahudi dan sekaligus percaya pada Kristus.

Dalam waktu tiga bulan sejak percakapan itu, saya telah pindah ke negara bagian Kalifornia dan bertemu dengan beberapa orang Yahudi ini yang percaya pada Kristus. Mereka tidak hanya percaya bahwa Yesus Kristus adalah Mesias bangsa Yahudi, tetapi bahwa Dia adalah Allah yang turun ke dunia! Bagaimana seseorang bisa berpikir seperti itu? Bagaimana seorang manusia adalah Allah? Bagaimana engkau bisa melihat Allah dan tetap hidup?!

Dalam satu malam yang merubah hidup saya, saya berada bersama-sama suatu kelompok orang Yahudi ini, yang kesemuanya adalah umat Kristen pengikut Kristus - semua adalah umat Kristen Protestan Injili (Evangelical-Protestant). Mereka mengatakan kepada saya bahwa Allah perlu mencurahkan darah bagi pengampunan dosa dan mereka menerangkan bagaimana, dibawah sistim kurban Perjanjian Lama, orang-orang datang setiap hari untuk mempersembahkan binatang kurban bagi dosa-dosa mereka - lembu, kambing, domba. Kalau kurban itu seekor anak domba, maka harus jantan, satu tahun umurnya, dan harus sempurna tanpa cacat atau cela. Orang tersebut akan meletakkan tangannya diatas kepala anak domba sebagai simbol bahwa dosa dipindahkan dari orang tersebut kepada binatang itu. Dan anak domba itu - yang tidak berdosa tetapi secara simbolis telah menerima dosa-dosa orang itu - lantas dijagal, dan darahnya akan dituangkan diatas altar sebagai persembahan bagi Allah untuk membayar dosa-dosa orang tersebut.

Saya tidak dapat mengerti mengapa Allah membuat binatang yang tak berdosa untuk dosa-dosa saya? Tetapi saya mulai mengerti bahwa dosa itu bukan suatu hal yang ringan dimata Allah. Mereka juga menerangkan bahwa kurban binatang itu bersifat sementara, bahwa kurban itu perlu diulang-ulang, dan bahwa kurban itu bukan persembahan yang sempurna. Kurban-kurban itu mendahului Yang Satu yang suatu waktu akan datang dan menanggung pada diri-Nya - bukan dosa seorang demi seorang - tetapi dosa-dosa seluruh dunia, dan untuk sepanjang masa.

Dan mereka menunjukkan kepada saya satu saja ayat di Perjanjian Baru, Yohanes 1:29, ketika Yesus datang dan Yohanes Pembaptis, memandang kepada-Nya dan berkata, "Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa-dosa dunia!" Anak Domba Allah - kurban satu-untuk-semua yang final, yang didahului oleh semua kurban-kurban dalam Perjanjian Lama. Sayapun terguncang. Saya tidak dapat mempercayai apa yang baru saja saya mengerti. Rintangan terbesar adalah bahwa seorang manusia tidak mungkin adalah Allah! Tetapi saya menyadari pada malam itu bahwa - jika Allah itu ada - Dia bisa menjadi seorang manusia! Allah bisa menjadi apapun atau siapapun yang Dia kehendaki; Saya tidak akan mengajari Dia bagaimana cara menjadi Allah!

Tidak lama setelah kejadian itu saya memberikan hidup saya kepada Kristus. Dan dalam waktu semalam saja Allah telah mentransformasi hidup saya. Saya nyaris sama sekali tidak tahu tentang Evangelikalisme (Injili) ataupun Protestanisme. Saya telah menjadi seorang Kristen. Saya telah memiliki hubungan pribadi dengan Allah seluruh jagat raya dan suatu alasan untuk menjalani hidup ini untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Saya ingin membawa corong suara ke bulan dan meneriakan kepada seluruh penduduk bumi bahwaAllah ada dan bahwa mereka bisa mengenal-Nya.

Pelajaran Alkitab saya yang pertama sebagai seorang Kristen baru diajarkan oleh seorang mantan Katolik, yang dirinya sendiri pernah diajarkan oleh seorang mantan imam Katolik. Jadi saya belajar sejak permulaan bahwa Gereja Katolik adalah suatu sekte, sistem agama yang semu yang membawa berjuta-juta orang tersesat. Selama bertahun-tahun saya mengajarkan tentang keburukan Gereja Katolik, mencoba untuk menolong orang-orang, bahkan keluarga-keluarga seluruhnya, dengan membawa mereka keluar dari agama buatan manusia, kedalam hubungan yang sejati dengan Kristus lewat kekristenan satu-satunya yang saya kenal dan saya percaya dengan segenap hati saya.

Kira-kira setahun setelah komitmen saya pada Kristus, David menelpon saya untuk mengatakan bahwa dia telah menjadi percaya bahwa Kristus adalah Allah dan bahwa, baginya, hal ini juga berarti memberikan hidupnya kepada Kristus. Tetapi dia belum siap untuk memberikan komitmen dirinya pada gereja manapun juga pada saat itu (meskipun dia telah menghadiri kebaktian-kebaktian Baptis). Jumlah denominasi-denominasi Protestan yang terus bertambah dan kelompok-kelompok yang memisahkan diri, bagi David adalah suatu kesaksian yang buruk akan kata-kata Kristus bahwa Dia akan membangun Gereja-Nya. Dimana persatuan? Bagaimana bisa, dia bertanya, umat Kristen yang tulus, lahir-kembali, percaya pada Alkitab, didiami dan dipimpin oleh Roh Kudus yang sama, bisa datang pada interpretasi yang berbeda-beda?

Inilah satu diantara berbagai pemikiran yang membawa David untuk mempelajari Gereja Katolik Roma. Sayapun merasa ngeri dan khawatir baginya. Bagaimana dia bisa menjadi seorang Kristen yang sejati dan percaya pada Gereja Katolik?

Waktu itu Natal tahun 1978 ketika saya mengunjungi David kembali. Dia membawa saya bertemu dengan seorang biarawan yang selama ini telah membimbingnya dalam belajar dan saya yakin adalah agen iblis dalam misi untuk menyesatkan kakak saya. Dan lalu kami pergi menghadiri Misa tengah-malam Malam Natal. Itu adalah untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di suatu gereja Katolik. Saya duduk dengan terbengong-bengong sepanjang Misa Kudus, dan juga sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Ketika saya akhirnya dapat berbicara, saya berkata kepada David: "Mirip dengan sebuah sinagoga (bait Allah - rumah ibadah orang Yahudi), tetapi ada Kristusnya!!" Dia berkata, "Benar!" Dan saya lalu menjawab, "Salah!!!! Kristus telah menggenapi hukum nabi Musa; semua ritual dan hal-hal sudah disingkirkan!" Hati saya terasa sakit. Bagaimana David bisa terjebak seperti itu? Apakah dia punya batu sandungan? Apakah dia tertarik dengan liturginya? kepada keindahan artistis, dari latar belakang Yahudi kami? Tidakkah dia bisa melihat Kristus sebagai tujuan akhir semua ini?

David menjadi Katolik pada tahun 1979. Tagihan telepon kami antara Kalifornia dan New York sangat tinggi selama tahun-tahun berikutnya. Lebih dalam dia terjun dalam apa yang saya anggap sebagai kesesatan, lebih dalam lagi saya melahap apa yang saya tahu sebagai kebenaran. Setelah menyelesaikan institut Alkitab di gereja saya, saya memasuki program paska sarjana di Talbot Theological Seminary di La Miranda, Kalifornia, sekaligus menjadi pelayan full-time ministri di lembaga permasyarakatan Lancaster, Kalifornia. Keinginan saya yang terdalam setelah lulus adalah menjadi staff di gereja setempat untuk mengajar kaum wanita, menolong mereka untuk membesarkan keluarga yang diridhoi oleh Allah dan untuk menjangkau orang-orang lain dengan Kabar Gembira.

Allah yang memberi kita keinginan-keinginan dalam hati kita adalah Allah yang sama yang membawa keinginan-keinginan ini menjadi kenyataan. Setelah tamat dari Talbot di bulan Mei 1990, saya dipanggil untuk menjadi staf suatu gereja Sahabat Injili (dari aliran Quaker) di wilayah Orange, Kalifornia, sebagai direktur pelayanan wanita. Secara doktrinal, denominasi Sahabat (Friends) ini tidak sepenuhnya sesuai dengan kepercayaan saya, karena mereka telah menghapuskan pembaptisan dan komuni. Gereja yang satu ini, akan tetapi, dibawah kepemimpinnan seorang pastor yang baru, dari latar belakang Baptis (dan mantan Katolik), telah membawa kembali pembaptisan dan komuni ke kongregasi tunggal ini dalam denominasi tersebut.

Dalam bulan transisi yang menentukan dari pelayanan penjara ke gereja lokal itu, saya kembali mengunjungi David di New York. Bulan Juni tahun 1990. Dalam salah satu percakapan maraton kami, David bertanya, "Bagaimana kok kaum Injili tampaknya tidak ingin berusaha untuk bersatu? Tidakkah Yesus berdoa bahwa kita semua akan menjadi satu ...?" Saya melihat kesulitan muncul. "Ya, Yesus berdoa supaya kita menjadi satu, seperti Dia dan Bapa adalah satu .. tetapi tanpa mengorbankan kebenaran!"

Setelah itu David menanyakan jika saya pernah membaca terbitan majalan yang berada diatas meja yang berjudul "This Rock" (Batu Karang Ini), yang disebutkannya sebagai suatu majalah "apologis Katolik". Saya bahkan tidak dapat mengerti dua kata itu bisa digabungkan jadi satu. Saya tidak pernah tahu bahwa umat Katolik punya pembelaan terhadap imannya - tak seorang Katolikpun pernah berbicara tentang Injil kepada saya. Lebih jauh lagi, saya tidak pernah mengenal umat Katolik yang peduli akan orang-orang yang tahu Alkitab.

Saya membawa majalah itu bersama sama kembali ke Kalifornia karena rasa ingin tahu, tetapi juga karena rasa hormat kepada orang-orang yang setidak-tidaknya ingin memberitahukan kepada orang-orang lain tentang apa yang dipercayainya - meskipun mereka salah sekalipun. Di dalam majalah itu ada iklan satu halaman penuh yang berbunyi: Pendeta Presbiterian Menjadi Katolik. Tidak mungkin! demikian kata saya pada diri sendiri. Saya tidak peduli apa anggapan orang itu terhadap dirinya, atau apa pekerjaannya, tidak mungkin "pendeta Presbiterian" ini bisa menjadi seorang Kristen yang sejati jika dia masuk Katolik. Bagaimana dia bisa mengenal Kristus dan tertipu?

Saya lantas memesan seri 4 kaset dari mantan pendeta Presbiterian ini (yang namanya adalah Scott Hahn) berikut perdebatan dua bagian dengan seorang profesor dari Wesminster Theological Seminary menyangkut topik justifikasi (iman saja versus iman dan perbuatan). Pernyataan penutup Scott Hahn menyarikan 2000 tahun sejarah gereja dan berpuncak dengan pemikiran bahwa mereka yang mau meneliti klaim-klaim Gereja Katolik dan menilai bukti-bukti yang ada akan sampai pada "kejutan besar dan kecengangan yang mulia" karena menemukan bahwa apa yang selama ini mereka serang dan coba membawa orang-orang keluar daripadanya, ternyata sesungguhnya justru adalah Gereja yang Kristus dirikan di dunia ini.

Kekagetan luar biasa adalah kata-kata yang bisa menjelaskan apa yang saya alami pada saat itu. "Oh tidak," pikir saya, "jangan katakan pada saya bahwa semua ini adalah benar." Pikiran itu melumpuhkan saya. Saya tidak dapat percaya apa yang saya pikirkan. Dan hal itu datang pada saat yang paling tidak menyenangkan. Dalam waktu dua minggu saya akan mulai bekerja di gereja yang baru.

Saya membaca ulang pernyataan doktrinal denominasi Friends yang segera saya akan bergabung dengannya. Ada cerita tentang pendirinya, George Fox, yang pertobatannya yang dramatis di tahun 1600 memenuhi dirinya dengan kecintaan yang mendalam pada Allah dan semangat untuk menentang penyelewengan-penyelewengan pada jamannya. Dalam keinginannya supaya Allah disembah dalam roh dan dan dalam kebenaran, Fox menghapuskan dua sakramen atau ordinansi yang tersisa, yang telah dibiarkan oleh Martin Luther, yaitu Pembaptisan dan Komuni - supaya iman jangan diletakkan pada unsur anggur, roti dan air, melainkan pada Allah yang menjadi pusatnya.

Saya menyukai semangat George Fox, tetapi saya percaya bahwa dia salah. Pembaptisan dan Komuni jelas-jelas diperintahkan dalam Kitab Suci meskipun saya percaya mereka hanya sebagai simbol saja. Lantas muncul pikiran: Bagaimana jika Luther ternyata melakukan apa yang George Fox lakukan? Bagaimana jika Luther, karena semangat dan kasihnya kepada Allah, juga menghapuskan apa yang dikehendaki oleh Allah? Nyali saya menjadi ciut dan kekhawatiran saya membesar. Apakah pikiran-pikiran saya berasal dari Allah? Apakah berasal dari setan? Saya hanya bisa menyadari bahwa dihadapan Allah, saya harus menemukan apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik.

Selama dua tahun berikutnya sebagai staf gereja Friends, saya memesan buku, pita rekaman, bahkan langganan majalah This Rock, meskipun saya tidak menyukai apapun yang berbau Katolik datang di kotakpos saya. Ketika saya memberitahu David tentang penyelidikan saya, dia menantang saya tentang doktrin Sola Scriptura. "Ros, dimana Alkitab mengajarkan tentang Sola Sciprtura?" Pertanyaan ini mengusik saya. Saya pernah mendengar sebelumnya dan saya memilih untuk mengabaikannya. "Jika," saya pikir, "engkau sungguh mengenal Kristus, jika engkau percaya Kitab Suci sebagai Firman Allah, jika Roh Kudus bekerja dalam hidupmu, menerangi dan menguatkan Firman-Nya kepadamu, engkau tidak akan menanyakan pertanyaan seperti itu. Mengapa engkau menjadikan tantangan terhadap otoritas Alkitab sebagai fokusmu dan bukannya berpegang padanya sebagai santapanmu?"

Dia mencoba meyakinkan saya bahwa dia percaya bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah, tidak bercela, tidak memiliki kesalahan dan memiliki wibawa. "Tetapi," dia bertanya, "dimana Alkitab mengatakan bahwa dirinya adalah satu-satunya otoritas? Dan dimana Kitab Suci mengatakan Firman Allah terbatas pada hal-hal yang tertulis?"

Saya menyebutkan sejumlah ayat-ayat Alkitab (2 Tim 3:16,17; 2 Pet 1:20-21, dan lain-lain), tetapi tidak satupun menjawab pertanyaan David. Bahkan ayat-ayat ini menimbulkan pertanyaan-2 lanjutan: "Bagaimana kita tahu Perjanjian Baru adalah bagian Kitab Suci? Ayat-ayat tersebut hanya merujuk pada Perjanjian Lama karena Perjanjian Baru berlum dijadikan saat itu, setidaknya tidak dalam bentuk utuh seperti sekarang. Semakin dalam saya menggali masalah ini saya berhadap-hadapan dengan fakta bahwa Kitab Suci tidak mengajarkan sola scriptura dimanapun juga.

Tanpa perlu menjelaskan maksud penyelidikan saya, saya melontarkan pertanyaan yang sama kepada para pastor dan pemimpin studi Alkitab. Tak seorangpun bisa menjadi dari Alkitab. Masing-masing datang dengan ayat-ayat yang sama seperit yang saya lihat sebelumnya dan ketika saya membalikan bahwa ayat-ayat itu tidak mengajarkan bahwa Alkitab adalah otoritas satu-satunya, mereka dengan enggan mengiyakan, dan "ayat yang mengganggu pikiran saya" tidak pernah teringat oleh siapapun. "Betapa mencengangkan," saya berpikir. "Kita mengajarkan doktrin Alkitab saja tetapi Alkitab sendiri justru tidak pernah mengajarkannya. Akan tetapi, tetap saja hal ini tidak membuktikan bahwa ada otoritas lain diluar Alkitab.

Pemikiran itu terus muncul: kaum Injili mengajarkan doktrin yang tidak ada di Alkitab sementara menyangkal bahwa ada sesuatu di luar Alkitab yang juga punya otoritas. Ada yang salah disini. Dan kalau kita salah dalam hal ini, apakah mungkin kita juga salah dalam hal lainnya? Bagaimana bisa, umat Protestan menerima Kanonisasi (standarisasi) Alkitab - percaya bahwa Allah yang memberi inspirasi pada Alkitab juga memimpin orang-orang di konsili-konsili di abad ke-4 dan ke-5 untuk mengenali kitab yang mana yang merupakan inspirasi Allah, tetapi menghapuskan banyak doktrin-doktrin utama seperti Ekaristi, Pembaptisan, Suksesi Apostolik dll? Lebih jauh lagi, pada 400 tahun pertama, sebelum kanon Alkitab difinalisasi, lebih dari 1000 tahun sebelum ditemukannya mesin cetak, iman Kristen bisa terpelihara, diteruskan secara oral dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Bagaimana bisa dalam 400 tahun terakhir kekristenan sejak masa Reformasi, dengan kanon Alkitab yang sudah ada, iman itu telah terpecah menjadi ribuan denominasi, masing-masing dengan doktrin yang berbeda dan bersaing, meskipun masing-2 mengaku "berpegang pada Firman Allah?"

Saya mulai membaca segala yang bisa saya temukan, kapanpun saya bisa, sampai saya menyadari setelah dua tahun bahwa saya harus meninggalkan gereja saya di Kalifornia dan mendedikasikan diri saya untuk menentukan jika Gereja Katolik adalah sungguh-sungguh seperti pengakuannya. Saya pindah ke New York dan mulai apa yang menjadi pencarian yang intensif selama dua setengah tahun. Selama berbulan-bulan saya membaca setiap karya Protestan Injili yng bisa saya temukan yang berseberangan pendapat dengan Gereja Katolik. Saya ingin dibebaskan dari nasib kemungkinan menjadi Katolik nantinya. Dengan kekecewaan yang besar saya menemukan bahwa para pengarang Injili ini berseberang pendapat dengan apa yang mereka percaya diajarkan oleh Gereja Katolik. Mereka berargumentasi dengan apa yang mereka percaya diajarkan oleh Gereja Katolik, dan agaknya pemahaman dan kesalah-pahaman mereak terhadap ajaran Gereja Katolik, mencerminkan perspektif Protestan darimana mereka berasal. Ucapan bijak dari almarhum Uskup Agung Fulton Sheen menjadi nyata: "Tidak ada seratus orang di Amerika Serikat yang membenci Gereja Katolik. Ada berjuta-juta orang, yang membenci apa yang secara salah mereka percaya sebagai Gereja Katolik - yang mana, tentunya, sangat berbeda."

Setiap penemuan tentang suatu ajaran Katolik membawa saya untuk kembali meneliti sejumlah doktrin-doktrin Injili. Dan dengan setiap pemikiran yang membawa saya lebih dekat dengan Gereja, suatu perasaan duka dan kematian menyelimuti saya dalam memikirkan bahwa saya akan terpisah tidak hanya dengan gereja saya di Kalifornia, tetapi dengan satu-satunya kekristenan yang telah saya kenal selama 18 tahun.

Sebelum meninggalkan Kalifornia, seorang pastor yang saya kasihi dengan siapa saya berbagi pencarian kebenaran ini, bertanya: "Jika tidak ada Gereja Katolik, apakah pemahamanmu tentang Perjanjian Baru juga akan membawamu untuk menciptakan iman Katolik?" Jawaban saya waktu itu adalah, "Itulah yang sedang saya cari tahu." Setahun sesudahnya, saya akan mengatakan begini, "Tidak, saya tidak akan sampai pada Gereja Katolik, tetapi saya juga tidak akan bersama-sama lagi dengan Protestan Injili." Saya telah menjadi seorang Kristen tanpa rumah. Saya tidak bisa memikirkan menjadi Katolik, tetapi saya juga tidak bisa kembali kepada Evangelikalisme.

Tiga buku sangat membantu saya selama pencarian ini: Essay on the Development of Christian Doctrine, Liturgy and Personality, The Spirit of Catholicism. Lebih banyak saya baca, lebih banyak saya merasakan keindahan, kedalaman, kegenapan desain Allah atas Gereja-Nya melebihi segala hal yang saya kenal. Dalam setiap hal, termasuk tiga yang paling terkenal dalam Reformasi - sola gratia, sola fide, sola scriptura - saya menjadi percaya bahwa Gereja Katolik selaras dengan Alkitab. Segala apa yang saya baca tentang ajaran dan hidup Katolik membawa saya lebih dekat kepada Gereja; sementara sebagian besar yang saya perhatikan membuat saya ingin melarikan diri daripadanya. Dimana Gereja yang saya baca di buku-buku? Dimana Gereja yang bisa disebut "rumah"?

Suatu hari Minggu, saya duduk di bangku belakang sebuah paroki Katolik yang saya kunjungi pertama kalinya. Saya mendengar imam mengatakan apa yang tidak pernah saya dengar dari orang Katolik sebelumnya. Pada konklusi pesan Injil, dia berkata kepada kongregasi, "Kita perlu memberitahukan kepada seluruh dunia!" Hati saya terpaku. Inilah pertama kalinya saya merasakan semangat untuk memenangkan jiwa-jiwa yang diteriakan dari atas mimbar sebuah Gereja Katolik.

Air mata sayapun meleleh. Sejak pertama saya bertemu Kristus, saya telah menjalani hidup ini untuk memberitahukan orang-orang tentang Dia. Saya berpikir, jika Gereja Katolik itu benar, mengapa tidak ada orang Katolik yang Evangelikal? Evangelikal (Injili) bukan sinonim dengan Protestanisme. Untuk menjadi seorang Injili adalah untuk menjadi seorang utusan: yaitu untuk menjangkau kepada dunia yang hilang dan terluka untuk memberitahukan kepada mereka tentang kabar gembira Kristus - bahwa ada seorang Juru Selamat yang datang bagi orang-orang berdosa dan memberikan nyawanya kepada semua yang mau datang kepada-Nya.

Saya bertemu dengan romo tersebut, Father James T.O'Connor, pastor paroki St.Joseph di Millbrook, New York, pada permulaan tahun 1995. Dalam dua pertemuaan dia sangat membantu saya dengan beberapa topik yang sulit, terutama menyangkut Misa Kudus dan sifat sakramental Gereja. Saya menyadari, segera sesudahnay, bahwa pertanyaan tiga tahun terjawab sudah. Saya tahu bahwa di hadapan Allah, saya perlu masuk Gereja Katolik... yang mana hal ini saya lakukan pada Paskah 1995. Saya telah menemukan Gereja yang adalah rumah saya.

Saya masih sedikit kikuk. Saya merasa seperti telah mengarungi lautan dan masih belum tahu cara navigasi. Tetapi saya tahu bahwa itu adalah kebenaran. Tidak hanya perbedaan-perbedaan doktrinal yang memisahkan Protestan Injili dengan Katolik. Tetapi suatu cara pandang yang berbeda. Dunia saya telah terbuka lebar. Segala penciptaan telah memiliki makna yang baru bagi saya.

Saya telah menyambut segala ajaran Gereja yang didirikan Kristus 2000 tahun lalu. Ini adalah Gereja tersebut, didirikan atas para rasul dan nabi, biji sesawi yang telah tumbuh menjadi sebuah pohon, yang telah dipelihara dan meneruskan iman yang suatu ketika diberikan kepada orang-orang kudus; bahwa Gereja yang telah berdiri diuji oleh waktu sepanjang jaman, setiap bidaah, kebingungan, perpecahan dan dosa. Dan inilah Gereja yang akan terus berdiri hingga akhir jaman, karena sungguh-sungguh merupakan Tubuh-Nya, dan dalam esensinya karenanya, kudus, tidak akan pernah berubah, dan abadi.

Dan rahmat demi rahmat inilah Gereja yang telah mengembalikan kepada saya kekhidmatan, keagungan, pesona yang saya kenal sewaktu saya kecil di sinagoga-sinagoga. Saya berkata kepada David suatu ketika, "Saya merasa seolah saya kembali memiliki Allah." Betapa aneh pernyataan yang keluar dari mulut seseorang yang telah mengenal Dia begitu indahnya dan setulusnya lewat Protestan Injili. Tetapi dalam kebebasan dan familiaritas ekpresi dan ibadah Injili, rasa Allah yang transenden seringkali hilang. Sungguh baik untuk membungkuk hormat dihadapanNya.

Dan saya telah melihat bahwa Allah yang transenden, telah memberikan kita Putera-Nya, dan dalam Tubuh-Nya, yaitu Gereja, melebihi apa yang bisa saya bayangkan - tidak melebihi Kristus, tidak selain daripada Kristus, melainkan Kristus seutuhnya.

"O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!" (Roma 11:33)

Selama saya masih diberi nafas oleh Allah, saya ingin memberitahukan kepada dunia tentang sang Juru Selamat dan Gereja-Nya yang satu, kudus, Katolik, dan apostolik.

Senin, 18 Juli 2011

KITAB SUCI SEBAGAI SUMBER TEOLOGI MORAL

Coff Fransiscko Uweubun
Teologi Moral adalah sebuah teologi. Seperti ilmu teologi pada umumnya, teologi moral menimba pengetahuannya dari dua sumber: iman dan akal budi, fides et ratio (Data Pewahyuan dan kemampuan berfikir manusia). Dalam pendahuluan saya sudah menjelaskan perbedaan antara Teologi Moral dan Etika. Yang membedakan Teologi Moral dan Etika ialah karena Teologi Moral menggunakan juga data pewahyuan dari Kitab Suci serta penafsiran terhadap Kitab Suci tersebut oleh Gereja yakni dalam Tradisi Apostolik dan Magisterium. Sumber akal budi membuat Teologi Moral berdialog juga dengan pendapat masyarakat manusia sepanjang sejarahnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sumber teologi moral ialah: Kitab Suci, Tradisi Apostolik, ajaran Magisterium Gereja, Suara Kaum beriman (sensus fidelium) dan Pandangan Masyarakat yang terus berkembang. Sedangkan Etika adalah cabang dari ilmu filsafat di mana dengan kemampuan rasionya manusia mencari kebenaran tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia (human actions).

1. Teologi Moral dan Kitab Suci
Judul ini memberikan kesan bahwa hubungan antara Kitab Suci dan Teologi Moral agak longgar. Dengan sengaja kesan itu ditonjolkan untuk menunjukkan bahwa Kitab Suci menjadi sumber Teologi Moral bukan secara "ready for used" (siap pakai), melainkan dengan pengertian dan metode tertentu. Gereja Katolik memakai Kitab Suci bukan secara harafiah, melainkan  secara rohaniah. Kitab Suci adalah Sabda Allah yang ditulis oleh para pengarang dengan penerangan Roh Kudus. Kitab Suci sebagai buku tertulis bisa didekati, misalnya, dengan kaca mata iman atau bisa dianggap sebagai buku yang memberi informasi tertentu tentang masa lampau. Kitab Suci bisa dianggap juga sebagai sebuah karya sastra yang ditulis oleh pelbagai macam pengarang yang mencerminkan juga suatu pandangan hidup komunitas-komunitas beriman yang menjadi tempat munculnya maha karya sastra yang disebut Alkitab itu. Dalam bagian ini akan diberikan beberapa uraian tentang hubungan antara Teologi Moral dan Kitab Suci, atau lebih tepat, bagaimana seharusnya Teologi Moral menggunakan Kitab Suci.

1.1. Teologi Moral Menimba Inspirasi dari Kitab Suci
Teologi Moral (TM) perlu menimba inspirasi dari Kitab Suci (KS) karena Teologi Moral adalah ilmu teologi. Per definitionem atau menurut arti kata “ilmu teologi” itu sendiri, maka ilmu itu  harus bersumber pada Wahyu Ilahi. Teologi Moral mengandaikan bahwa Kitab Suci berisi tentang kebenaran-kebenaran yang diwahyukan. TM mengandaikan bahwa visi tentang manusia dan dunia dalam KS dan informasi biblik tentang Yesus dari Nasaret yang adalah pewahyuan diri Allah adalah kebenaran wahyu. Pengandaian itu diterima oleh TM dari keterangan ilmu-ilmu teologi lain, misalnya eksegese atau teologi dogmatik. Bukan tugas TM untuk "membuktikan" atau memberikan keterangan lengkap tentang pengandaian tersebut. Kebenaran data wahyu dalam KS dipaparkan dalam ilmu tafsir KS. Sedangkan Teologi Dogmatik membuat sistimatisasi data-data Wahyu sehingga dapat dipahami secara lebih jelas oleh orang beriman. Maka Teologi Dogmatik sering disebut juga Teolgi Sistimatika, dengan nama-nama yang sudah dikenal secara baku misalnya: Teologi Rahmat, Teologi Penciptaan, Kristologi, Teologi Allah Tritunggal, Pneumatologi, Ekklesiologi, Mariologi, Misiologi, dan Eskatologi. Sedangkan TM menerima kebenaran Wahyu yang ditafsirkan oleh ahli KS dan kebenaran iman yang dipaparkan oleh ahli dogmatik. Berikut ini kita akan membahas cara TM menggunakan KS.

1.2. Cara Kitab Suci dipakai sebagai sumber TM
Kalau secara prinsip  diterima bahwa TM harus bersumber pada KS, maka dapat dipertanyakan bagaimana KS itu harus dipakai. Ada beberapa cara di mana KS bisa dipergunakan sebagai sumber TM. Namun cara-cara itu hanya berupa kemungkinan yang bisa dilakukan dan tiap kemungkinan itu memiliki bobot yang tidak sama. Kita perlu memilih cara yang paling tepat bagaimana TM seharusnya menggunakan KS.

1.2.1. Sebagai sumber informasi historik saja.
KS memuat data sejarah tentang masa lampu. Dari sudut TM, KS memberi informasi pula tentang "mores" (adat kebiasaan baik, norma hidup) umat Israel PL dan umat pada zaman Yesus serta para rasul. Informasi itu berguna untuk mengetahui sejarah masa lampu (PL dan PB) dan membandingkannya dengan masa kini, apa kesamaannya dan apa pula perbedaannya. Mores (kebiasaan baik) yang disebutkan di dalam KS, baik PL maupun PB menjadi sumber informasi berharga bagi kita sekarang ini yang memiliki mores (kebiasaan baik) yang berbeda sesuai dengan keadaan masyarakat. Cara memakai KS seperti ini hanya mengangggap KS sebagai buku sejarah. Nasehat moral yang diberikan dalam KS dianggap sebagai salah satu cara untuk menentukan perbuatan baik atau buruk dalam masyarakat manusia yang berbeda-beda menurut tempat dan waktu. Ajaran moral yang termuat di dalam KS kita anggap sebagai bahan perbandingan atau suatu masukan berharga. Namun ajaran itu tidak mengikat kita dan tidak berlaku sebagai landasan ajaran moral kita sekarang.

1.2.2. Sebagai argumen penguat saja (argumentum confermationis)
Kriteria tentang baik atau buruk dan benar atau salah bisa ditemukan oleh rasio manusiawi, tanpa perlu bantuan KS. Pikiran manusia sendiri bisa sampai pada kesimpulan tentang apa yang baik atau buruk bagi manusia. Ilmu Etika membuktikan hal itu. Melalui refleksi filosofis tentang perbuatan manusia, maka dengan akal budinya sendiri manusia dapat mengetahui perbuatan yang baik dan benar. Pengetahuan Etika itu kemudian menuntun manusia mendapatkan kepastian tentang kebenaran dan kebaikan perbuatannya. Tetapi kemudian hasil pemikiran manusia itu diperkuat lagi dengan data-data KS. KS dipakai bukan lagi sebagai buku sejarah, melainkan dipakai sebagai buku Wahyu. Namun wahyu itu dipakai bukan sebagai sumber, melainkan sebagai pendukung pendapat yang sudah ditemukan oleh manusia sendiri. Ayat-ayat KS dicari dan dipilih untuk memberikan konfirmasi bahwa pendapat yang sudah diputuskan oleh pikiran manusia sendiri itu memang sesuai juga dengan Firman Allah. Supaya pendapat manusia lebih meyakinkan, maka perlu dukungan dari Firman Allah. Namun sebenarnya tanpa dukungan KS pun pendapat manusia itu sudah sampai pada kebenaran secara otonom.

1.2.3. KS dipakai untuk mencari pesan utama biblik.
Kitab Suci dianggap sebagai buku Wahyu dan dianggap sebagai sumber inspirasi. KS bukan hanya dianggap sebagai pendukung pendapat yang sudah dipikirkan oleh akal budi, melainkan KS dipakai sebagai sumber dalam proses pemikiran rasional. KS dipakai sebagai dasar untuk menentukan kriteria bagi baik atau buruknya perbuatan manusia. Itu berarti bahwa pencarian kriteria baik atau buruk dilakukan dalam cahaya pesan biblik. Nilai-nilai yang diwartakan oleh KS ikut menentukan proses pencarian kriteria baik-buruk perbuatan manusia. Akal budi manusia dipakai untuk mencari kriteria-kriteria tersebut dalam cahaya inspirasi KS. Untuk itu maka penafsiran secara benar terhadap ayat-ayat KS sangat diperlukan. Kalau KS kita anggap sebagai Firman Tuhan yang memberikan tuntutan kepada akal budi manusia untuk menemukan kebenaran, maka persoalannya ialah: bagaimana memahami pesan KS itu secara baik dan benar?

1.2.4. KS dipakai untuk membangun relasi pribadi dengan Kristus
Kitab Suci sebaiknya dipakai sebagai sarana untuk mengenali Yesus Kristus dan atas cara ini seorang beriman Kristen membangun relasi pribadi dengan-Nya. Pengenalan yang baik terhadap Yesus membuat seorang beriman mendapatkan visi dan semangat hidup-Nya dan hidup sesuai dengan visi itu. Dengan demikian maka KS tidak dilihat sebagai huruf-huruf mati, melainkan sebagai Firman Allah yang mewahyukan Yesus Kristus. Cara penggunaan KS ini tidak usah mengesampingkan cara-cara lain. Tekanan utama ialah penggunaan KS sebagai sumber informasi tentang Yesus sendiri, atau lebih tepat, sebagai sumber kesaksian Gereja purba tentang bagaimana mereka menghayati dan mengalami Yesus dari Nasaret, ialah sebagai Penampakan definitif dari Allah yang hendak menyelamatkan bangsa manusia. Kita pada sekarang ini hidup dari keyakinan yang sama, sehingga pengenalan akan Kristus menjadi sangat penting bagi kita, menurut perkataan Paulus, "segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya." (Fil 3:8).
“Dengan menggunakan KS sebagai sarana perjumpaan pribadi dengan Yesus kita tidak hanya menjadikan visi Gereja purba mengenai Yesus dari Nazaret menjadi visi kita dalam tataran pengetahuan saja, melainkan dihasilkan suatu relasi personal dengan Yesus sendiri, dan bukan hanya dengan visi Gereja Purba mengenai Yesus. Dengan demikian kita bukan hanya menerima dan mengambil alih visi Gereja purba begitu saja, melainkan melalui kesaksian mereka di dalam KS, kita berkontak dengan Kristus sendiri baik seperti Dia hidup 2000 tahun lalu, maupun Dia yang hidup sekarang dalam kuasa Roh menjadi daya hidup Gereja dan setiap orang beriman. KS dipergunakan sebagai mediasi antara kita dengan pribadi Yesus Kristus sendiri."

1.3. Kesulitan-kesulitan bila KS dipakai sebagai sumber Teologi Moral
Diandaikan bahwa KS adalah sumber Wahyu Ilahi yang menjadi sarana perjumpaan personal antara orang beriman dan Yesus Kristus. Namun kesulitannya ialah bagaimana KS itu kita tangkap maknanya dalam bahasa kita dan apakah relevansinya bagi keadaan konkret kita. Kitab Suci adalah Firman Allah yang ditulis oleh manusia yang mendapatkan ilham dari Roh Kudus. Namun para penulis KS itu adalah manusia-manusia yang hidup pada zaman tertentu, dalam kebudayaan tertentu, dengan bahasa tertentu. Kenyataan tersebut menimbulkan beberapa kesulitan apabila kita ingin menangkap dengan benar dan tepat pesan Wahyu Tuhan yang tertulis dalam KS.

1.3.1. Kesulitan untuk menentukan arti teks KS
Kalau kita sudah mengandaikan bahwa KS adalah buku Wahyu yang menjadi sumber insipirasi dan sarana pertemuan personal dengan Yesus, maka kita menghadapi kesulitan bagaimana pesan Wahyu itu ditangkap secara benar. Beberapa kesulitan tersebut antara lain:
Pertama, Kitab Suci Kristen ditulis dalam bahsa Ibrani dan Yunani. KS Perjanjian Lama ditulis dalam bahsa Ibrani karena memang ditulis oleh bangsa Israel yang dianggap sebagai Umat Perjanjian. Allah mengadakan perjanjian dengan bangsa Israel untuk menjadi Allah mereka. KS Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani dan Yunani. Bagi orang-orang yang berbahasa Ibrani dan Yunani, maka masalah bahasa tidak menjadi kesulitan. Namun bagi orang-orang Kristen yang berbahasa Latin, dan kemudian bahasa-bahasa Eropa, selanjutnya bahasa-bahasa di seluruh dunia, termasuk orang yang berbahasa Indonesia, maka masalah terjemahan teks KS menjadi kesulitan yang harus diatasi. Pertanyaannya ialah apakah teks terjemahan KS bahasa Indonesia yang kita pakai adalah sesuai dengan arti asli Wahyu Allah yang terdapat dalam bahasa aslinya, yaitu bahsa Ibrani dan Yunani?
Kedua, kalau kita mengandaikan bahwa KS bahasa Indonesia itu sesuai dengan arti dan makna asli dalam bahasa asal KS, maka masih bisa dipertanyakan pula apakah teks dalam bahasa Indonesia, yang bisa pula diterjemahkan secara tidak langsung melalui bahasa perantara, misalnya diterjemahkan dari bahsa Latin atau bahasa Inggris, maka timbul pertanyaan apakah teks KS bahasa Latin dan Inggris itu sesuai dengan teks aslinya dalam KS berbahasa Ibrani dan Yunani? Apakah bisa dipercaya bahwa terjemahan dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain dengan perbedaan waktu dan perkembangan pengertian itu tidak mengubah pesan Wahyu yang asli? Karena para penerjemah KS adalah ahli-ahli KS dan ahli-ahli bahasa yang hidup dalam rentangan waktu yang sangat berbeda. Jelasnya, apakah terjemahan KS dalam bahasa-bahasa lain sampai dengan abad ke-21 ini, termasuk bahasa Indonesia, itu bisa dipercaya sebagai pembawa informasi pesan Wahyu yang asli. Bagaimana kalau selama proses penerjemahan tersebut telah terjadi pergeseran-pergeseran pengertian sehingga arti teks KS yang kita baca dalam bahasa Indonesia itu sebenarnya tidak sesuai lagi dengan isi Firman Allah pada awalnya. Kita mengandaikan saja bahwa kesulitan terjemahan ini bisa diatasi dengan baik. Kita percaya bahwa arti KS dalam bahasa Indonesia adalah Firman Allah seperti yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Allah sendiri.
Ketiga, sekarang kita sudah mengandaikan bahwa KS bahasa Indonesia adalah sesuai dengan Firman Allah yang asli. Kita percaya kepada para ahli KS yang telah memilih kata dan kalimat setepat-tepatnya untuk menerjemahkan pesan Wahyu Allah itu ke dalam bahasa kita. Teologi Moral menerima saja sumbangan besar dari para akhli KS tersebut. Teologi Moral berangkat dari pengandaian bahwa KS yang digunakan sebagai sumber ilmu teologi moral adalah benar-benar berisi tentang kebenaran iman yang diturunkan sebagai Wahyu Allah. Namun demikian, masih ada kesulitan lain lagi.
Keempat, apakah pesan Wahyu Ilahi  yang sudah diterjemahkan dengan baik dari bahasa aslinya ke dalam bahsa Indonesia itu memang sesuai dengan fakta historis.  Maksudnya, apakah  yang tertulis di dalam KS itu memang sungguh-sungguh pernah terjadi secara semikian. Misalnya, kisah tentang penciptaan langit dan bumi, kisah tentang bapa Abraham, Musa, Nabi Elia, Nabi Yesaya; dan dalam PB cerita tentang perbuatan dan kata-kata Yesus, kisah dan pengajaran St. Paulus dan seterusnya itu apakah memang sungguh-sungguh terjadi secara historis? Sebagai contoh misalnya tentang sabda dan perbuatan Yesus itu, apakah memang sungguh-sungguh diucapkan oleh mulut Yesus dan dikerjakan oleh tangan-Nya sendiri atau hanya dikarang oleh para penulis Injil bersumber dari tradisi Gereja Purba? Jadi ada masalah tentang ipsissima verba et facta Jesu (kata dan perbuatan Jesus sendiri) dan bagaimana kata dan perbuatan Yesus itu diingat dan ditafsirkan oleh para penginjil menjadi tugas kritik historik dalam penafsiran KS. Kita menerima saja bahwa pesan KS adalah autentik dalam arti bisa dipertanggungjawabkan bahwa KS memang menyampaikan fakta historik dan bahwa Sabda dan perbuatan Yesus adalah sungguh-sungguh diucapkan dan dilakukan oleh Yesus sendiri.
Kelima, setelah kita menerima keaslian KS sebagai pesan autentik dari Sabda dan Perbuatan Yesus, maka pertanyaan terakhir ialah: apakah yang dikatakan oleh Yesus itu benar? Dan apakah yang diperbuat oleh Yesus itu juga benar? Pertanyaan ini bisa dipertanyakan lagi: apa yang dimaksud dengan "benar" itu. Pun di sini Teologi Moral mengandaikan bahwa Sabda Yesus adalah benar. Misalnya kalau Yesus mengatakan bahwa Allah adalah Bapa atau Ia akan mengutus Roh Kudus atau di rumah Bapaku ada banyak tempat tinggal, atau Aku dan Bapa adalah Satu. Maka kita percaya bahwa memang demikianlah adanya. Itulah arti pewahyuan. Kita menerima informasi dari pihak Allah dan kita menjadi tahu bahwa: Allah adalah Tri Tunggal, bahwa ada Roh Kudus dan seterusnya. Kepercayaan kita ini kita dasarkan saja pada kata-kata Yesus sendiri:  “Percayalah kepada Allah dan percayalah juga kepadaKu. Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. ...”(Yoh. 14: 1-2). Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaanNya." ( Yoh.14:2;10).

1.3.2. Kesulitan untuk menentukan relevansi teks KS bagi situasi zaman yang berbeda.
Kesulitan ini muncul dari kenyataan bahwa KS adalah Wahyu Allah dalam bahasa manusia yang “dibungkus” dalam budaya tertentu dan pada kurun waktu tertentu. Gereja mengajarkan bahwa pewahyuan resmi dan umum yang perlu bagi keselamatan bangsa manusia sudah lengkap dalam KS PB. KS sebagai pewahyuan Allah yang lengkap itu disampaikan dalam bahasa tertentu dan berisi persoalan-persoalan kehidupan yang nyata, termasuk masalah moral konkret yang hanya tersedia pada zaman itu. Persoalan-persoalan moral yang termuat di dalam KS terbatas pada realitas kehidupan manusia pada saat KS itu ditulis. Memang ada teks-teks KS yang berisi prinsip-prinsip dasar moralitas seperti misalnya yang termuat di dalam Khotbah di Bukit dalam Mat. Pasal 5 – 7. Namun persoalan moral lain yang dihadapi berkaitan dengan soal makan daging persembahan, perlukah orang disunat untuk masuk kristen, dan persoalan-persoalan lain yang masih sangat sederhana dibandingkan dengan persoalan moral yang muncul pada zaman kita.
Kita sekarang ini menghadapi banyak persoalan moral yang belum ada modelnya dan belum disebut di dalam KS. Kalau persoalan moral sekarang disebutkan di dalam KS justeru akan sangat aneh dan bercorak anakronistis. Misalnya masalah penggunaan alat-alat kontrasepsi, persoalan bayi tabung, masalah bank sperma dan donor sperma/sel telur, masalah diagnosa prenatal yang mengarah pada selective abortion, penggunaan kondom untuk mencegah penularan virus HIV, masalah kloning, masalah eutanasia,  masalah senjata nuklir dan krisis energi dan seterusnya. Kita bisa mengajukan pertanyaan: bagaimana kita dapat menggunakan ayat-ayat KS untuk menuntun kita supaya bisa memecahkan persoalan-persoalan itu? Menghadapi masalah-masalah baru yang pemecahannya tidak bisa kita temukan dalam KS, membuat kita bertanya tentang relevasi KS bagi konteks historik yang berbeda, misalnya untuk zaman kita ini.
Orang-orang beragama memiliki sikap dan cara yang berbeda-beda dalam menggunakan KS. Secara umum KS bisa digunakan atas tiga cara berikut ini.

1.3.2.1.  Pandangan Fundamentalisme
Pendapat ini melihat KS sebagai Firman Allah yang secara harafiah harus diterima, ditaati dan dilaksanakan. Pendapat fundamentalisme ini sangat menekankan bahkan memutlakkan relevansi KS bagi setiap zaman dan situasi. Apa saja yang tertulis dalam KS tetap relevan karena merupakan Sabda Allah untuk seluruh bangsa manusia. KS memuat semua persoalan manusia sampai pada akhir zaman. Apa saja yang diwahyukan Allah dalam KS tidak boleh diabaikan sedikitpun. Pendapat ini mendasarkan diri pada Mat.5:18: "Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sebelum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi." Dalam setiap agama terdapat kelompok-kelompok fundamentalis yang menganggap Alkitab sebagai satu-satunya buku kebenaran yang harus menuntun tingkah laku manusia dalam seluruh bidang kehidupan. KS adalah Buku Suci yang memuat Firman Allah dengan segala kebenaran-Nya yang harus ditaati.

1.3.2.2. Pendapat Liberal
Pendapat liberal menolak relevansi KS bagi semua masalah baru dalam koteks sejarah yang terus berubah. Setiap zaman mempunyai persoalannya sendiri yang harus dipecahkan sesuai dengan zaman itu. KS memang berisi tentang ajaran yang luhur, tetapi tidak relevan untuk setiap zaman. KS boleh dipandang sebagai harta pusaka yang sangat berharga, dibaca dan digakumi sebagai warisan sejarah yang bernilai tinggi, namun tidak ada sangkut pautnya lagi dengan kehidupan kokret manusia zaman ini yang bahkan tidak terbayangkan oleh para penulis KS itu sendiri. Konteks pesan KS banyak disampaikan melalui visi dunia tertentu atau suatu kosmologi “primitif” yang sudah ketinggalan zaman kalau dibandingkan dengan visi kosmologi modern manusia zaman sekarang. Jadi, KS tidak releven lagi untuk menjadi sumber ilmu moral pada zaman modern ini.

1.3.2.3. Pendapat yang seimbang
Persoalan relevansi KS memang sangat penting. Dari satu pihak harus diakui bahwa KS mempunyai "keterbatasan-keterbatasan" tertentu. Banyak contoh penyelesaian masalah dalam KS tidak bisa dipakai lagi. Misalnya soal perbudakan yang dihadapi Paulus dalam I Kor. 7,20-24,31. Paulus menerima praktek perbudakan, hal yang dalam zaman modern ini dikecam dengan keras bahkan oleh orang atheis. Itu berarti bahwa tidak semua yang tertulis dalam KS harus diterima secara harafiah. Pendapat fundamentalisme tidak bisa diterima. Dari lain pihak pendapat liberal juga tidak bisa diterima. Adalah tidak bijaksana menolak relevansi seluruh KS hanya karena ada beberapa atau banyak hal yang tidak sesuai dengan zaman kita. Memang ada hal-hal dalam KS yang tidak relevan lain, namun tidak semua.
Pendapat yang seimbang ini mau membela relevasi KS dengan sikap realistis terhadap KS itu sendiri. Cara yang ditempuh ialah dengan membedakan pesan dasar dari bukusnya. Pesan dasar KS adalah satu hal dan bungkusnya dalam bahasa dan kebudayaan tertentu adalah hal lain. Bungkusnya mungkin tidak relevan lagi. Tetapi isinya tetap relevan bahkan kita harus mempercayainya sebagai Sabda Tuhan. Isi pesan dasar ini misalnya: pandangan KS tentang dunia dan manusia. Pandangan KS tentang arti hidup manusia, tentang kebebasan dan kedosaan manusia, tentang kebahagiaan, tentang makna pengorbanan, penderitaan dan kematian. Pandangan KS tentang iman, pengharapan dan cinta kasih. Itu semua tetap relevan bagi setiap manusia dan bisa diterapkan dalam konteks zaman yang berbeda-beda.

1.4. Kesulitan pembacaan selektif dan penafsiran subyektif.
KS sebagai buku Wahyu perlu dibaca dan dipahami secara menyeluruh. Dalam pembacaan KS kita mengenal apa yang disebut "analogi iman" artinya kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam pelbagai tempat dalam KS itu memiliki relasi, saling melengkapi dan saling mendukung demi pemahaman yang lebih baik akan Wahyu Allah. Wahyu Allah adalah Allah yang mewahyukan diri. Allah berbicara tentang diri-Nya sendiri. Dan kebenaran Wahyu itu ialah Allah sendiri. Maka kebenaran itu satu saja, utuh, menyeluruh, dan lengkap.
Kesulitan muncul karena pewahyuan itu harus dimengerti oleh manusia yang memiliki daya penangkapan terbatas. Kita memahami isi pewahyuan itu sedikit demi sedikit. Pembacaan selektif dan pengertian subyektif terhadap KS tidak bisa dihindarkan. Setiap orang akan memilih teks-teks KS sesuai dengan kepentingannya atau situasi hidupnya. Setiap orang akan menafsirkan ayat-ayat KS sesuai dengan kemampuannya.
Kalau Teologi Moral mau memakai KS sebagai sumbernya, maka KS akan dipakai dengan kemungkinan bahaya selektivitas dan subyektivitas ini. Maka pentinglah disadari bahwa setiap penafsiran KS bercorak selektif dan subyektif. Kesadaran ini sangat penting agar seorang teolog menyadari keterbatasannya dan tidak menganggap bahwa penafsirannya itu adalah satu-satunya penjelasan yang paling benar tentang ayat-ayat KS. Kesadaran akan bahaya penafsiran yang selektif dan subyektif itu perlu diimbangi dengan usaha yang serius dan jujur agar penafsiran terhadap ayat-ayat KS bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk kalau penafsiran itu dilakukan oleh Magisterium Gereja yang memiliki kuasa di bidang pengajaran iman dan moral bagi umat beriman. Pada saatnya tema tentang Magisterium Gereja juga akan dibahas dalam bagian yang menyusul.

1.5. Enam Model penggunaan KS menurut  William C. Spohn, SJ
Apa kata seorang teolog tentang KS? Bila Teologi dan Teologi Moral akan menggunakan KS sebagai sumbernya, maka pertanyaannya ialah bagaimana KS itu dipakai atau ditafsirkan. Menurut William C. Sphom, SJ, ada enam cara menggunakan KS sebagai sumber teologi moral yang dikumpukan dari pelbagai posisi teologis. Enam model ini bukan pertanda kekacauan, melainkan kekayaan KS itu sendiri. Karena meyakini bahwa empat Injil adalah lebih baik dari pada satu Injil saja, maka Gereja Perdana sejak semula menghargai pluralisme bahkan di dalam dokumen utama iman Kristen itu. Berdasarkan pluralisme itu, maka enam paradigma penggunaan KS berikut ini juga dilihat sebagai model-model yang saling melengkapi seperti halnya keempat Injil juga saling melengkapi.

1.5.1. Paradigma “Perintah Allah” (The Command of God)
Salah satu pertanyaan moral dasar ialah “Apa yang harus saya lakukan supaya menjadi orang baik secara moral?”  (What ought I to do?).  Bila KS dipakai sebagai dasar Teologi Moral, maka jawaban atas pertanyaan itu ialah: “Dengarkanlah perintah Tuhan yang secara pribadi menyapa engkau di dalam KS, dan lakukanlah perintah itu dengan iman yang teguh!” Model penggunaan KS ini berfokus pada perikop-perikop tentang panggilan Tuhan kepada setiap orang dan bagaimana orang itu menjawab panggilan tersebut. Ada begitu banyak kisah panggilan Tuhan secara pribadi kepada individu atau kelompok bangsa manusia. Contohnya dalam PL, panggilan Bapa Abraham, Musa, Nabi Elia dan Elisa, Raja Daud dan Salomo; juga panggilan umat Israel, panggilan suku Lewi, panggilan pertobatan kepada orang Ninive dan seterusnya. Demikian pula dalam PB Yesus memanggil para rasul, para murid dan orang-orang yang percaya kepada-Nya. Tuhan memanggil setiap orang dari suku, bangsa dan bahasa dalam setiap zaman. Mereka semua harus menjawab panggilan Tuhan itu dengan iman mereka.
Namun kelemahan dari pendekatan ini ialah bahwa perintah Tuhan di dalam KS itu tidak diberikan secara konkret, melainkan secara umum. Perintah-perintah yang konkret pun seperti misalnya Sepuluh Perintah Allah adalah merupakan pedoman umum bagi setiap individu dalam situasinya yang nyata. Sepuluh Perintah Allah pun paling-paling hanya merupakan rambu-rambu yang memberikan arah dan memberikan batasan tentang pola tingkah laku yang berkenan pada Allah. Perintah Tuhan itu bagaikan garis putih marka jalan yang berfungsi sebagai pengatur lalu lintas supaya para pengguna jalan tidak saling bertabrakan, namun yang tidak mengajari para pengemudi bagaimana caranya mengemudi dengan benar di jalan raya.
Masalahnya ialah bagaimana kita dapat mengetahui kehendak Tuhan di dalam KS itu? Disposisi batin yang bagaimanakah yang membuat kita mampu menangkap kehendak Tuhan bagi situasi hidupku kini dan di sini? Pengalaman rohani yang seperti apakah yang membuat seorang beriman dapat melihat kewajibannya sebagai perintah yang datang dari Tuhan sendiri? Dalam hal ini kiranya kita perlu meneladan Yesus Kristus sendiri tentang bagaimana Ia melihat hidup-Nya sebagai panggilan untuk malaksanakan Perintah Bapa-Nya. Kita perlu memiliki semangat kebebasan anak-anak Allah yang merasakan sukacita menjadi murid Yesus untuk melaksanakan kehendak Bapa.

1.5.2. Paradigma  “Pengingat Moral” (Moral Reminder)
Paradigma ini diusung oleh para moralis modern yang memiliki pandangan tertentu tentang hukum kodrati Etika Kristiani. Pertanyaan moral dasar, “apakah yang harus saya perbuat?” atau “Perbuatan baik apakah yang harus saya lakukan?” harus dijawab dengan menegaskan: I must be human! (Saya harus menjadi manusiawi). Alasannya karena Putera Allah sendiri telah memeluk kemanusiaan saya dalam misteri inkarnasi. KS mengandaikan bahwa manusia sendiri sudah bisa membedakan dengan akal budinya antara hal yang baik dari yang jahat. Kehendak Tuhan sudah diukir di dalam kodrat manusia, terlebih di dalam kemampuan rasionya, sehingga manusia mampu menangkap kehendak Tuhan melalui hukum-hukum moral yang terdapat di dalam masyarakat manusia. Seperti St. Thomas Aquinas juga mengajarkan bahwa Hukum Kristus itu pertama-tama adalah anugerah Roh Kudus yang dicurahkan di dalam hati manusia, dan yang kedua barulah yang tertulis di dalam Kitab Suci. Ajaran moral Yesus Kristus tidak membawa informasi baru tentang apa artinya menjadi manusia yang manusawi, melainkan memberikan motivasi baru tentang bagaimana menjadi manusia yang manusiawi itu. Motivasi baru itu adalah semangat Kristus atau karunia Roh Kudus yang memampukan orang kristiani menghidupi moralitas secara lebih bebas, gembira dan spontan; tidak lagi sebagai beban melaksanakan peraturan.
Menurut para moralis modern ini, ajaran moral KS juga tidak memuat ajaran yang khas kristiani, melainkan yang umum untuk semua manusia. Memang ada orang yang berusaha untuk menekankan ciri khas moral kristiani (proprium christianum) yang berbeda dari moral umum (humanum). Misalnya ditunjuk perintah Yesus untuk mengasihi musuh. Mereka berpendapat bahwa moral umum tidak akan mengajarkan untuk mencintai musuh. Paling maksimal moral umum akan menghormati musuh demi kemanusiaan. Namun Josef Fuchs, dosen Teologi Moral di Universitas Gregoriana, Roma, berpendapat bahwa mencintai musuh juga adalah bagian dari moral umum. Jika tidak demikian, maka harus disimpulkan bahwa untuk orang non-kristiani diizinkan untuk membenci musuh. Kenyataannya orang non-kristenpun tentu tidak dibenarkan untuk membeci musuh. Maka ternyata KS berfungsi bukan untuk menunjukkan perintah-perintah moral yang baru dan khas kristiani, melainkan hanya untuk mengingatkan (moral reminder) perintah-perintah moral umum yang berlaku untuk umat manusia. Yang baru ialah orientasi dan motivasi perbuatan moral didasarkan pada pertobatan hati yang radikal di dalam Yesus Kristus.



1.5.3. Paradigma Panggilan Menuju Kebebasan (Call to Liberation).
KS dipakai sebagai sumber ilmu moral untuk mendapatkan landasan bagi perjuangan pembebasan manusia. KS berisi berita gembira tentang pembebasan manusia dari kuasa dosa. KS berisi kisah-kisah tentang tindakan pembebasan yang dilakukan oleh Allah kepada umat-Nya. Dalam PL diceritakan peristiwa pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Allah menuntun umat-Nya melalui para Nabi dan para Pemimpin untuk menganugerahkan kebebasan hidup yang penuh martabat sebagai umat Allah. Kemudian Allah memberikan tanah Kanaan dan bangsa Israel menjadi bangsa yang besar di bawah pemerintahan Raja Daud dan Salomo. Ketika Israel sudah mencapai kejaannya di bawah pemerintahan para rajanya, Tuhan kemudian membebaskan mereka dari faham yang terlalu duniawi terhadap keselamatan. Maka segala simbol kejayaan duniawi itu dirobohkan dan Umat Israel dibawa ke pembuangan Babilon. Apa yang terjadi di dalam periode pembuangan itu? Di sana tampillah periode Kenabian di Israel di mana para Nabi diutus oleh Allah untuk mewartakan pembebasan bagi umat-Nya. Namun ternyata isi warta pembebasan para Nabi itu tidak terbatas pada janji bahwa bangsa Israel akan dibebaskan dari pembuangan, melainkan sampai kepada ramalan janji kedatangan Juru Selamat. Terlebih dalam Nabi Yesaya yang menubuatkan anak dara akan mengandung (Yes. 7: 10-14) dan Nabi Mikha yang menunjuk Betlehem di Efrata bukanlah tempat tekecil di Yehuda (Mi. 5: 1).
Ketika Yesus benar-benar hadir di dunia ini, Ia menjadi tanda hadirnya Kerajaan Allah melalui khotbah dan perbuatan-Nya. Ia mewartakan bahwa waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat dan kita harus percaya kepada Injil (Mrk. 1: 15). Dalam tindakannya Yesus membebaskan manusia dari pelbagai macam belenggu. Yang pokok ialah belenggu dosa yang disimbolkan dalam bentuk pelbagai macam penyakit; dan belenggu kuasa kegelapan yang dilambangkan dalam bentuk kerasukan setan. Jadi, ketika Yesus menyembuhkan penyakit dan mengusir setan, maka Yesus membebaskan manusia dari belenggu dosa dan kuasa kejahatan. Yesus mengampuni dosa dan mengusir setan. Para pejuang teologi pembebasan memakai teks-teks KS itu sebagai paradigma pembebasan umat manusia. KS dianggap sebagai sumber norma yang memberikan peneguhan bahwa perjuangan pembebasan manusia dari pelbagai macam belenggu itu adalah inti pesan KS. Teologi Pembebasan ingin mewujudkan pesan KS sebagai daya transformatif di dalam masyarakat yang dapat membawa keadaan yang lebih baik di dunia ini.

1.5.4. Paradigma “Menjawab Pewahyuan” (Response to Revelation)
KS dipakai untuk mencari tahu “apakah yang Tuhan sedang kerjakan dalam hidup saya?” (What is God doing in my life?). Pertanyaan itu diajukan telebih dahulu dan dicari jawabannya di dalam KS dan baru kemudian orang bisa bertanya “Perbuatan baik apa yang harus saya lakukan?” Pendekatan terhadap KS model ini mengandaikan bawah Tuhan terlibat di dalam sejarah kehidupan setiap orang. Tuhan memang tidak mengarahkan segala peristiwa dalam arti predestinasi atau sudah ditakdirkan terlebih dahulu, melainkan secara lebih kompleks Tuhan memberikan, menciptakan, menebus dan mengadili setiap orang.
            H. Richard Nierburh, seorang teolog protestan Amerika, yang di tengah-tengah berkecamuknya perang dunia II mengajukan pertanyaan ini: Apakah yang Tuhan sedang kerjakan di tengah-tengah perang seperti ini? Ia menelaah KS untuk mencari perspektif yang memungkinkan dia untuk memahami misteri tindakan Allah yang tersembunyi di dalam tragedi kemanusiaan itu. Ia menggunakan simbol-simbok biblis dalam bentuk pengadilan dan penyaliban untuk menafsirkan penderitaan para korban perang. Nierburh tidak berpretensi bahwa ia mengetahui pikiran Tuhan, melainkan ia merasa menemukan pola tindakan Allah dalam KS yang bisa dipakai untuk menjelaskan tindakan Allah di tengah-tengah berkecamuknya perang. Pola penggunaan KS ini membantu orang beriman untuk menemukan bentuk kehadiran Tuhan dalam kehidupan yang nyata. Menurut Niebuhr Tuhan tidak memihak kepada siapapun dalam perang yang sedang berkecamuk itu, melainkan mengajak semua pihak untuk bertobat. KS selalu menyediakan sumber inspirasi di mana kita dapat memahami kehendak Tuhan bagi kehidupan kita.

1.5.5. Paradigma Panggilan Kemuridan (Call to Discipleship)
Paradigma penggunaan KS ini langsung menunjuk pada tindakan Yesus memanggil para murid-Nya untuk mengikuti Dia. Mengikuti Yesus berarti menjadi murid-Nya. Menjadi murid Yesus itu unik sekali, pertama, Yesus yang mencari murid-murid; kedua, tidak pernah tamat, ketiga, harus tinggal bersama dengan Dia. Murid-murid para Rabbi Yahudi mencari guru, ada saatnya tamat dan tidak tinggal bersama Rabbi mereka. Bahkan untuk menjadi murid Yesus seorang kristen perlu mengenakan cara hidup Yesus yang sangat unik dan khas juga. Orang kristen perlu memahami dengan baik cara berfikir Yesus, Visi-Nya, sikap-sikap-Nya, perhatian-Nya, perilaku-Nya, cara-Nya bergaul dengan sesama, cara-Nya berdoa kepada Allah Bapa, cara-Nya menghadapi penggodaan, cara-Nya menghadapi penderitaan dan seterusnya.
Kalau seorang Kristen menerima semangat hidup Yesus untuk meresapi semangat hidupnya sendiri, maka ia akan menemukan bahwa ternyata banyak nilai-nilai kristiani akan berlawanan dengan nilai-nilai dunia ini. Nilai-nilai komunitas beriman kristiani akan bertentangan dengan nilai-nilai sekular dunia ini. Sebagai contoh, menurut Stanley Hauerwas, perdebatan tentang aborsi adalah bagaikan perdebatan tiada henti di antara dua orang yang tuli. Kedua belah pihak tidak mampu mendengarkan pendapat pihak yang lainnya. Masing-masing berbicara menurut isi pikirannya sendiri dan tidak dapat mendengarkan lawan bicaranya dan tidak bisa saling memahami karena pandangan yang dianut tidak cocok satu sama lain. Kelompok Pro-life melawan aborsi berdasar pada keyakinan filosofis daripada landasan iman kristiani yang jelas. Kelompok pro-choice menyetujui aborsi berdasarkan pada mentalitas budaya liberal yang sangat mengagungkan pilihan bebas dan otonomi individu. Pertanyaan sesungguhnya dalam persoalan abortus adalah bukan bahwa janin itu sudah memiliki hidup manusiawi atau belum, melainkan apakah janin itu bayi atau bukan bayi. Orang kristen mestinya bertanya kita ini ingin menjadi komunitas manusia yang mau menerima kelahiran seorang bayi atau tidak? Seorang bayi yang lahir di tengah kita itu kita anggap sebagai berkat atau ancaman? Kalau kita mendalami KS, maka kita akan menemukan norma moral yang menuntun kita untuk memiliki sikap-sikap Yesus. KS dipakai sebagai sumber ilmu moral untuk menemukan norma moral Yesus Kristus.

1.5.6. Paradigma Kasih yang tanggap ( Responsive Love)
KS dipakai untuk menemukan ajaran utama Yesus dan ternyata itu terdapat dalam Yoh 15:12 di mana Yesus berkatan, “Kasihilah satu akan yang lain sama seperti Aku telah mengasihi kamu” (As I have loved you). KS mewartakan bahwa Yesus terlebih dahulu sudah mengasihi kita. Karena kita sudah mendapatkan kelimpahan kasih dari Yesus, maka kini giliran kita untuk mengasihi satu sama lain. Perintah moral dasar yang muncul di sana ialah perintah untuk mengasihi, namun bukan sembarang mengasihi, melainkan mengasihi seperti Yesus telah mengasihi kita. Maka KS perlu dipakai untuk mencari tahu bagaimana caranya Yesus telah mengasihi. Yesus menyembuhkan orang yang sakit kusta (Luk. 17: 11-19); Yesus singgah di rumah Zakeus pemungut cukai (Luk. 19: 1-10); Yesus membela seorang perempuan yang berzinah (Yoh. 8: 1-11); Yesus memanggil Matheus pemungut cukai menjadi murid-Nya (Mat. 9: 9-13), Yesus mengampuni penjahat yang bertobat (Luk. 23: 41-43). Kalau kita sudah tahu bagaimana Yesus mengasihi, maka kita bisa meniru Dia dan mempraktekkannya untuk sesama kita. Dengan cara ini kita melakukan Imitatio Christi (mengikuti jejak Kristus). Sebagai contoh adalah ketika Paulus menghimbau umat di Filipi supaya lebih mendahulukan kepentingan sesama dari pada kepentingan diri sendiri. Paulus meminta umat di Filipi dengan sebuah kidung Kristologis yang sangat Indah dalam Fil. 2: 1-11. Diawali dengan kata-kata ajakan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah... telah mengosongkan diri-Nya sendiri.
KS sungguh-sungguh merupakan harta rohani yang sangat berharga untuk mendapatkan pedoman hidup dan pegangan moral yang bersumber dari pikiran, perasaan, kehendak dan tindakan Yesus sendiri. Ajaran Yesus merupakan kebijaksanaan yang lahir dari pikiran, perasaan dan kehendak-Nya. Namun Yesus bukan hanya mengajarkan dengan mulut melainkan melaksanakannya dalam tindakan. Maka Teologi Moral perlu menggunakan KS untuk menemukan pola pikir dan pola tindak Yesus sendiri yang menjadi norma tindakan manusia.

Jumat, 15 Juli 2011

~RENCANA ALLAH TENTANG KELUARGA~


by : Coff Fransiscko Uweubun

PENDAHULUAN

Kalimat pertama Familiaris Consortio menyatakan: Keluarga modern, lebih dari semua lembaga lainnya, mengalami krisis yang mendalam. Ada keluarga yang masih mampu menghayati nilai-nilai luhur lembaga perkawinan; ada yang mengalami keraguan dan kebingungan tentang makna perkawinan karena pengaruh praktek h...idup yang merendahkan nilai-nilai kehidupan rumah tangga; dan ada pula keluarga yang dihalangi atau dihambat oleh pelbagai situasi yang tidak adil sehingga mereka tidak dapat menikmati hak-hak azasi mereka. 

Gereja merasa terpanggil untuk meneguhkan kelompok yang pertama; memberikan tuntunan dan pencerahan kepada kelompok yang kedua; menawarkan jasa dan membela kelompok yang ketiga.

Exhortatio Apostolica (himpauan kegembalaan) FC adalah dokumen resmi Vatikan yang menyimpulkan hasil-hasil sinode para uskup di Roma tgl 26 Sept – 25 Okt 1980. Sebulan lamanya para uskup sebagai gembala umat bersinode untuk memberikan perhatian mereka kepada keluarga-keluarga kristiani dan lembaga keluarga pada umumnya.

1. HARAPAN DAN TANTANGAN

Dari satu pihak, ada beberapa ciri yang memberi harapan ialah: adanya kesadaran dan kebebasan pribadi yang lebih besar, juga dalam hal memilih status hidup berkeluarga; Perhatian lebih besar bagi mutu perkawinan sebagai relasi antar pribadi suami dan isteri; Penghormatan para martabat wanita; prokreasi yang bertanggungjawab dan kesadaran lebih besar untuk mendidik anak-anak.
Ada kesadaran pula soal ketergantungan antar keluarga untuk saling menolong di bidang rohani, bantuan material, menemukan kembali misi gerejani yang khas bagi keluarga untuk membangun masyarakat yang lebih adil.
Dari lain pihak ada gejala yang merendahkan nilai-nilai dasar keluarga: Konsep teoritis dan praktis yang keliru tentang hubungan saling ketergantungan antara suami dan isteri; Kekeliruan berat tentang pengertian hubungan kekuasaan antara orangtua dan anak-anak; Kesulitan praktis bagi keluarga dalam mewariskan nilai-nilai moral bagi anak-anak; Banyaknya praktek perceraian; Banyaknya praktek abortus; Lebih banyaknya orang yang melakukan sterilisasi; Adanya mentalitas kontraseptif yang sangat nyata.
Pada akar semua penyimpangan itu tidak jarang terdapat paham dan pengalaman yang salah tentang kebebasan manusia. Kebebasan tidak dimengerti sebagai kemampuan untuk mewujudkan kebenaran rencana Allah bagi perkawinan dan keluarga, melainkan sebagai otonomi untuk realisasi diri yang sering dengan melawan hak-hak orang lain demi mencapai kesenangan sendiri
Patut diperhatikan pula bahwa di negara ketiga keluarga-keluarga sering mengalami kesulitan makanan, pakaian, rumah, pengobatan bahkan kebebasan dasar. Sebaliknya di negara maju, keluarga hidup dalam kemewahan, mentalitas konsumeristis, bahkan egoisme kesenangan diri sampai tidak mau repot melahirkan dan memelihara anak-anak.
Harapan dan tantangan itu menjadi tanda-tanda zaman yang harus dijawab oleh Gereja untuk tetap mempertahankan nilai-nilai

2. RENCANA ALLAH BAGI PERKAWINAN DAN
KELUARGA

Dari mana manusia tahu tentang rencana Allah? Jawabnya: dari wahyu positif dan wahyu natural. Wahyu positif berarti apa yang disampaikan melalui Kitab Suci. Wahyu natural artinya apa yang terdapat di dalam alam ciptaan dan diketahui dengan akal budi. Dari Kitab Suci kita tahu bahwa Allah menciptakan manusia pria dan wanita untuk membentuk satu keluarga: mereka bukan lagi dua, melainkan satu daging. Dari hukum alam kita tahu bahwa ciptaan Tuhan, hewan, manusia bahwa tumbuhan berpasang-pasngan jantan dan betina, pria dan wanita, dan dari sana lahirlah keturunan-keturunan. Yang pertama disebut hukum wahyu positif; yang kedua disebut hukum natural-alamiah.

2.1. Rencana Allah menurut Pewahyuan
Dari data wahyu kita mengetahui bahwa: 1). Allah menciptakan manusia segambar dengan Allah; 2). Keluarga dipanggil untuk mewujudkan cinta kasih; 3). Keluarga adalah panggilan dari Allah.

2.1.1. Allah Menciptakan Manusia Segambar dengan Allah
Allah menciptakan manusia menurut gambar dan citra-Nya (Kej. 1:27). Allah pada hakekatnya adalah kasih (Yoh 4:16). Manusia diciptakan menurut model kasih dan dengan motivasi kasih. Dengan menciptakan manusia menurut gambar-Nya, Allah mengukir di dalam diri setiap manusia, pria dan wanita, suatu kemampuan atau dorongan yang kuat untuk mengasihi. Dengan demikian panggilan dasar manusia ialah untuk mengasihi.
Panggilan untuk mengasihi disebut panggilan umum atau panggilan dasar. Kalau manusia ingin menjadi manusia yang sesungguhnya ia harus berkembang dalam kemampuannya untuk mengasihi. Mengasihi berarti orang keluar dari dirinya sendiri untuk mengarahkan dirinya kepada Allah dan sesama. Semakin orang terarah kepada orang lain, semakin ia menemukan dirinya. Paradoks cinta ini diungkapkan oleh Yesus dalam Sabda-Nya, “Barang siapa ingin menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya. Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkan nyawanya.” (Mrk 8:35). Dan kata-Nya lagi, “Tiada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabat-Nya.” (Yoh. 15:12). Ujian akhir manusia untuk melihat apakah ia lulus sebagai manusia dengan ujian kasih kepada sesama: “Ketika Aku lapar, haus, telanjang, sakit, dalam penjara..... dan kamu melawati Aku.” (Mat 25:31-46)

2.1.2. Manusia dipanggil untuk Mewujudkan Cinta Kasih
Bagaimana panggilan umum untuk mengasihi diwujudkan secara konkret? Tentu saja dengan melihat dimensi keberadaan manusia yang nyata. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang bercorak jasmani dan rohani. Manusia adalah kesatuan tubuh dan jiwa (Anima et corpore unus). Maka cinta kasih juga dinyatakan secara rohani dan jasmani.
Secara rohani kasih adalah seperti yang dijelaskan oleh St. Paulus dalam Madah Kasih, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu; ia tidak memegahkan ciri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala-sesuatu, mengharapkan segala-sesuatu, sabar menanggung segala-sesuatu.” (I Kor 13:4-7). Madah kasih ini dapat menjadi cermin bagi manusia untuk melihat dirinya apakah ia sudah melaksanakan kasih. Madah itu bagaikan batu uji untuk menilai sikap dan tindakan manusia apakah sudah mengamalkan kasih.
Secara jasmani cinta kasih mengambil bentuk atau komitmen hidup tertentu dan nyata. Dalam ajaran Gereja Katolik bentuk jasmaniah cinta kasih ada dua macam: yaitu perkawinan dan selibat. Kedua status hidup ini adalah wujud konkret dari panggilan untuk mengasihi. Baik perkawinan maupun selibat dimaksudkan sebagai pernyataan cinta kasih secara penuh. FC no. 11 menyatakan: “Christian revelation recognizes two specific ways of realizing the vocation of the human person, it its entirety, to love: marriage and virginity or celibacy.Either one is, in its own proper form, an actuation of the most profound truth of man, of his being”created in the image of God”(Pewahyuan kristiani mengenal dua bentuk khusus mewujudkan panggilan untuk mengasihi, yaitu: perkawinan dan kemurnian atau selibat. Dengan caranya masing-masing keduanya adalah perwujudan dari kebenaran manusia yang paling mendalam sebagai pribadi yang diciptakan secitra dengan Allah).
Jelaskan bahwa perkawinan atau hidup berumah-tangga merupakan wujud panggilan untuk mengasihi. Sebagai manusia yang secitra dengan Allah, maka manusia pria dan wanita yang menikah dipanggil untuk mewujudkan cinta kasih yang sempurnya, seperti Bapamu di sorga sempurnya adanya.

2.1.3. Keluarga kristiani dihayati sebagai bentuk panggilan Tuhan
Dilihat dari cahaya iman, hidup perkawinan dan keluarga bukanlah sekedar keharusan alamiah yang artinya bahwa kalau pemuda dan pemudi sudah dewasa, maka harus menikah.Hidup berkeluarga juga bukan hanya suatu keharusan sosial, artinya bahwa setiap anggota masyarakat yang sudah waktunya menikah harus menikah demi melanjutkan keturunan dan kelangsungan masyarakat.
Hidup berkeluarga merupakan panggilan dari Allah karena keluar dari kehendak Allah sendiri bagi manusia. Lembaga perkawinan bukanlah lembaga manusiawi saja, melainkan lembaga ilahi dengan mana Allah memanggil manusia. Maka pada waktu orang Farisi bertanya kepada Yesus, “Apakah seorang suami boleh menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?, Yesus menjawab: “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduania itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.” (Mrk 10:6-8). Betapa indah jawaban Yesus itu. Kata-kata itu bukan hanya indah melainkan menyatkan kebenaran tentang arti hidup perkawinan bagi manusia. Orang beriman yang menikah mengikuti panggilan Tuhan untuk membentuk keluarga manusia penuh kasih dan pengorbanan.

3. PERANAN KELUARGA KRISTIANI

Keluarga kristiani memiliki peran-peran sangat penting yang harus dilaksanakan. Peranan itu hanya bisa dilaksanakan oleh lembaga keluarga dan tidak bisa digantikan oleh lembaga apapun. Secara garis besar peranan itu ada empat dan bisa disebut dengan istilah yang sudah baku dalam Gereja, yaitu: bonum coniugis; bonum prolis, bonum societatis dan bonum religionis.

3.1. Membentuk Komunitas antar pribadi
Kata lain dari tema ini ialah kebahagiaan suami isteri atau demi perkembangan pribadi dua pribadi yang menikah. Pria dan wanita yang menikah memiliki harapan dan impian yang banyak dan indah. Mereka berharap agar semua harapan itu dapat diwujudkan di dalam perkawinan. Harapan itu misalnya: kebahagiaan lahir dan batin; kesetiaan perkawinan; kasih sayang yang tulus; saling menolong dan seterusnya.
Harapan terhadap perkawinan dapat dirumuskan dalam suatu definisi dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan ialah persekutuan mesra hidup dan cinta antara pria dan wanita untuk saling membantu di segala bidang kehidupan, terlebih di dalam bidang penyempurnaan cinta kasih. Perkawinan itu terarah kepada kelahiran anak-anak dan pendidikan mereka. Perkawinan itu juga demi kebaikan masyarakat dan melalui berkat Tuhan diangkat menjadi sakramen keselamatan.
Peran pertama yang dimainkan oleh keluarga kristiani ialah membentuk persekutuan antar pribadi. Siapakah pribadi manusia itu? Beberapa unsur atau sifat yang bisa ditunjuk antara lain:
a. Manusia adalah subyek. Subyek itu biasanya dimaksudkan pribadi yang berakal budi dan berkendak bebas. Manusia adalah pribadi yang memiliki hati nurani, dapat menentukan apa yang akan dilakukannya tanpa paksaan dan tekanan dari orang lain.
Relevansinya bagi keluarga: suami-isteri harus saling menghormati, tidak boleh memaksakan kehendak. Demikian pula anak-anak harus dihargai dan diperlakukan sebagai subyek. Anak tidak boleh dianggap sebagai obyek, barang milik, yang bisa dimanfaatkan atau menjadi pelampiasan kemarahan orang tua.
b. Manusia adalah pribadi yang tidak tergantikan. Setiap manusia adalah unik, satu-satunya, tidak pernah terulang, tidak tergantikan. Keberadaan manusia tidak pernah bisa ditukar tempat dengan orang lain. Setiap orang adalah dirinya sendiri. Ia tidak bisa diremehkan atau dianggap sepi atau angin lalu. Setiap pribadi manusia adalah luar biasa. Ia makhluk penuh misteri, memiliki kerohanian dan benih kehidupan kekal.
Relevansinya bagi keluarga ialah bahwa setiap anggota keluarga itu unik dan istimewa. Setiap anak yang lahir dalam keluarga juga unik dengan ciri khas dan bakatnya yang berbeda. Anak-anak tidak boleh dibanding-bandingkan. Isteri tidak boleh menuntut melebihi kemampuan suami, melainkan harus berterimakasih atas usaha keras yang sudah dilakukan untuk keluarga.
c. Manusia adalah pribadi yang terbuka dan terarah satu sama lain. Manusia secara hakiki adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup dan berkembang tanpa bantuan orang lain. Manusia adalah pribadi yang being with others, being by others dan being for others. Manusia selalu hidup bersama dengan orang lain, oleh orang lain dan untuk orang lain.
Relevansi bagi keluarga ialah: anak-anak hanya bisa berkembang dalam kehidupan bersama keluarganya; anak-anak bahkan lahir dari orang tuanya dan anak-anak akan menjadi besar supaya belajar hidup untuk keluarganya dan orang lain.
d. Manusia adalah makhluk yang bertubuh. Tubuh manusia adalah bagian integral dari pribadinya. If you touch the body, you touch the person. Menyentuh tubuh seseorang berarti menyentuh kepribadiannya. Manusia perlu menghormati tubuhnya dan tubuh orang lain sebagai bagian kepribadiannya.
Relevansi bagi keluarga: perlu menjaga kesehatan, makan yang baik, istirahat yang cukup, berolahraga, menghindari kebiasaan buruk seperti merokok, mabuk, narkoba. Dalam relasi pria dan wanita, aspek tubuh manusia harus diperhatikan karena bisa menyangkut kesopanan dan ekspresi seksualitas. Keluarga perlu mengusahakan kesehatan dan kebugaran tubuh dari pada anggotanya.
e. Manusia adalah pribadi yang terarah kepada Tuhan. Manusia juga merupakan makhluk rohani. Manusia mempunyai kemampuan rohani untuk beriman kepada Tuhan.
Relevansinya bagi Keluarga kristiani ialah perlu diciptakan suasana pertumbuhan rohani bagi anak-anak. Anak-anak perlu diajari berdoa, diajak pergi ke Gereja dan dipersiapkan menerima sakramen-sakamen Gereja.

3.2. Keluarga Melayani Kehidupan
Kehidupan diterima oleh manusia dari Allah. Kehidupan bukan berasal dari manusia, melainkan hanya diterima dari Sang Pemberi kehidupan itu. Maka tugas manusia ialah untuk melayani kehidupan yang diterimanya itu. Manusia harus menerima, merawat, memelihara dan mengembangkan kehidupan yang sudah dianugerahkan oleh Tuhan secara cuma-Cuma.
Adalah hal yang luar biasa dan sangat mentakjubkan bahwa kehidupan manusia diberikan melalui keluarga di mana suami dan isteri menjadi “rekan-kerja” Sang Pencipta di dalam menciptakan kehidupan manusia.
FC menyebut suami-isteri sebagai cooperators in the love of God the Creator (rekan kerja dalam kasih Tuhan Sang Pencipta). “God calls them to a special sharing in his love and in his power as Creator and Father, through their free and responsible cooperation in transmitting the gift of human life: God blessed them, and God said to them, ‘Be fruitful and multiply, and fill the earth and subdue it.” (No. 28, par.1).
Tugas utama keluarga ialah untuk melayani kehidupan, untuk mewujudkan berkat Allah itu di dalam sejarah melalui prokreasi menyalurkan gambar Allah dari pribadi ke pribadi. Kesuburan adalah buah dari cinta perkawinan, suatu saksi hidup dari pemberian diri total antara suami-isteri.

3.2.1. Tugas melahirkan Anak
FC no. 29 par. 3 mengulangi dan menegaskan kembali norma yang harus ditaati dalam hal melahirkan keturunan. “This Sacred Synod, gathered together with the Successor of Peter in the unity of faith, firmly holds what has been set forth in the Second Vatican Council (GS, 50) and Humanae Viate 11: particularly that love between husband and wife must be fully human, exclusive and open to new life.”
“Dengan mengacu pada ketaatan terhadap hukum natural seperti selalu ditafsirkan oleh ajaran yang tetap, Gereja mengajarkan bahwa: masing-masing dan setiap persetubuhan suami-isteri harus tetap terbuka kepada kelahiran anak” (ut quilibet matrimonii usus ad vitam humanam precreandam per se destinatus pemaneat (AAS 60 (1968), 488.
Di sini ditekankan aspek prokreatif dan unitif dari persetubuhan yang merupakan cara natural di mana suami-isteri menjadi “rekan-kerja” Allah di dalam menciptakan manusia baru. Gereja sangat menjunjung tinggi martabat prokeasi ini karena di dalamnya terdapat hukum kodrati di mana Allah menciptakan manusia.
Kita kutip lagi pernyatan Mgr. Mario Conti, Uskup Agung Glasgow, “To any who are confused by the debate and who look to the teaching of the Church for guidance, we say this: all sexual intercourse outside of marriage is wrong, and within marriage such intercourse must always be ordered to the procreation of new life. The act by with a man and a woman love one another is the same act in the design of the Creator by which the love of God brings to birth new human life.”

3.2.1.1. Kalau Anak Terlalu Banyak: Kelahiran perlu diatur
Anak adalah anugerah Tuhan. Buktinya biarpun suami dan isteri sudah ingin sekali mempunyai anak, namun kadang-kadang mereka belum bisa mendapatkannya. Suami-isteri menyadari bahwa manusia hanya dapat berusaha sambil berdoa, namun Tuhanlah yang memberikan seorang anak. Anak adalah juga buah cinta suami-isteri. Anak lahir dari tindakan cinta kasih, penyerahan diri untuk saling membahagiakan. Sementara suami-isteri saling mengungkapkan kasih, seolah meluaplah dari kasih itu seorang anak. Anak menjadi tanda luapan cinta yang penuh kebahagiaan. Alangkah baiknya bahwa setiap anak dikandung dan dilahirkan atas cara ini: luapan kasih orang tuanya satu terhadap yang lain.
Namun kemudian dirasakan sebagai kesulitan apabila anak terlalu banyak. “Semboyan banyak anak, banyak rezeki” atau “ setiap anak membawa rezekinya sendiri” hanya berlaku pada masyarakat masa lampau di mana penduduk masih sedikit dan anak menjadi tenaga kerja dalam masyarakat agraris. Pada zaman kita ini di mana penduduk Indonesia sudah mencapai 220 juta jiwa dan kemampuan keluarga untuk membiayai anaknya maksimal dua orang saja, maka kelahiran anak harus dibatasi.
Ada persoalan antara ajaran Gereja (Humanae Viatae no. 11 dan FC no. 29 ) bahwa setiap persetubuhan suami-isteri harus terarah atau terbuka bagi kehidupan baru dan masalah keharusan membatasi kelahiran karena keterbatasan ekonomi keluarga. Kalau kelahiran dibatasi, maka akan bertentangandengan ajaran Gereja. Kalau kelahiran tidak dibatasi, maka akan kesulitan ekonomi.
Jalan keluar yang masuk akal rupanya ialah kelahiran harus dibatasi. Caranya bagaimana?
Pertama: Supaya sesuai dengan ajaran Gereja, maka suami-isteri tidak bersetubuh lagi. Sebab kalau bersetubuh, maka suami-isteri harus siap menerima kelahiran anak. Tapi apakah hal itu mungkin? Jalan keluar semacam itu adalah tidak manusiawi, tidak memahami kebutuhan biologis suami-isteri, bahkan bertentangan dengan ajaran tentang kewajiban suami-isteri untuk selalu “memberikan kepuasan batin”.
Kedua: Supaya sesuai dengan ajaran Gereja, maka harus pantang berkala. Suami-isteri hanya bersetubuh pada hari-hari di mana isteri sedang tidak subur. Karena dalam siklus haid 28 hari ada masa menstruasi 1 minggu, masa subur 1 minggu dan masa tidak subur 2 minggu. Hukum natural sudah mengatur bahwa selama 2 minggu tidak subur itu suami-isteri boleh bersetubuh.
Ketiga: Memakai alat-alat kontrasepsi dengan alasan: lebih aman dan pasti; kalau suami kerja di luar kota dan pulang justeru pada saat isteri subur, faktor pendidikan yang tidak bisa mengetahui metode kalender.
FC no. 35 dan HV no. 10 berbicara tentang cara pengaturan kelahiran yang bertanggungjawab.
FC no. 35: Mengenai pengaturan kelahiran yang benar, Gereja perlu memberikan peneguhan dan bantuan bagi suami-isteri yang ingin menghayati kebapa-ibuan mereka secara bertanggungjawab. Dalam hal ini, sementara Gereja memperhatikan dengan merasa puas hasil yang dicapai untuk menentukan dengan tepat masa-masa subur bagi wanita, dan sementara itu didukung pula penelitian yang lebih luas, Gereja perlu mengingatkan tanggungjawab para dokter, para ahli, penasehat perkawinan, para guru dan pasangan suami-isteri, yang dapat membantu pasangan untuk mewujudkan cinta mereka dengan tetap menghormati hakekat dan tujuan persetubuhan yang mengungkapkan cinta itu (married people to live their love with respect for structure and finalities of the conjugal act which expresses that love)
HV 10: Dalam hal melanjutkan keturunan, suami-isteri tidak boleh mengikuti kehendaknya sendiri saja, seolah-olah mereka dapat menentukan sendiri cara mana akan ditempuh; melainkan mereka harus menyesuaikan tindakan mereka dengan kehendak Tuhan dalam menciptakan manusia seperti dinyatakan dalam perkawinan dan persetubuhan suami-isteri, dan hal itu juga selalu ditegaskan dalam ajaran Gereja.
Beberapa pedoman yang perlu diperhatikan untuk memilih metode Keluarga Bertanggungjawab:
a). Tidak merendahkan martabat suami-isteri.
Manusia adalah pribadi yang memiliki hati nurani, kehendak dan kebebasan. Martabatnya direndahkan apabila orang merasa terpaksa untuk mengikuti suatu cara KB tertentu. Cara KB apapun yang dipilih perlu membuat suami-isteri lebih bahagia dalam hidup perkawinannya.
b). Tidak melawan hidup manusia
Metode KB tidak boleh bersifat abortif. Cara pengaturan kelahiran tidak boleh bertentangan dengan hidup manusia. Abortus tidak boleh dijadikan metode KB. GS no. 51 menyatakan, “Ada orang yang mengusulkan pemecahan masalah pengaturan kelahiran dengan cara-cara yang tidak jujur, bahkan tidak menutup kemungkinan membunuh kehidupan baru. Maka dengan ini Gereja mengingatkan bahwa pasti tidak terdapat pertentangan antara hukum ilahi dalam prokreasi dengan kewajiban suami-isteri untuk melaksanakan intimitas perkawinan.”
c). Dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
Dimensi tubuh manusia mewajibkannya untuk menjaga kesehatan dan menghindari hal-hal yang membahayakan kesehatannya. Alat kontrasepsi dapat beresiko bagi kesehatan isteri. Oleh sebab itu memilih metode KB juga harus memperhatikan faktor resiko bagi kesehatan. Harus dipastikan bahwa metode KB itu tidak mengganggu kesehatan.
d). Atas persetujuan suami-isteri.
Unsur ini untuk menghindari pemaksaan dari pihak pemerintah yang sering tanpa sepengetahuan suami-isteri memasangkan alat KB pada semua wanita usia subur. Hal itu dilakukan karena faktor kebodohan dari pihak masyarakat kecil dan demi suksesnya program pemerintah. Pemerinth tidak boleh memaksakan programnya tanpa persetujuan suami-isteri.
Metode yang paling memenuhi semua syarat di atas ialah KB alamiah. Pemerintah RI juga sudah mengakui KB alamiah sebagai salah satu metode yang bisa dipilih. UU no. 10 tahun 1992 pasal 10 berbunyi: “ Setiap pasangan suami-isteri dapat menentukan pilihannya dalam merencanakan dan mengatur jumlah anak dan jarak antara kelahiran anak berdasarkan pada kesadaran dan rasa tanggungjawab terhadap generasi sekarang maupun yang akan datang.”

3.2.1.2. Kalau tidak mempunyai anak: Adopsi
Ada pula pasangan yang tidak dikaruniai anak. Perkawinan katolik tidak boleh diceraikan dengan alasan tidak mempunyai anak. Tujuan perkawinan yang pertama ialah untuk kebaikan suami-isteri itu sendiri. Kalau mereka tidak punya anak, maka mereka bisa mengadopsi anak. Dekrit Kerasulan Awam (AA) no.11 menyatakan,”Di antara pelbagai karya kerasulan keluarga baiklah disebut yang berikut ini: memungut anak-anak terlantar menjadi anaknya (adopsi).”
Syarat-syarat adopsi:
1. Siapa yang bisa dijadikan anak adopsi:
Anak umur 0-18 tahun yang diterlantarkan oleh orang
tuanya/walinya tanpa bantuan moril dan materiil.
2. Siapa yan dapat melakukan adopsi:
Hanya pasangan yang dalam pernikahan sah, sekurang-
kurangnya sudah menikah 3 tahun, dan memiliki rumah tangga
yang rukun, dengan atau tanpa anak.
3. Batas umur pasangan yang bisa mengadopsi:
Pasangan yang akan melakukan adopsi harus berusia di atas 18
tahun dan kurang dari 40 tahun.
4. Kepada siapa orang bisa mengajukan permohonan adopsi?
Kepada pengadilan anak-anak dan permohonan itu jatuh setelah
dua tahun dan bisa diperbaharui lagi.
5. Bagaimana cara memberikan jaminan kepada anak-anak bahwa
keluarga yang akan mengadopsi bisa dipercaya.
a. Lembaga peradilan anak membuat seleksi dari para pemohon dan menentukan yang pantas untuk dapat mengadopsi.
b. Penyelidikan itu meliputi: kemampuan pasangan untuk mendidik anak; situasi personal, keadaan ekonomi, kesehatan, lingkungan keluarga, motivasi yang mendorong untuk melakukan adopsi.
6. Akibat hukum dari adopsi: Anak yang diadopsi mendapatkan status sebagai anak sah dari keluarga yang mengadopsi. Anak itu berhak menggunakan nama famili (fam) dan mendapatkan hak ahli waris. Hubungan anak itu dengan orangtua kandung terputus secara hukum.

3.2.1.3. Bayi Tabung
Pasangan mandul lebih senang tentu kalau bisa punya anak sendiri. Para ahli berusaha untuk menolong mereka. Ahli kandungan, ahli genetik (genekolog) dan ahli embrio (embriolog) yang mendalami masalah terjadinya janin akhirnya mampu mempelajari bagaimana proses “terjadinya” bakal anak. Mereka berusaha untuk membantu pasangan mandul untuk dapat melahirkan anak mereka sendiri.
Bayi tabung pertama yang lahir di dunia ialah Louis Brown. Ia lahir di Manchester, Inggris, 25 Juli 1978 atas pertolongan dr. Robert G. Edwards dan dr. Patrick C. Steptoe. Menurut dr. Edwards, sejak saat itu klinik bayi tabung berkembang pesat. Tahun 1990 di Perancis saja ada 140 klinik. Di Bourn Hall, tempat dr. Edwards praktek ada 1000 bayi tabung sedang menanti saat dilahirkan.
Di sini tidak akan diterangkan bagaimana secara teknis metode bayi tabung itu dilakukan. Yang akan diterangkan ialah konsekuensi moral dari teknik ini. Tujuan para ahli membuat tehnik bayi tabung ialah untuk membantu pasangan mandul memiliki anak dari darah-dagingnya sendiri. Sarana yang dipakai ialah pembuahan bukan alamiah karena melibatkan campur tangan dokter. Beberapa efek samping yang ditimbulkannya ialah:
1). Persetubuhan dipisahkan dari pembuahan. Secara alamiah pembuahan adalah hasil dari persetubuhan suami-isteri. Dalam tehnik bayi tabung, tanpa persetubuhanpun dapat dibuat pembuahan (konsepsi).
2). Pembuahan buatan dengan sperma dari suami (homologous insemination). Sperma diambil dari suami dengan jalan masturbasi (yang secara intrinsik juga jahat, karena melawan tujuan seksualitas) kemudian dipertemukan dengn sel telur dari isteri. Setelah menjadi embrio ditanam dalam rahim isteri dan proses kehamilan dan kelahiran seperti biasa.
3). Pembuahan buatan dengan sperma dari bukan suaminya atu donor (heterologous inseminarion). Karena sperma suami tidak sehat, cacat atau mengangung penyakit, maka suami-isteri bisa mencari sperma dari seorang donor. Donor itu dirahasiakan orangnya. Tapi tentu dengan syarat-syarat spermanya sehat, kebangsaan sama dengan yang meminta supaya anak tidak terlalu beda dengan orang tua, seorang yang pandai, terkenal, pemenang noble, pemenang oscar atau dari ras lain supaya memperbaiki keturunan dan segala macam motivasi yang bisa diberikan. Hasil pembuahan itu kemudian ditanam pada rahim isteri dan proses kehamilan dan kelahiran seperti biasa.
4). Homologous insemanation dengan meminjam rahim wanita lain untuk mengandungkannya (surrogate mother).
5). Heterologus insemanation dengan meminjam rahim wanita lain untuk mengandungkannya (surrogate mother).
6). Sel telur donor dan sperma dari suami, dan kandung sendiri oleh isteri.
7). Sel telur donor dan sperma donor, tapi dikandung sendiri oleh isteri.
8). Sel telur donor dan sperma dari suami, tapi dikandung oleh wanita sewaan.
9). Sel telur donor dan sperma donor, tambah lagi dikandung oleh wanita sewaan. Dalam kasus ini suami-isteri mandul itu sama sekali tidak mewarisken benih keturunannya dan jug tidak mengandungnya. Kasus no. 9 ini sama dengan membuat adopsi dalam level embrio. Orang dapat melakukan adopsi pada waktu bayi umur satu hari, namun ini justeru pada saat masih dalam bentuk janin.
10. Munculnya bank sperma dan sel telur di mana disimpan sperma dan sel telur dari orang-orang terkenal yang benihnya bisa dipesan oleh pasangan mandul. Atau suami-isteri sengaja menyimpan benihnya di bank tersebut supaya kalau salah satu meninggal, benihnya bisa untuk pembuahan sehingga orang yang sudah meninggalpun masih bisa punya anak. Itulah akibat atau efek samping yang ditimbulkan oleh metode bayi tabung.
11. Metode bayi tabung juga menimbulkan masalah kebapa-ibuan biologis dan legal. Yang normal bapa-ibu biologis adalah bapa-ibu legal juga. Namun dengan metode itu bapak-ibu biologis belum tentu bapak-ibu legalnya.

3.2.1.4. Instruksi DONUM VIATE
Donum Vitae adalah Instruksi dari Propaganda Fide tentang hormat pada hidup manusia sejak saat pertama pembuahan dan hormat pada martabat prokreasi alamiah. Instruksi ini ditandatangani oleh Joseph Cardinal Ratzinger tgl. 22 Februari 1987. Instruksi ini disebutkan juga sebagai: jawaban atas beberapa pertanyaan yang aktual dewasa ini. Di antara masalah-masalah yang dibahas dan disikapi oleh Gereja ialah:
1. Semua jenis pembuahan artiisial di atas ditolak dengan alasan:
a): Anak punya hak untuk dikandung, dilahirkan dan dibesarkan di dalam sebuah keluarga. Hanya melalui hubungan yang kokoh dan sehat dengan orangtua anak-anak dapat menemukan identitasnya dan mencapai perkembangan dirinya.
b): Orang tua melihat di dalam diri anaknya suatu kepenuhan dari cinta pemberian diri timbal balik suami-isteri.
c): Kebaikan anak-anak dan kebaikan orangtua adalah sumbangan bagi kebaikan masyarakat.Kestabilan masyarakat menghendaki bahwa setiap anak muncul dari keluarga atas dasar pernikahan yang kokoh.
2. Ibu Sewaan juga harus ditolak: alasannya: Surrogate motherhood represents an objective failure to meet the obligations of maternal love, of conjugal fidelity and of responsible motherhood; it offends the dignity and the right of the child to be conceived, carried in the womb, brought into the world and brought up by his own parents; Ibu sewaan melecehkan unsur-unsur dasar pembentukan keluarga.

3.2.2. Tugas mendidik anak-anak
FC 36 mengutip dokumen Vatikan II GE, no.3 yang mengatakn, “Karena orangtua telah melahirkan anak-anak, maka mereka memiliki kewajiban mulia untuk mendidik mereka. Oleh karena itu orangtua harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka. Peranan mereka untuk mendidik anak-anak begitu menentukan sehingga hampir tidak ada alasan apapun yang bisa dibenarkan bagi kegagalan tugas itu. Keluarga adalah sekulah pertama dari keutamaan-keutamaan hidup yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat.”
Hak dan kewajiban orangtua untuk mendidik anak adalah esensial, karena berkaitan dengan melanjurkan kehidupan; original dan pertama bila dibandingkan dengan lembaga lain dan dilihat dari keunikan hubungan orangtua dan anak, tak tergantikan dan tak tersangkalkan sehingga tidak bisa sepenuhnya didelegasikan atau ditolak oleh orang lain.
Ciri khas pendidikan oleh orangtua ialah parental love, kasih-sayang orang tua kepada anak-anak yang menjadi motivasi dasar. Guru atu siapapun tidak bisa menggantikan kasih-sayang orangtua terhadap darah dagingnya sendiri. Orangtua juga menjadi sumber source of animating and guiding prinsiple (prinsip, pegangan yang mengarahkan dan menghidupkan) dalam bentuk nilai-nilai: kindness, constancy, goodness, service, disinterestedness and self-sacrifice. Nilai-nilai itu hanya bisa diinternalisasikan lewat pendidikan di dalam keluarga.

FC no. 37 menyebutkan 3 nilai manusiawi yang essensial.
1). Sikap yang benar terhadap harta duniawi
“Children must grow up with a correct attitute of freedom with regard to material goods, by adopting a simple and austere life style and being fully convinced that “man is more preciouse for what he is than what he has.” Nilai yang mau ditekankan di sini adalah sikap lepas-bebas terhadap harta duniawi. Manusia lebih bernilai daripada harta. Manusia harus dihormati sebagai manusia, bukan karena hartanya atau kedudukan sosialnya. Nilai ini sangat penting untuk melawan konsumerisme dan pengurasan sumber alam yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.

2). Pendidikan keadilan dan solidaritas
“ In a society shaken and split by tensions and conflicts caused by various kinds of individualism and selfishness, children mus be enriched not only with a sense of true justice, but also a sense of true love as a disinterested service with regard to others, especially the poorest and those in most need.” Nilai yang mau ditekankan ialah perasaan simpati dan empati dengan sesama manusia yang menderita dan membutuhkan pertolongan. Dalam hidup bermasyarakat yang baik, maka nilai tolong-menolong semacam itu sangatlah penting.

3). Sikap yang benar terhadap seksualitas.
“Education for chastity is absolutely essensial, for it is a virtue that develops a person’s authentic maturity and makes him or her capable of respecting and fostering the “nuptial meaning” of the body. Indeed Christian parents, discerning the sign of God’s call, will devote special attention and care to education in virginity as the supreme form of that self-giving that constitutes the very meaning of human sexuality.” Nilai yang dtekankan di sini ialah panggilan cinta kasih Tuhan melalui seksualitas itu bertujuan untuk kebahagiaan manusia sendiri. Kenyataanya seksualitas akan membawa kebahagiaan apabila anak-anak dibantu untuk bertumbuh dan berkembang dalam seksualitas yang sehat, menjaga kemurnian sampai saat pernikahan atau hidup selibat demi Kerajaan Allah. FC melanjutkan: “Education must bring the children to aknowledge of and respect for the moral norms as the necessary and highly guarantee for responsible personal growrth in human sexuality.” Hanya dengan mentaati nilai moral, maka kehidupan seksual bisa membawa kebaikan dan kebahagiaan.

3.2.3. Pentingnya Sekolah Katolik
Sama seperti sekolah pada umumnya, sekolah katolikpun mempunyai tujuan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan pendidikan manusiawi kepada kaum muda. Sekolah katolik menyelenggarakan kurikulum pendidikan sama seperti sekolah lain. Yang menjadi ciri khas sekolah katolik ialah, “menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah, yang dijiwai oleh semangat Injil, membantu kaum muda untuk berkembang sebagai ciptaan baru di dalam Kristus, karena menerima baptis.”
Sekolah katolik dimaksudkan pula untuk mengarahkan kebudayaan manusia kepada pewartaan keselamatan, sehingga pengetahuan yang tahap demi tahap diperoleh oleh siswa tentng dunia, kehidupan dan manusia disinari oleh terang iman.
Sama dengan sekolah pada umumnya sekolah katolik juga membantu orangtua dalam mendidikan anak-anak. Orangtua berhak dan bebas untuk memilik sekolah bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan agamanya.
Sekolah katolik sangat penting bagi Gereja-gereja muda di daerah misi untuk mendidik anak-anak katolik dan non-katolik. Kehadiran sekolah katolik merupakan sumbangan yang berharga bagi masyarakat luas untuk mencerdaskan kehidupan generasi muda. Tentu saja Gereja tidak boleh memaksa para siswa bukan katolik untuk menjadi katolik, karena hal itu bertentangan dengan ajaran Gereja sendiri tentang kebebasan beragama.
Tetapi Gereja berhak untuk mewartakan Yesus Kristus melalui sekolah-sekolah katolik pula. Hal itu diwujudkan dengan adanya pelajaran agama katolik sebagai ciri khas lembaga pendidikan katolik. Orangtua yang mengirimkan anaknya ke sekolah katolik sudah tahu bahwa mereka akan mendapatkan pelajaran agama katolik.
Tujuan pengajaran agama katolik di sekolah katolik ialah: pertama, bagi anak-anak katolik sebagai pendalaman iman, sedangkan bagi anak-anak non-katolik sebagai pewartaan. Namun pada akhirnya terserah kebebasan anak-anak non-katolik itu untuk mempertimbangkannya sendiri.

3.3. Ambil bagian Membangun Masyarakat
FC No 44 par.3 menyatakan, “The social contribution of the family has an original character of its own, one that should be given greater recognition and more decisive encouragement, especially as the children gwow up, and actually involving all its members as much as posible.”
Peran sosial keluarga nampak dalam menyiapkan anggota masyarakat yang handal dan berkwalitas melalui pendidikan di dalam keluarganya. Anak-anak dididik dan dibina untuk tumbuh menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Keluarga adalah juga bagian dari masyarakat. Keluarga kristiani serentak adalah unsur terkecil dari Gereja dan sel terkecil dari masyarakat. Sebagai anggota masyarakat keluarga kristiani merupakan bagian esensial dan pilar-pilar masyarakat bersama dengan semua keluarga lainnya. Keluarga ikut ambil bagian membangun masyarakat dengan cara menyediakan anggota keluarganya bekerja dan melayani kebutuhan masyarakat sesuai dengan keahliannya.
Hubungan antara kehidupan keluarga dan kondisi masyarakat sangatlah erat. Setiap orang yang bekerja untuk masyarakat berangkat dari rumah dan kembali ke rumah. Suasana di dalam rumah bisa sangat mempengaruhi kwalitas pelayanan di dalam masyarakat. Kita ambil beberapa contoh:
a). Keluarga yang harmonis, setia dalam perkawinan, mendidik anak dengan baik, rajin bekerja, disiplin, akan menyumbangkan di dalam masyarakatnya hal-hal positif dan sangat bermanfaat.
b). Keluarga yang broken home, anak-anak terbiar-liar, gaya hidup tidak disiplin akan mempengaruhi masyarakat dengan hal-hal negatif dan merusak.
c). Isteri yang mempunyai sifat boros, meterialistis dan begaya hidup mewah dapat mendorong suami untuk korupsi di tempat kerjanya.
d). Isteri yang sederhana, hemat dan tahu menghargai harta, hidup penuh syukur, saleh, akan menghindarkan suami dari keharusan korupsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
e). Ada keluarga-keluarga dengan tradisi profesi tertentu: Keluarga tentara, keluarga polisi, keluarga dokter, keluarga guru, keluarga arsitek, keluarga apoteker dll cenderung menurunkan anak-anak dengan minat seperti tradisi keluarga itu, sehingga profesi itu juga sangat membantu masyarakat.
f). Sebaliknya pula ada keluarga yang kurang beruntung dengan segala keadaan yang malang: pendidikan rendah, pekerjaan tidak tetap, anak-anak hidup di jalan menjadi sumber tindak kejahatan.

Hubungan sangat erat antara keluarga dan masyarakat bisa diungkapkan dengan semboyan: “Keluarga retak, masyarakat rusak.” Keluarga kokoh, masyarakat kuat.” Oleh karena itu hendaknya setiap keluarga baru yang akan dibentuk hendaknya mempunyai persiapan yang matang supaya bukan hanya berguna untuk diri sendiri, melainkan untuk masyarakat juga.
FC 43 par.4 menegaskan, “The family is thus the place of origin and the most effective means for humanizing and personalizing society: it makes an original contribution in depth to building up the world, by making a life that is properly speaking human.” (Keluarga adalah asal-usul dan sarana paling efektif untuk membuat masyarakat lebih manusiawi dan lebih bermartabat. Keluarga memberikan sumbangan yang asli untuk membangun dunia yang sungguh-sungguh manusiawi).
FC 44 bicara tentang peran politik keluarga sbb: “Fungsi sosial keluarga diharapkan untuk menampilkan diri dalam bentuk intervensi politik: keluarga harus menjadi pengambil langkah pertama untuk melihat apakah undang-undang atau peraturan pemerintah itu bukan hanya tidak bertentangan, melainkan apakah mendukung hak-hak dan kewajiban keluarga. Keluaraga perlu menumbuhkan kesadaran sebagai pemeran utama (protagonis: baroll) yang bertanggungjawab untuk membangun masyarakat. Kalau peran itu tidak disadari maka keluarga-keluarga akan menjadi korban pertama pelbagai pengaruh buruk masyarakat dan kebijaksanaan publik yang menyangkut orang banyak.

3.4. Ambil Bagian Melaksanakan Misi Gereja
Peran keluarga dalam ambil bagian misi Gereja dijelaskan dalam FC no. 50-64. Ada 14 nomor yang dipakai untuk menjelaskan pokok ini sehingga nampaklah pentingnya tema ini.
“Keluarga kristiani dipanggil untuk ambil bagian secara aktif dan bertanggungjawab dalam misi Gereja dengan cara yang asli dan khas dengan menjadi intimate community of of life and love (komunitas intim: hidup dan cinta) demi pelayanan Gereja dan masyarakat.
Keluarga kristiani berperan dalam misi Gereja dengan cara menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidup setiap hari sesuai dengan status hidup mereka. “It is thus in the love between husband and wife and between the members of the family that the Christian family participates in the mission of Christ and his Church.
Atas dasar partisipasi keluarga kristiani dalam misi Gereja kini diberikan tiga bentuk keterlibatan mereka ke dalam perutusan Gereja: (a. A believing and evangelizing community; b. A community in dialogue with God; c. A community at the service of man.
1. Keluarga kristiani menjadi komunitas yang percaya dan mewartakan. Keluarga menjalankan misi Gereja dengan cara sendiri menjadi keluarga yang beriman dan mewartakan iman. Misi ini dilakukan terlebih dengan cara menghidupi nilai-nilai perkawinan kristiani. Dengan menjadi keluarga kristiani yang setia kepada janji perkawinan dan menghayati sakramen nikah, maka keluarga kristiani ambil bagian dalam misi Gereja yang memberi kesaksian iman.
2. Keluarga kristiani menjadi komunitas yang berdialog dengan Tuhan. Dialog itu berarti mendengarkan Firman Tuhan dan Berdoa kepada Tuhan. Keluarga menjadi tempat di mana orangtua dan anak-anak menghayati iman. Beberapa tema yang disebut oleh FC tentang keluarga ialah: Keluarga menjadi tempat kudus (Sanctuary) Gereja di dalam rumah. Keluarga menjadi sekolah doa yang mengajari anggotanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Doa yang dibangun di dalam rumah tangga menjadi dasar yang kuat untuk menjalankan tugas setiap hari.
3. Keluarga kristiani menjadi komunitas yang melayani sesama. Ujung dari kepercayaan dan praktek doa adalah pelayanan. Setelah keluarga dibangun atas dasar iman dan dialog dengan Tuhan, maka buahny adalah pelayanan kepada sesama. Dengan itu dimaksudkan hendaknya keluarga kristiani berguna untuk masyarakat sekitarnya. Keluarga kristiani perlu menampakkan solidaritas dan kesediaan membantu sesamanya yang membutuhkan. Melalui kesediaan melayani sesama, Gereja juga diuntungkan di dalam karya kerasulannya. Keluarga kristiani menampakkan wajah Gereja di tengah kehidupan masyarakat.