Jumat, 12 Agustus 2011

Kesaksian

Suatu Perjalanan Pulang ke Rumah
oleh Rosalind Moss

Sewaktu saya mulai melakukan suatu hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya - yaitu untuk mempelajari klaim-klaim Gereja Katolik - saya bersandar pada doa, khawatir bahwa yang jahat akan menipu dan membuat saya tiada berguna bagi kerjaan Kristus yang telah saya kenal dan kasihi.

Saya dibesarkan di suatu keluarga Yahudi, yang masih merayakan banyak dari tradisi-tradisi Yahudi, setidaknya di saat saya masih kecil. Saya ingat punya suatu perasaan khusus bahwa Allah yang tunggal adalah Allah kami dan bahwa kami adalah umat-Nya. Akan tetapi ketika saya mulai tumbuh besar dan menempuh jalan kami masing-masing, banyak hal yang kami tinggalkan di belakang. Akhirnya kakak laki-laki saya, David, menjadi seorang ateis, dan saya, mungkin, menjadi seorang agnostik (tidak peduli eksistensi Allah).

Pada musim panas tahun 1975 (saat itu kami berusia tigapuluh tahunan) saya mengunjungi David. Selama bertahun-tahun David telah mencari kebenaran, mencari makna hidup ini, dan untuk memastikan apakah Allah itu sungguh-sungguh ada. Seringkali saya berpikir pada diri sendiri,

Apa yang membuat kamu berpikir bahwa kebenaran itu ada?! ... bahwa ada sesuatu hal yang merupakan kebenaran? Dan apa yang membuat kamu berpikir bahwa kamu bisa menemukannya? Bukankah serupa seperti layaknya mencari jarum di tumpukan jerami? Dan bagaimana kamu akan mengenalinya?

Bahkan sekalipun kebenaran itu ada, dan kamu dapat menemukannya, dan kamu tahu ketika kamu telah memilikinya ... dan bahkan jika kebenaran itu berada bahwa Allah itu ada - lalu apa selanjutnya? Bagaimana dengan mengetahui kebenaran itu bisa membuat suatu perubahan dalam hidupmu?

Pada percakapan kami dalam pertemuan ini, David menceritakan kepada saya bahwa dia telah menemukan suatu artikel yang mengatakan bahwa ada orang-orang Yahudi - orang-orang keturunan Yahudi - yang masih hidup, di dunia ini, yang percaya bahwa Yesus Kristus adalah Mesias orang Yahudi - Sang Mesias (!) yang masih kami tunggu-tunggu kedatangannya selama ini. Saya tidak akan pernah melupakan kekagetan yang menjalari seluruh tubuh saya pada saat itu. Pikiran saya melayang balik ke tahun-tahun ketika kami duduk di meja Paskah Yahudi dalam pengharapan akan kedatangan Mesias, menyadari bahwa Dia adalah satu-satunya pengharapan yang kami miliki. Dan sekarang David mengatakan kepada saya bahwa ada orang-orang - orang-orang Yahudi - yang percaya bahwa Dia telah datang?!

Saya berkata kepada David, "Maksudmu mereka percaya Dia telah ada disini - di dunia ini?! Dan t-a-k s-e-o-r-a-n-g-p-u-n tahu??? Dunia ini tidak berubah? Dan Dia telah pergi???!"

Sekarang lalu apa? Tiada lagi harapan, tiada yang tersisa. Ini gila-gilaan. Selain itu, engkau tidak bisa menjadi seorang Yahudi dan sekaligus percaya pada Kristus.

Dalam waktu tiga bulan sejak percakapan itu, saya telah pindah ke negara bagian Kalifornia dan bertemu dengan beberapa orang Yahudi ini yang percaya pada Kristus. Mereka tidak hanya percaya bahwa Yesus Kristus adalah Mesias bangsa Yahudi, tetapi bahwa Dia adalah Allah yang turun ke dunia! Bagaimana seseorang bisa berpikir seperti itu? Bagaimana seorang manusia adalah Allah? Bagaimana engkau bisa melihat Allah dan tetap hidup?!

Dalam satu malam yang merubah hidup saya, saya berada bersama-sama suatu kelompok orang Yahudi ini, yang kesemuanya adalah umat Kristen pengikut Kristus - semua adalah umat Kristen Protestan Injili (Evangelical-Protestant). Mereka mengatakan kepada saya bahwa Allah perlu mencurahkan darah bagi pengampunan dosa dan mereka menerangkan bagaimana, dibawah sistim kurban Perjanjian Lama, orang-orang datang setiap hari untuk mempersembahkan binatang kurban bagi dosa-dosa mereka - lembu, kambing, domba. Kalau kurban itu seekor anak domba, maka harus jantan, satu tahun umurnya, dan harus sempurna tanpa cacat atau cela. Orang tersebut akan meletakkan tangannya diatas kepala anak domba sebagai simbol bahwa dosa dipindahkan dari orang tersebut kepada binatang itu. Dan anak domba itu - yang tidak berdosa tetapi secara simbolis telah menerima dosa-dosa orang itu - lantas dijagal, dan darahnya akan dituangkan diatas altar sebagai persembahan bagi Allah untuk membayar dosa-dosa orang tersebut.

Saya tidak dapat mengerti mengapa Allah membuat binatang yang tak berdosa untuk dosa-dosa saya? Tetapi saya mulai mengerti bahwa dosa itu bukan suatu hal yang ringan dimata Allah. Mereka juga menerangkan bahwa kurban binatang itu bersifat sementara, bahwa kurban itu perlu diulang-ulang, dan bahwa kurban itu bukan persembahan yang sempurna. Kurban-kurban itu mendahului Yang Satu yang suatu waktu akan datang dan menanggung pada diri-Nya - bukan dosa seorang demi seorang - tetapi dosa-dosa seluruh dunia, dan untuk sepanjang masa.

Dan mereka menunjukkan kepada saya satu saja ayat di Perjanjian Baru, Yohanes 1:29, ketika Yesus datang dan Yohanes Pembaptis, memandang kepada-Nya dan berkata, "Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa-dosa dunia!" Anak Domba Allah - kurban satu-untuk-semua yang final, yang didahului oleh semua kurban-kurban dalam Perjanjian Lama. Sayapun terguncang. Saya tidak dapat mempercayai apa yang baru saja saya mengerti. Rintangan terbesar adalah bahwa seorang manusia tidak mungkin adalah Allah! Tetapi saya menyadari pada malam itu bahwa - jika Allah itu ada - Dia bisa menjadi seorang manusia! Allah bisa menjadi apapun atau siapapun yang Dia kehendaki; Saya tidak akan mengajari Dia bagaimana cara menjadi Allah!

Tidak lama setelah kejadian itu saya memberikan hidup saya kepada Kristus. Dan dalam waktu semalam saja Allah telah mentransformasi hidup saya. Saya nyaris sama sekali tidak tahu tentang Evangelikalisme (Injili) ataupun Protestanisme. Saya telah menjadi seorang Kristen. Saya telah memiliki hubungan pribadi dengan Allah seluruh jagat raya dan suatu alasan untuk menjalani hidup ini untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Saya ingin membawa corong suara ke bulan dan meneriakan kepada seluruh penduduk bumi bahwaAllah ada dan bahwa mereka bisa mengenal-Nya.

Pelajaran Alkitab saya yang pertama sebagai seorang Kristen baru diajarkan oleh seorang mantan Katolik, yang dirinya sendiri pernah diajarkan oleh seorang mantan imam Katolik. Jadi saya belajar sejak permulaan bahwa Gereja Katolik adalah suatu sekte, sistem agama yang semu yang membawa berjuta-juta orang tersesat. Selama bertahun-tahun saya mengajarkan tentang keburukan Gereja Katolik, mencoba untuk menolong orang-orang, bahkan keluarga-keluarga seluruhnya, dengan membawa mereka keluar dari agama buatan manusia, kedalam hubungan yang sejati dengan Kristus lewat kekristenan satu-satunya yang saya kenal dan saya percaya dengan segenap hati saya.

Kira-kira setahun setelah komitmen saya pada Kristus, David menelpon saya untuk mengatakan bahwa dia telah menjadi percaya bahwa Kristus adalah Allah dan bahwa, baginya, hal ini juga berarti memberikan hidupnya kepada Kristus. Tetapi dia belum siap untuk memberikan komitmen dirinya pada gereja manapun juga pada saat itu (meskipun dia telah menghadiri kebaktian-kebaktian Baptis). Jumlah denominasi-denominasi Protestan yang terus bertambah dan kelompok-kelompok yang memisahkan diri, bagi David adalah suatu kesaksian yang buruk akan kata-kata Kristus bahwa Dia akan membangun Gereja-Nya. Dimana persatuan? Bagaimana bisa, dia bertanya, umat Kristen yang tulus, lahir-kembali, percaya pada Alkitab, didiami dan dipimpin oleh Roh Kudus yang sama, bisa datang pada interpretasi yang berbeda-beda?

Inilah satu diantara berbagai pemikiran yang membawa David untuk mempelajari Gereja Katolik Roma. Sayapun merasa ngeri dan khawatir baginya. Bagaimana dia bisa menjadi seorang Kristen yang sejati dan percaya pada Gereja Katolik?

Waktu itu Natal tahun 1978 ketika saya mengunjungi David kembali. Dia membawa saya bertemu dengan seorang biarawan yang selama ini telah membimbingnya dalam belajar dan saya yakin adalah agen iblis dalam misi untuk menyesatkan kakak saya. Dan lalu kami pergi menghadiri Misa tengah-malam Malam Natal. Itu adalah untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di suatu gereja Katolik. Saya duduk dengan terbengong-bengong sepanjang Misa Kudus, dan juga sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Ketika saya akhirnya dapat berbicara, saya berkata kepada David: "Mirip dengan sebuah sinagoga (bait Allah - rumah ibadah orang Yahudi), tetapi ada Kristusnya!!" Dia berkata, "Benar!" Dan saya lalu menjawab, "Salah!!!! Kristus telah menggenapi hukum nabi Musa; semua ritual dan hal-hal sudah disingkirkan!" Hati saya terasa sakit. Bagaimana David bisa terjebak seperti itu? Apakah dia punya batu sandungan? Apakah dia tertarik dengan liturginya? kepada keindahan artistis, dari latar belakang Yahudi kami? Tidakkah dia bisa melihat Kristus sebagai tujuan akhir semua ini?

David menjadi Katolik pada tahun 1979. Tagihan telepon kami antara Kalifornia dan New York sangat tinggi selama tahun-tahun berikutnya. Lebih dalam dia terjun dalam apa yang saya anggap sebagai kesesatan, lebih dalam lagi saya melahap apa yang saya tahu sebagai kebenaran. Setelah menyelesaikan institut Alkitab di gereja saya, saya memasuki program paska sarjana di Talbot Theological Seminary di La Miranda, Kalifornia, sekaligus menjadi pelayan full-time ministri di lembaga permasyarakatan Lancaster, Kalifornia. Keinginan saya yang terdalam setelah lulus adalah menjadi staff di gereja setempat untuk mengajar kaum wanita, menolong mereka untuk membesarkan keluarga yang diridhoi oleh Allah dan untuk menjangkau orang-orang lain dengan Kabar Gembira.

Allah yang memberi kita keinginan-keinginan dalam hati kita adalah Allah yang sama yang membawa keinginan-keinginan ini menjadi kenyataan. Setelah tamat dari Talbot di bulan Mei 1990, saya dipanggil untuk menjadi staf suatu gereja Sahabat Injili (dari aliran Quaker) di wilayah Orange, Kalifornia, sebagai direktur pelayanan wanita. Secara doktrinal, denominasi Sahabat (Friends) ini tidak sepenuhnya sesuai dengan kepercayaan saya, karena mereka telah menghapuskan pembaptisan dan komuni. Gereja yang satu ini, akan tetapi, dibawah kepemimpinnan seorang pastor yang baru, dari latar belakang Baptis (dan mantan Katolik), telah membawa kembali pembaptisan dan komuni ke kongregasi tunggal ini dalam denominasi tersebut.

Dalam bulan transisi yang menentukan dari pelayanan penjara ke gereja lokal itu, saya kembali mengunjungi David di New York. Bulan Juni tahun 1990. Dalam salah satu percakapan maraton kami, David bertanya, "Bagaimana kok kaum Injili tampaknya tidak ingin berusaha untuk bersatu? Tidakkah Yesus berdoa bahwa kita semua akan menjadi satu ...?" Saya melihat kesulitan muncul. "Ya, Yesus berdoa supaya kita menjadi satu, seperti Dia dan Bapa adalah satu .. tetapi tanpa mengorbankan kebenaran!"

Setelah itu David menanyakan jika saya pernah membaca terbitan majalan yang berada diatas meja yang berjudul "This Rock" (Batu Karang Ini), yang disebutkannya sebagai suatu majalah "apologis Katolik". Saya bahkan tidak dapat mengerti dua kata itu bisa digabungkan jadi satu. Saya tidak pernah tahu bahwa umat Katolik punya pembelaan terhadap imannya - tak seorang Katolikpun pernah berbicara tentang Injil kepada saya. Lebih jauh lagi, saya tidak pernah mengenal umat Katolik yang peduli akan orang-orang yang tahu Alkitab.

Saya membawa majalah itu bersama sama kembali ke Kalifornia karena rasa ingin tahu, tetapi juga karena rasa hormat kepada orang-orang yang setidak-tidaknya ingin memberitahukan kepada orang-orang lain tentang apa yang dipercayainya - meskipun mereka salah sekalipun. Di dalam majalah itu ada iklan satu halaman penuh yang berbunyi: Pendeta Presbiterian Menjadi Katolik. Tidak mungkin! demikian kata saya pada diri sendiri. Saya tidak peduli apa anggapan orang itu terhadap dirinya, atau apa pekerjaannya, tidak mungkin "pendeta Presbiterian" ini bisa menjadi seorang Kristen yang sejati jika dia masuk Katolik. Bagaimana dia bisa mengenal Kristus dan tertipu?

Saya lantas memesan seri 4 kaset dari mantan pendeta Presbiterian ini (yang namanya adalah Scott Hahn) berikut perdebatan dua bagian dengan seorang profesor dari Wesminster Theological Seminary menyangkut topik justifikasi (iman saja versus iman dan perbuatan). Pernyataan penutup Scott Hahn menyarikan 2000 tahun sejarah gereja dan berpuncak dengan pemikiran bahwa mereka yang mau meneliti klaim-klaim Gereja Katolik dan menilai bukti-bukti yang ada akan sampai pada "kejutan besar dan kecengangan yang mulia" karena menemukan bahwa apa yang selama ini mereka serang dan coba membawa orang-orang keluar daripadanya, ternyata sesungguhnya justru adalah Gereja yang Kristus dirikan di dunia ini.

Kekagetan luar biasa adalah kata-kata yang bisa menjelaskan apa yang saya alami pada saat itu. "Oh tidak," pikir saya, "jangan katakan pada saya bahwa semua ini adalah benar." Pikiran itu melumpuhkan saya. Saya tidak dapat percaya apa yang saya pikirkan. Dan hal itu datang pada saat yang paling tidak menyenangkan. Dalam waktu dua minggu saya akan mulai bekerja di gereja yang baru.

Saya membaca ulang pernyataan doktrinal denominasi Friends yang segera saya akan bergabung dengannya. Ada cerita tentang pendirinya, George Fox, yang pertobatannya yang dramatis di tahun 1600 memenuhi dirinya dengan kecintaan yang mendalam pada Allah dan semangat untuk menentang penyelewengan-penyelewengan pada jamannya. Dalam keinginannya supaya Allah disembah dalam roh dan dan dalam kebenaran, Fox menghapuskan dua sakramen atau ordinansi yang tersisa, yang telah dibiarkan oleh Martin Luther, yaitu Pembaptisan dan Komuni - supaya iman jangan diletakkan pada unsur anggur, roti dan air, melainkan pada Allah yang menjadi pusatnya.

Saya menyukai semangat George Fox, tetapi saya percaya bahwa dia salah. Pembaptisan dan Komuni jelas-jelas diperintahkan dalam Kitab Suci meskipun saya percaya mereka hanya sebagai simbol saja. Lantas muncul pikiran: Bagaimana jika Luther ternyata melakukan apa yang George Fox lakukan? Bagaimana jika Luther, karena semangat dan kasihnya kepada Allah, juga menghapuskan apa yang dikehendaki oleh Allah? Nyali saya menjadi ciut dan kekhawatiran saya membesar. Apakah pikiran-pikiran saya berasal dari Allah? Apakah berasal dari setan? Saya hanya bisa menyadari bahwa dihadapan Allah, saya harus menemukan apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik.

Selama dua tahun berikutnya sebagai staf gereja Friends, saya memesan buku, pita rekaman, bahkan langganan majalah This Rock, meskipun saya tidak menyukai apapun yang berbau Katolik datang di kotakpos saya. Ketika saya memberitahu David tentang penyelidikan saya, dia menantang saya tentang doktrin Sola Scriptura. "Ros, dimana Alkitab mengajarkan tentang Sola Sciprtura?" Pertanyaan ini mengusik saya. Saya pernah mendengar sebelumnya dan saya memilih untuk mengabaikannya. "Jika," saya pikir, "engkau sungguh mengenal Kristus, jika engkau percaya Kitab Suci sebagai Firman Allah, jika Roh Kudus bekerja dalam hidupmu, menerangi dan menguatkan Firman-Nya kepadamu, engkau tidak akan menanyakan pertanyaan seperti itu. Mengapa engkau menjadikan tantangan terhadap otoritas Alkitab sebagai fokusmu dan bukannya berpegang padanya sebagai santapanmu?"

Dia mencoba meyakinkan saya bahwa dia percaya bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah, tidak bercela, tidak memiliki kesalahan dan memiliki wibawa. "Tetapi," dia bertanya, "dimana Alkitab mengatakan bahwa dirinya adalah satu-satunya otoritas? Dan dimana Kitab Suci mengatakan Firman Allah terbatas pada hal-hal yang tertulis?"

Saya menyebutkan sejumlah ayat-ayat Alkitab (2 Tim 3:16,17; 2 Pet 1:20-21, dan lain-lain), tetapi tidak satupun menjawab pertanyaan David. Bahkan ayat-ayat ini menimbulkan pertanyaan-2 lanjutan: "Bagaimana kita tahu Perjanjian Baru adalah bagian Kitab Suci? Ayat-ayat tersebut hanya merujuk pada Perjanjian Lama karena Perjanjian Baru berlum dijadikan saat itu, setidaknya tidak dalam bentuk utuh seperti sekarang. Semakin dalam saya menggali masalah ini saya berhadap-hadapan dengan fakta bahwa Kitab Suci tidak mengajarkan sola scriptura dimanapun juga.

Tanpa perlu menjelaskan maksud penyelidikan saya, saya melontarkan pertanyaan yang sama kepada para pastor dan pemimpin studi Alkitab. Tak seorangpun bisa menjadi dari Alkitab. Masing-masing datang dengan ayat-ayat yang sama seperit yang saya lihat sebelumnya dan ketika saya membalikan bahwa ayat-ayat itu tidak mengajarkan bahwa Alkitab adalah otoritas satu-satunya, mereka dengan enggan mengiyakan, dan "ayat yang mengganggu pikiran saya" tidak pernah teringat oleh siapapun. "Betapa mencengangkan," saya berpikir. "Kita mengajarkan doktrin Alkitab saja tetapi Alkitab sendiri justru tidak pernah mengajarkannya. Akan tetapi, tetap saja hal ini tidak membuktikan bahwa ada otoritas lain diluar Alkitab.

Pemikiran itu terus muncul: kaum Injili mengajarkan doktrin yang tidak ada di Alkitab sementara menyangkal bahwa ada sesuatu di luar Alkitab yang juga punya otoritas. Ada yang salah disini. Dan kalau kita salah dalam hal ini, apakah mungkin kita juga salah dalam hal lainnya? Bagaimana bisa, umat Protestan menerima Kanonisasi (standarisasi) Alkitab - percaya bahwa Allah yang memberi inspirasi pada Alkitab juga memimpin orang-orang di konsili-konsili di abad ke-4 dan ke-5 untuk mengenali kitab yang mana yang merupakan inspirasi Allah, tetapi menghapuskan banyak doktrin-doktrin utama seperti Ekaristi, Pembaptisan, Suksesi Apostolik dll? Lebih jauh lagi, pada 400 tahun pertama, sebelum kanon Alkitab difinalisasi, lebih dari 1000 tahun sebelum ditemukannya mesin cetak, iman Kristen bisa terpelihara, diteruskan secara oral dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Bagaimana bisa dalam 400 tahun terakhir kekristenan sejak masa Reformasi, dengan kanon Alkitab yang sudah ada, iman itu telah terpecah menjadi ribuan denominasi, masing-masing dengan doktrin yang berbeda dan bersaing, meskipun masing-2 mengaku "berpegang pada Firman Allah?"

Saya mulai membaca segala yang bisa saya temukan, kapanpun saya bisa, sampai saya menyadari setelah dua tahun bahwa saya harus meninggalkan gereja saya di Kalifornia dan mendedikasikan diri saya untuk menentukan jika Gereja Katolik adalah sungguh-sungguh seperti pengakuannya. Saya pindah ke New York dan mulai apa yang menjadi pencarian yang intensif selama dua setengah tahun. Selama berbulan-bulan saya membaca setiap karya Protestan Injili yng bisa saya temukan yang berseberangan pendapat dengan Gereja Katolik. Saya ingin dibebaskan dari nasib kemungkinan menjadi Katolik nantinya. Dengan kekecewaan yang besar saya menemukan bahwa para pengarang Injili ini berseberang pendapat dengan apa yang mereka percaya diajarkan oleh Gereja Katolik. Mereka berargumentasi dengan apa yang mereka percaya diajarkan oleh Gereja Katolik, dan agaknya pemahaman dan kesalah-pahaman mereak terhadap ajaran Gereja Katolik, mencerminkan perspektif Protestan darimana mereka berasal. Ucapan bijak dari almarhum Uskup Agung Fulton Sheen menjadi nyata: "Tidak ada seratus orang di Amerika Serikat yang membenci Gereja Katolik. Ada berjuta-juta orang, yang membenci apa yang secara salah mereka percaya sebagai Gereja Katolik - yang mana, tentunya, sangat berbeda."

Setiap penemuan tentang suatu ajaran Katolik membawa saya untuk kembali meneliti sejumlah doktrin-doktrin Injili. Dan dengan setiap pemikiran yang membawa saya lebih dekat dengan Gereja, suatu perasaan duka dan kematian menyelimuti saya dalam memikirkan bahwa saya akan terpisah tidak hanya dengan gereja saya di Kalifornia, tetapi dengan satu-satunya kekristenan yang telah saya kenal selama 18 tahun.

Sebelum meninggalkan Kalifornia, seorang pastor yang saya kasihi dengan siapa saya berbagi pencarian kebenaran ini, bertanya: "Jika tidak ada Gereja Katolik, apakah pemahamanmu tentang Perjanjian Baru juga akan membawamu untuk menciptakan iman Katolik?" Jawaban saya waktu itu adalah, "Itulah yang sedang saya cari tahu." Setahun sesudahnya, saya akan mengatakan begini, "Tidak, saya tidak akan sampai pada Gereja Katolik, tetapi saya juga tidak akan bersama-sama lagi dengan Protestan Injili." Saya telah menjadi seorang Kristen tanpa rumah. Saya tidak bisa memikirkan menjadi Katolik, tetapi saya juga tidak bisa kembali kepada Evangelikalisme.

Tiga buku sangat membantu saya selama pencarian ini: Essay on the Development of Christian Doctrine, Liturgy and Personality, The Spirit of Catholicism. Lebih banyak saya baca, lebih banyak saya merasakan keindahan, kedalaman, kegenapan desain Allah atas Gereja-Nya melebihi segala hal yang saya kenal. Dalam setiap hal, termasuk tiga yang paling terkenal dalam Reformasi - sola gratia, sola fide, sola scriptura - saya menjadi percaya bahwa Gereja Katolik selaras dengan Alkitab. Segala apa yang saya baca tentang ajaran dan hidup Katolik membawa saya lebih dekat kepada Gereja; sementara sebagian besar yang saya perhatikan membuat saya ingin melarikan diri daripadanya. Dimana Gereja yang saya baca di buku-buku? Dimana Gereja yang bisa disebut "rumah"?

Suatu hari Minggu, saya duduk di bangku belakang sebuah paroki Katolik yang saya kunjungi pertama kalinya. Saya mendengar imam mengatakan apa yang tidak pernah saya dengar dari orang Katolik sebelumnya. Pada konklusi pesan Injil, dia berkata kepada kongregasi, "Kita perlu memberitahukan kepada seluruh dunia!" Hati saya terpaku. Inilah pertama kalinya saya merasakan semangat untuk memenangkan jiwa-jiwa yang diteriakan dari atas mimbar sebuah Gereja Katolik.

Air mata sayapun meleleh. Sejak pertama saya bertemu Kristus, saya telah menjalani hidup ini untuk memberitahukan orang-orang tentang Dia. Saya berpikir, jika Gereja Katolik itu benar, mengapa tidak ada orang Katolik yang Evangelikal? Evangelikal (Injili) bukan sinonim dengan Protestanisme. Untuk menjadi seorang Injili adalah untuk menjadi seorang utusan: yaitu untuk menjangkau kepada dunia yang hilang dan terluka untuk memberitahukan kepada mereka tentang kabar gembira Kristus - bahwa ada seorang Juru Selamat yang datang bagi orang-orang berdosa dan memberikan nyawanya kepada semua yang mau datang kepada-Nya.

Saya bertemu dengan romo tersebut, Father James T.O'Connor, pastor paroki St.Joseph di Millbrook, New York, pada permulaan tahun 1995. Dalam dua pertemuaan dia sangat membantu saya dengan beberapa topik yang sulit, terutama menyangkut Misa Kudus dan sifat sakramental Gereja. Saya menyadari, segera sesudahnay, bahwa pertanyaan tiga tahun terjawab sudah. Saya tahu bahwa di hadapan Allah, saya perlu masuk Gereja Katolik... yang mana hal ini saya lakukan pada Paskah 1995. Saya telah menemukan Gereja yang adalah rumah saya.

Saya masih sedikit kikuk. Saya merasa seperti telah mengarungi lautan dan masih belum tahu cara navigasi. Tetapi saya tahu bahwa itu adalah kebenaran. Tidak hanya perbedaan-perbedaan doktrinal yang memisahkan Protestan Injili dengan Katolik. Tetapi suatu cara pandang yang berbeda. Dunia saya telah terbuka lebar. Segala penciptaan telah memiliki makna yang baru bagi saya.

Saya telah menyambut segala ajaran Gereja yang didirikan Kristus 2000 tahun lalu. Ini adalah Gereja tersebut, didirikan atas para rasul dan nabi, biji sesawi yang telah tumbuh menjadi sebuah pohon, yang telah dipelihara dan meneruskan iman yang suatu ketika diberikan kepada orang-orang kudus; bahwa Gereja yang telah berdiri diuji oleh waktu sepanjang jaman, setiap bidaah, kebingungan, perpecahan dan dosa. Dan inilah Gereja yang akan terus berdiri hingga akhir jaman, karena sungguh-sungguh merupakan Tubuh-Nya, dan dalam esensinya karenanya, kudus, tidak akan pernah berubah, dan abadi.

Dan rahmat demi rahmat inilah Gereja yang telah mengembalikan kepada saya kekhidmatan, keagungan, pesona yang saya kenal sewaktu saya kecil di sinagoga-sinagoga. Saya berkata kepada David suatu ketika, "Saya merasa seolah saya kembali memiliki Allah." Betapa aneh pernyataan yang keluar dari mulut seseorang yang telah mengenal Dia begitu indahnya dan setulusnya lewat Protestan Injili. Tetapi dalam kebebasan dan familiaritas ekpresi dan ibadah Injili, rasa Allah yang transenden seringkali hilang. Sungguh baik untuk membungkuk hormat dihadapanNya.

Dan saya telah melihat bahwa Allah yang transenden, telah memberikan kita Putera-Nya, dan dalam Tubuh-Nya, yaitu Gereja, melebihi apa yang bisa saya bayangkan - tidak melebihi Kristus, tidak selain daripada Kristus, melainkan Kristus seutuhnya.

"O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!" (Roma 11:33)

Selama saya masih diberi nafas oleh Allah, saya ingin memberitahukan kepada dunia tentang sang Juru Selamat dan Gereja-Nya yang satu, kudus, Katolik, dan apostolik.