Senin, 18 Juli 2011

KITAB SUCI SEBAGAI SUMBER TEOLOGI MORAL

Coff Fransiscko Uweubun
Teologi Moral adalah sebuah teologi. Seperti ilmu teologi pada umumnya, teologi moral menimba pengetahuannya dari dua sumber: iman dan akal budi, fides et ratio (Data Pewahyuan dan kemampuan berfikir manusia). Dalam pendahuluan saya sudah menjelaskan perbedaan antara Teologi Moral dan Etika. Yang membedakan Teologi Moral dan Etika ialah karena Teologi Moral menggunakan juga data pewahyuan dari Kitab Suci serta penafsiran terhadap Kitab Suci tersebut oleh Gereja yakni dalam Tradisi Apostolik dan Magisterium. Sumber akal budi membuat Teologi Moral berdialog juga dengan pendapat masyarakat manusia sepanjang sejarahnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sumber teologi moral ialah: Kitab Suci, Tradisi Apostolik, ajaran Magisterium Gereja, Suara Kaum beriman (sensus fidelium) dan Pandangan Masyarakat yang terus berkembang. Sedangkan Etika adalah cabang dari ilmu filsafat di mana dengan kemampuan rasionya manusia mencari kebenaran tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia (human actions).

1. Teologi Moral dan Kitab Suci
Judul ini memberikan kesan bahwa hubungan antara Kitab Suci dan Teologi Moral agak longgar. Dengan sengaja kesan itu ditonjolkan untuk menunjukkan bahwa Kitab Suci menjadi sumber Teologi Moral bukan secara "ready for used" (siap pakai), melainkan dengan pengertian dan metode tertentu. Gereja Katolik memakai Kitab Suci bukan secara harafiah, melainkan  secara rohaniah. Kitab Suci adalah Sabda Allah yang ditulis oleh para pengarang dengan penerangan Roh Kudus. Kitab Suci sebagai buku tertulis bisa didekati, misalnya, dengan kaca mata iman atau bisa dianggap sebagai buku yang memberi informasi tertentu tentang masa lampau. Kitab Suci bisa dianggap juga sebagai sebuah karya sastra yang ditulis oleh pelbagai macam pengarang yang mencerminkan juga suatu pandangan hidup komunitas-komunitas beriman yang menjadi tempat munculnya maha karya sastra yang disebut Alkitab itu. Dalam bagian ini akan diberikan beberapa uraian tentang hubungan antara Teologi Moral dan Kitab Suci, atau lebih tepat, bagaimana seharusnya Teologi Moral menggunakan Kitab Suci.

1.1. Teologi Moral Menimba Inspirasi dari Kitab Suci
Teologi Moral (TM) perlu menimba inspirasi dari Kitab Suci (KS) karena Teologi Moral adalah ilmu teologi. Per definitionem atau menurut arti kata “ilmu teologi” itu sendiri, maka ilmu itu  harus bersumber pada Wahyu Ilahi. Teologi Moral mengandaikan bahwa Kitab Suci berisi tentang kebenaran-kebenaran yang diwahyukan. TM mengandaikan bahwa visi tentang manusia dan dunia dalam KS dan informasi biblik tentang Yesus dari Nasaret yang adalah pewahyuan diri Allah adalah kebenaran wahyu. Pengandaian itu diterima oleh TM dari keterangan ilmu-ilmu teologi lain, misalnya eksegese atau teologi dogmatik. Bukan tugas TM untuk "membuktikan" atau memberikan keterangan lengkap tentang pengandaian tersebut. Kebenaran data wahyu dalam KS dipaparkan dalam ilmu tafsir KS. Sedangkan Teologi Dogmatik membuat sistimatisasi data-data Wahyu sehingga dapat dipahami secara lebih jelas oleh orang beriman. Maka Teologi Dogmatik sering disebut juga Teolgi Sistimatika, dengan nama-nama yang sudah dikenal secara baku misalnya: Teologi Rahmat, Teologi Penciptaan, Kristologi, Teologi Allah Tritunggal, Pneumatologi, Ekklesiologi, Mariologi, Misiologi, dan Eskatologi. Sedangkan TM menerima kebenaran Wahyu yang ditafsirkan oleh ahli KS dan kebenaran iman yang dipaparkan oleh ahli dogmatik. Berikut ini kita akan membahas cara TM menggunakan KS.

1.2. Cara Kitab Suci dipakai sebagai sumber TM
Kalau secara prinsip  diterima bahwa TM harus bersumber pada KS, maka dapat dipertanyakan bagaimana KS itu harus dipakai. Ada beberapa cara di mana KS bisa dipergunakan sebagai sumber TM. Namun cara-cara itu hanya berupa kemungkinan yang bisa dilakukan dan tiap kemungkinan itu memiliki bobot yang tidak sama. Kita perlu memilih cara yang paling tepat bagaimana TM seharusnya menggunakan KS.

1.2.1. Sebagai sumber informasi historik saja.
KS memuat data sejarah tentang masa lampu. Dari sudut TM, KS memberi informasi pula tentang "mores" (adat kebiasaan baik, norma hidup) umat Israel PL dan umat pada zaman Yesus serta para rasul. Informasi itu berguna untuk mengetahui sejarah masa lampu (PL dan PB) dan membandingkannya dengan masa kini, apa kesamaannya dan apa pula perbedaannya. Mores (kebiasaan baik) yang disebutkan di dalam KS, baik PL maupun PB menjadi sumber informasi berharga bagi kita sekarang ini yang memiliki mores (kebiasaan baik) yang berbeda sesuai dengan keadaan masyarakat. Cara memakai KS seperti ini hanya mengangggap KS sebagai buku sejarah. Nasehat moral yang diberikan dalam KS dianggap sebagai salah satu cara untuk menentukan perbuatan baik atau buruk dalam masyarakat manusia yang berbeda-beda menurut tempat dan waktu. Ajaran moral yang termuat di dalam KS kita anggap sebagai bahan perbandingan atau suatu masukan berharga. Namun ajaran itu tidak mengikat kita dan tidak berlaku sebagai landasan ajaran moral kita sekarang.

1.2.2. Sebagai argumen penguat saja (argumentum confermationis)
Kriteria tentang baik atau buruk dan benar atau salah bisa ditemukan oleh rasio manusiawi, tanpa perlu bantuan KS. Pikiran manusia sendiri bisa sampai pada kesimpulan tentang apa yang baik atau buruk bagi manusia. Ilmu Etika membuktikan hal itu. Melalui refleksi filosofis tentang perbuatan manusia, maka dengan akal budinya sendiri manusia dapat mengetahui perbuatan yang baik dan benar. Pengetahuan Etika itu kemudian menuntun manusia mendapatkan kepastian tentang kebenaran dan kebaikan perbuatannya. Tetapi kemudian hasil pemikiran manusia itu diperkuat lagi dengan data-data KS. KS dipakai bukan lagi sebagai buku sejarah, melainkan dipakai sebagai buku Wahyu. Namun wahyu itu dipakai bukan sebagai sumber, melainkan sebagai pendukung pendapat yang sudah ditemukan oleh manusia sendiri. Ayat-ayat KS dicari dan dipilih untuk memberikan konfirmasi bahwa pendapat yang sudah diputuskan oleh pikiran manusia sendiri itu memang sesuai juga dengan Firman Allah. Supaya pendapat manusia lebih meyakinkan, maka perlu dukungan dari Firman Allah. Namun sebenarnya tanpa dukungan KS pun pendapat manusia itu sudah sampai pada kebenaran secara otonom.

1.2.3. KS dipakai untuk mencari pesan utama biblik.
Kitab Suci dianggap sebagai buku Wahyu dan dianggap sebagai sumber inspirasi. KS bukan hanya dianggap sebagai pendukung pendapat yang sudah dipikirkan oleh akal budi, melainkan KS dipakai sebagai sumber dalam proses pemikiran rasional. KS dipakai sebagai dasar untuk menentukan kriteria bagi baik atau buruknya perbuatan manusia. Itu berarti bahwa pencarian kriteria baik atau buruk dilakukan dalam cahaya pesan biblik. Nilai-nilai yang diwartakan oleh KS ikut menentukan proses pencarian kriteria baik-buruk perbuatan manusia. Akal budi manusia dipakai untuk mencari kriteria-kriteria tersebut dalam cahaya inspirasi KS. Untuk itu maka penafsiran secara benar terhadap ayat-ayat KS sangat diperlukan. Kalau KS kita anggap sebagai Firman Tuhan yang memberikan tuntutan kepada akal budi manusia untuk menemukan kebenaran, maka persoalannya ialah: bagaimana memahami pesan KS itu secara baik dan benar?

1.2.4. KS dipakai untuk membangun relasi pribadi dengan Kristus
Kitab Suci sebaiknya dipakai sebagai sarana untuk mengenali Yesus Kristus dan atas cara ini seorang beriman Kristen membangun relasi pribadi dengan-Nya. Pengenalan yang baik terhadap Yesus membuat seorang beriman mendapatkan visi dan semangat hidup-Nya dan hidup sesuai dengan visi itu. Dengan demikian maka KS tidak dilihat sebagai huruf-huruf mati, melainkan sebagai Firman Allah yang mewahyukan Yesus Kristus. Cara penggunaan KS ini tidak usah mengesampingkan cara-cara lain. Tekanan utama ialah penggunaan KS sebagai sumber informasi tentang Yesus sendiri, atau lebih tepat, sebagai sumber kesaksian Gereja purba tentang bagaimana mereka menghayati dan mengalami Yesus dari Nasaret, ialah sebagai Penampakan definitif dari Allah yang hendak menyelamatkan bangsa manusia. Kita pada sekarang ini hidup dari keyakinan yang sama, sehingga pengenalan akan Kristus menjadi sangat penting bagi kita, menurut perkataan Paulus, "segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya." (Fil 3:8).
“Dengan menggunakan KS sebagai sarana perjumpaan pribadi dengan Yesus kita tidak hanya menjadikan visi Gereja purba mengenai Yesus dari Nazaret menjadi visi kita dalam tataran pengetahuan saja, melainkan dihasilkan suatu relasi personal dengan Yesus sendiri, dan bukan hanya dengan visi Gereja Purba mengenai Yesus. Dengan demikian kita bukan hanya menerima dan mengambil alih visi Gereja purba begitu saja, melainkan melalui kesaksian mereka di dalam KS, kita berkontak dengan Kristus sendiri baik seperti Dia hidup 2000 tahun lalu, maupun Dia yang hidup sekarang dalam kuasa Roh menjadi daya hidup Gereja dan setiap orang beriman. KS dipergunakan sebagai mediasi antara kita dengan pribadi Yesus Kristus sendiri."

1.3. Kesulitan-kesulitan bila KS dipakai sebagai sumber Teologi Moral
Diandaikan bahwa KS adalah sumber Wahyu Ilahi yang menjadi sarana perjumpaan personal antara orang beriman dan Yesus Kristus. Namun kesulitannya ialah bagaimana KS itu kita tangkap maknanya dalam bahasa kita dan apakah relevansinya bagi keadaan konkret kita. Kitab Suci adalah Firman Allah yang ditulis oleh manusia yang mendapatkan ilham dari Roh Kudus. Namun para penulis KS itu adalah manusia-manusia yang hidup pada zaman tertentu, dalam kebudayaan tertentu, dengan bahasa tertentu. Kenyataan tersebut menimbulkan beberapa kesulitan apabila kita ingin menangkap dengan benar dan tepat pesan Wahyu Tuhan yang tertulis dalam KS.

1.3.1. Kesulitan untuk menentukan arti teks KS
Kalau kita sudah mengandaikan bahwa KS adalah buku Wahyu yang menjadi sumber insipirasi dan sarana pertemuan personal dengan Yesus, maka kita menghadapi kesulitan bagaimana pesan Wahyu itu ditangkap secara benar. Beberapa kesulitan tersebut antara lain:
Pertama, Kitab Suci Kristen ditulis dalam bahsa Ibrani dan Yunani. KS Perjanjian Lama ditulis dalam bahsa Ibrani karena memang ditulis oleh bangsa Israel yang dianggap sebagai Umat Perjanjian. Allah mengadakan perjanjian dengan bangsa Israel untuk menjadi Allah mereka. KS Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani dan Yunani. Bagi orang-orang yang berbahasa Ibrani dan Yunani, maka masalah bahasa tidak menjadi kesulitan. Namun bagi orang-orang Kristen yang berbahasa Latin, dan kemudian bahasa-bahasa Eropa, selanjutnya bahasa-bahasa di seluruh dunia, termasuk orang yang berbahasa Indonesia, maka masalah terjemahan teks KS menjadi kesulitan yang harus diatasi. Pertanyaannya ialah apakah teks terjemahan KS bahasa Indonesia yang kita pakai adalah sesuai dengan arti asli Wahyu Allah yang terdapat dalam bahasa aslinya, yaitu bahsa Ibrani dan Yunani?
Kedua, kalau kita mengandaikan bahwa KS bahasa Indonesia itu sesuai dengan arti dan makna asli dalam bahasa asal KS, maka masih bisa dipertanyakan pula apakah teks dalam bahasa Indonesia, yang bisa pula diterjemahkan secara tidak langsung melalui bahasa perantara, misalnya diterjemahkan dari bahsa Latin atau bahasa Inggris, maka timbul pertanyaan apakah teks KS bahasa Latin dan Inggris itu sesuai dengan teks aslinya dalam KS berbahasa Ibrani dan Yunani? Apakah bisa dipercaya bahwa terjemahan dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain dengan perbedaan waktu dan perkembangan pengertian itu tidak mengubah pesan Wahyu yang asli? Karena para penerjemah KS adalah ahli-ahli KS dan ahli-ahli bahasa yang hidup dalam rentangan waktu yang sangat berbeda. Jelasnya, apakah terjemahan KS dalam bahasa-bahasa lain sampai dengan abad ke-21 ini, termasuk bahasa Indonesia, itu bisa dipercaya sebagai pembawa informasi pesan Wahyu yang asli. Bagaimana kalau selama proses penerjemahan tersebut telah terjadi pergeseran-pergeseran pengertian sehingga arti teks KS yang kita baca dalam bahasa Indonesia itu sebenarnya tidak sesuai lagi dengan isi Firman Allah pada awalnya. Kita mengandaikan saja bahwa kesulitan terjemahan ini bisa diatasi dengan baik. Kita percaya bahwa arti KS dalam bahasa Indonesia adalah Firman Allah seperti yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Allah sendiri.
Ketiga, sekarang kita sudah mengandaikan bahwa KS bahasa Indonesia adalah sesuai dengan Firman Allah yang asli. Kita percaya kepada para ahli KS yang telah memilih kata dan kalimat setepat-tepatnya untuk menerjemahkan pesan Wahyu Allah itu ke dalam bahasa kita. Teologi Moral menerima saja sumbangan besar dari para akhli KS tersebut. Teologi Moral berangkat dari pengandaian bahwa KS yang digunakan sebagai sumber ilmu teologi moral adalah benar-benar berisi tentang kebenaran iman yang diturunkan sebagai Wahyu Allah. Namun demikian, masih ada kesulitan lain lagi.
Keempat, apakah pesan Wahyu Ilahi  yang sudah diterjemahkan dengan baik dari bahasa aslinya ke dalam bahsa Indonesia itu memang sesuai dengan fakta historis.  Maksudnya, apakah  yang tertulis di dalam KS itu memang sungguh-sungguh pernah terjadi secara semikian. Misalnya, kisah tentang penciptaan langit dan bumi, kisah tentang bapa Abraham, Musa, Nabi Elia, Nabi Yesaya; dan dalam PB cerita tentang perbuatan dan kata-kata Yesus, kisah dan pengajaran St. Paulus dan seterusnya itu apakah memang sungguh-sungguh terjadi secara historis? Sebagai contoh misalnya tentang sabda dan perbuatan Yesus itu, apakah memang sungguh-sungguh diucapkan oleh mulut Yesus dan dikerjakan oleh tangan-Nya sendiri atau hanya dikarang oleh para penulis Injil bersumber dari tradisi Gereja Purba? Jadi ada masalah tentang ipsissima verba et facta Jesu (kata dan perbuatan Jesus sendiri) dan bagaimana kata dan perbuatan Yesus itu diingat dan ditafsirkan oleh para penginjil menjadi tugas kritik historik dalam penafsiran KS. Kita menerima saja bahwa pesan KS adalah autentik dalam arti bisa dipertanggungjawabkan bahwa KS memang menyampaikan fakta historik dan bahwa Sabda dan perbuatan Yesus adalah sungguh-sungguh diucapkan dan dilakukan oleh Yesus sendiri.
Kelima, setelah kita menerima keaslian KS sebagai pesan autentik dari Sabda dan Perbuatan Yesus, maka pertanyaan terakhir ialah: apakah yang dikatakan oleh Yesus itu benar? Dan apakah yang diperbuat oleh Yesus itu juga benar? Pertanyaan ini bisa dipertanyakan lagi: apa yang dimaksud dengan "benar" itu. Pun di sini Teologi Moral mengandaikan bahwa Sabda Yesus adalah benar. Misalnya kalau Yesus mengatakan bahwa Allah adalah Bapa atau Ia akan mengutus Roh Kudus atau di rumah Bapaku ada banyak tempat tinggal, atau Aku dan Bapa adalah Satu. Maka kita percaya bahwa memang demikianlah adanya. Itulah arti pewahyuan. Kita menerima informasi dari pihak Allah dan kita menjadi tahu bahwa: Allah adalah Tri Tunggal, bahwa ada Roh Kudus dan seterusnya. Kepercayaan kita ini kita dasarkan saja pada kata-kata Yesus sendiri:  “Percayalah kepada Allah dan percayalah juga kepadaKu. Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. ...”(Yoh. 14: 1-2). Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaanNya." ( Yoh.14:2;10).

1.3.2. Kesulitan untuk menentukan relevansi teks KS bagi situasi zaman yang berbeda.
Kesulitan ini muncul dari kenyataan bahwa KS adalah Wahyu Allah dalam bahasa manusia yang “dibungkus” dalam budaya tertentu dan pada kurun waktu tertentu. Gereja mengajarkan bahwa pewahyuan resmi dan umum yang perlu bagi keselamatan bangsa manusia sudah lengkap dalam KS PB. KS sebagai pewahyuan Allah yang lengkap itu disampaikan dalam bahasa tertentu dan berisi persoalan-persoalan kehidupan yang nyata, termasuk masalah moral konkret yang hanya tersedia pada zaman itu. Persoalan-persoalan moral yang termuat di dalam KS terbatas pada realitas kehidupan manusia pada saat KS itu ditulis. Memang ada teks-teks KS yang berisi prinsip-prinsip dasar moralitas seperti misalnya yang termuat di dalam Khotbah di Bukit dalam Mat. Pasal 5 – 7. Namun persoalan moral lain yang dihadapi berkaitan dengan soal makan daging persembahan, perlukah orang disunat untuk masuk kristen, dan persoalan-persoalan lain yang masih sangat sederhana dibandingkan dengan persoalan moral yang muncul pada zaman kita.
Kita sekarang ini menghadapi banyak persoalan moral yang belum ada modelnya dan belum disebut di dalam KS. Kalau persoalan moral sekarang disebutkan di dalam KS justeru akan sangat aneh dan bercorak anakronistis. Misalnya masalah penggunaan alat-alat kontrasepsi, persoalan bayi tabung, masalah bank sperma dan donor sperma/sel telur, masalah diagnosa prenatal yang mengarah pada selective abortion, penggunaan kondom untuk mencegah penularan virus HIV, masalah kloning, masalah eutanasia,  masalah senjata nuklir dan krisis energi dan seterusnya. Kita bisa mengajukan pertanyaan: bagaimana kita dapat menggunakan ayat-ayat KS untuk menuntun kita supaya bisa memecahkan persoalan-persoalan itu? Menghadapi masalah-masalah baru yang pemecahannya tidak bisa kita temukan dalam KS, membuat kita bertanya tentang relevasi KS bagi konteks historik yang berbeda, misalnya untuk zaman kita ini.
Orang-orang beragama memiliki sikap dan cara yang berbeda-beda dalam menggunakan KS. Secara umum KS bisa digunakan atas tiga cara berikut ini.

1.3.2.1.  Pandangan Fundamentalisme
Pendapat ini melihat KS sebagai Firman Allah yang secara harafiah harus diterima, ditaati dan dilaksanakan. Pendapat fundamentalisme ini sangat menekankan bahkan memutlakkan relevansi KS bagi setiap zaman dan situasi. Apa saja yang tertulis dalam KS tetap relevan karena merupakan Sabda Allah untuk seluruh bangsa manusia. KS memuat semua persoalan manusia sampai pada akhir zaman. Apa saja yang diwahyukan Allah dalam KS tidak boleh diabaikan sedikitpun. Pendapat ini mendasarkan diri pada Mat.5:18: "Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sebelum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi." Dalam setiap agama terdapat kelompok-kelompok fundamentalis yang menganggap Alkitab sebagai satu-satunya buku kebenaran yang harus menuntun tingkah laku manusia dalam seluruh bidang kehidupan. KS adalah Buku Suci yang memuat Firman Allah dengan segala kebenaran-Nya yang harus ditaati.

1.3.2.2. Pendapat Liberal
Pendapat liberal menolak relevansi KS bagi semua masalah baru dalam koteks sejarah yang terus berubah. Setiap zaman mempunyai persoalannya sendiri yang harus dipecahkan sesuai dengan zaman itu. KS memang berisi tentang ajaran yang luhur, tetapi tidak relevan untuk setiap zaman. KS boleh dipandang sebagai harta pusaka yang sangat berharga, dibaca dan digakumi sebagai warisan sejarah yang bernilai tinggi, namun tidak ada sangkut pautnya lagi dengan kehidupan kokret manusia zaman ini yang bahkan tidak terbayangkan oleh para penulis KS itu sendiri. Konteks pesan KS banyak disampaikan melalui visi dunia tertentu atau suatu kosmologi “primitif” yang sudah ketinggalan zaman kalau dibandingkan dengan visi kosmologi modern manusia zaman sekarang. Jadi, KS tidak releven lagi untuk menjadi sumber ilmu moral pada zaman modern ini.

1.3.2.3. Pendapat yang seimbang
Persoalan relevansi KS memang sangat penting. Dari satu pihak harus diakui bahwa KS mempunyai "keterbatasan-keterbatasan" tertentu. Banyak contoh penyelesaian masalah dalam KS tidak bisa dipakai lagi. Misalnya soal perbudakan yang dihadapi Paulus dalam I Kor. 7,20-24,31. Paulus menerima praktek perbudakan, hal yang dalam zaman modern ini dikecam dengan keras bahkan oleh orang atheis. Itu berarti bahwa tidak semua yang tertulis dalam KS harus diterima secara harafiah. Pendapat fundamentalisme tidak bisa diterima. Dari lain pihak pendapat liberal juga tidak bisa diterima. Adalah tidak bijaksana menolak relevansi seluruh KS hanya karena ada beberapa atau banyak hal yang tidak sesuai dengan zaman kita. Memang ada hal-hal dalam KS yang tidak relevan lain, namun tidak semua.
Pendapat yang seimbang ini mau membela relevasi KS dengan sikap realistis terhadap KS itu sendiri. Cara yang ditempuh ialah dengan membedakan pesan dasar dari bukusnya. Pesan dasar KS adalah satu hal dan bungkusnya dalam bahasa dan kebudayaan tertentu adalah hal lain. Bungkusnya mungkin tidak relevan lagi. Tetapi isinya tetap relevan bahkan kita harus mempercayainya sebagai Sabda Tuhan. Isi pesan dasar ini misalnya: pandangan KS tentang dunia dan manusia. Pandangan KS tentang arti hidup manusia, tentang kebebasan dan kedosaan manusia, tentang kebahagiaan, tentang makna pengorbanan, penderitaan dan kematian. Pandangan KS tentang iman, pengharapan dan cinta kasih. Itu semua tetap relevan bagi setiap manusia dan bisa diterapkan dalam konteks zaman yang berbeda-beda.

1.4. Kesulitan pembacaan selektif dan penafsiran subyektif.
KS sebagai buku Wahyu perlu dibaca dan dipahami secara menyeluruh. Dalam pembacaan KS kita mengenal apa yang disebut "analogi iman" artinya kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam pelbagai tempat dalam KS itu memiliki relasi, saling melengkapi dan saling mendukung demi pemahaman yang lebih baik akan Wahyu Allah. Wahyu Allah adalah Allah yang mewahyukan diri. Allah berbicara tentang diri-Nya sendiri. Dan kebenaran Wahyu itu ialah Allah sendiri. Maka kebenaran itu satu saja, utuh, menyeluruh, dan lengkap.
Kesulitan muncul karena pewahyuan itu harus dimengerti oleh manusia yang memiliki daya penangkapan terbatas. Kita memahami isi pewahyuan itu sedikit demi sedikit. Pembacaan selektif dan pengertian subyektif terhadap KS tidak bisa dihindarkan. Setiap orang akan memilih teks-teks KS sesuai dengan kepentingannya atau situasi hidupnya. Setiap orang akan menafsirkan ayat-ayat KS sesuai dengan kemampuannya.
Kalau Teologi Moral mau memakai KS sebagai sumbernya, maka KS akan dipakai dengan kemungkinan bahaya selektivitas dan subyektivitas ini. Maka pentinglah disadari bahwa setiap penafsiran KS bercorak selektif dan subyektif. Kesadaran ini sangat penting agar seorang teolog menyadari keterbatasannya dan tidak menganggap bahwa penafsirannya itu adalah satu-satunya penjelasan yang paling benar tentang ayat-ayat KS. Kesadaran akan bahaya penafsiran yang selektif dan subyektif itu perlu diimbangi dengan usaha yang serius dan jujur agar penafsiran terhadap ayat-ayat KS bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk kalau penafsiran itu dilakukan oleh Magisterium Gereja yang memiliki kuasa di bidang pengajaran iman dan moral bagi umat beriman. Pada saatnya tema tentang Magisterium Gereja juga akan dibahas dalam bagian yang menyusul.

1.5. Enam Model penggunaan KS menurut  William C. Spohn, SJ
Apa kata seorang teolog tentang KS? Bila Teologi dan Teologi Moral akan menggunakan KS sebagai sumbernya, maka pertanyaannya ialah bagaimana KS itu dipakai atau ditafsirkan. Menurut William C. Sphom, SJ, ada enam cara menggunakan KS sebagai sumber teologi moral yang dikumpukan dari pelbagai posisi teologis. Enam model ini bukan pertanda kekacauan, melainkan kekayaan KS itu sendiri. Karena meyakini bahwa empat Injil adalah lebih baik dari pada satu Injil saja, maka Gereja Perdana sejak semula menghargai pluralisme bahkan di dalam dokumen utama iman Kristen itu. Berdasarkan pluralisme itu, maka enam paradigma penggunaan KS berikut ini juga dilihat sebagai model-model yang saling melengkapi seperti halnya keempat Injil juga saling melengkapi.

1.5.1. Paradigma “Perintah Allah” (The Command of God)
Salah satu pertanyaan moral dasar ialah “Apa yang harus saya lakukan supaya menjadi orang baik secara moral?”  (What ought I to do?).  Bila KS dipakai sebagai dasar Teologi Moral, maka jawaban atas pertanyaan itu ialah: “Dengarkanlah perintah Tuhan yang secara pribadi menyapa engkau di dalam KS, dan lakukanlah perintah itu dengan iman yang teguh!” Model penggunaan KS ini berfokus pada perikop-perikop tentang panggilan Tuhan kepada setiap orang dan bagaimana orang itu menjawab panggilan tersebut. Ada begitu banyak kisah panggilan Tuhan secara pribadi kepada individu atau kelompok bangsa manusia. Contohnya dalam PL, panggilan Bapa Abraham, Musa, Nabi Elia dan Elisa, Raja Daud dan Salomo; juga panggilan umat Israel, panggilan suku Lewi, panggilan pertobatan kepada orang Ninive dan seterusnya. Demikian pula dalam PB Yesus memanggil para rasul, para murid dan orang-orang yang percaya kepada-Nya. Tuhan memanggil setiap orang dari suku, bangsa dan bahasa dalam setiap zaman. Mereka semua harus menjawab panggilan Tuhan itu dengan iman mereka.
Namun kelemahan dari pendekatan ini ialah bahwa perintah Tuhan di dalam KS itu tidak diberikan secara konkret, melainkan secara umum. Perintah-perintah yang konkret pun seperti misalnya Sepuluh Perintah Allah adalah merupakan pedoman umum bagi setiap individu dalam situasinya yang nyata. Sepuluh Perintah Allah pun paling-paling hanya merupakan rambu-rambu yang memberikan arah dan memberikan batasan tentang pola tingkah laku yang berkenan pada Allah. Perintah Tuhan itu bagaikan garis putih marka jalan yang berfungsi sebagai pengatur lalu lintas supaya para pengguna jalan tidak saling bertabrakan, namun yang tidak mengajari para pengemudi bagaimana caranya mengemudi dengan benar di jalan raya.
Masalahnya ialah bagaimana kita dapat mengetahui kehendak Tuhan di dalam KS itu? Disposisi batin yang bagaimanakah yang membuat kita mampu menangkap kehendak Tuhan bagi situasi hidupku kini dan di sini? Pengalaman rohani yang seperti apakah yang membuat seorang beriman dapat melihat kewajibannya sebagai perintah yang datang dari Tuhan sendiri? Dalam hal ini kiranya kita perlu meneladan Yesus Kristus sendiri tentang bagaimana Ia melihat hidup-Nya sebagai panggilan untuk malaksanakan Perintah Bapa-Nya. Kita perlu memiliki semangat kebebasan anak-anak Allah yang merasakan sukacita menjadi murid Yesus untuk melaksanakan kehendak Bapa.

1.5.2. Paradigma  “Pengingat Moral” (Moral Reminder)
Paradigma ini diusung oleh para moralis modern yang memiliki pandangan tertentu tentang hukum kodrati Etika Kristiani. Pertanyaan moral dasar, “apakah yang harus saya perbuat?” atau “Perbuatan baik apakah yang harus saya lakukan?” harus dijawab dengan menegaskan: I must be human! (Saya harus menjadi manusiawi). Alasannya karena Putera Allah sendiri telah memeluk kemanusiaan saya dalam misteri inkarnasi. KS mengandaikan bahwa manusia sendiri sudah bisa membedakan dengan akal budinya antara hal yang baik dari yang jahat. Kehendak Tuhan sudah diukir di dalam kodrat manusia, terlebih di dalam kemampuan rasionya, sehingga manusia mampu menangkap kehendak Tuhan melalui hukum-hukum moral yang terdapat di dalam masyarakat manusia. Seperti St. Thomas Aquinas juga mengajarkan bahwa Hukum Kristus itu pertama-tama adalah anugerah Roh Kudus yang dicurahkan di dalam hati manusia, dan yang kedua barulah yang tertulis di dalam Kitab Suci. Ajaran moral Yesus Kristus tidak membawa informasi baru tentang apa artinya menjadi manusia yang manusawi, melainkan memberikan motivasi baru tentang bagaimana menjadi manusia yang manusiawi itu. Motivasi baru itu adalah semangat Kristus atau karunia Roh Kudus yang memampukan orang kristiani menghidupi moralitas secara lebih bebas, gembira dan spontan; tidak lagi sebagai beban melaksanakan peraturan.
Menurut para moralis modern ini, ajaran moral KS juga tidak memuat ajaran yang khas kristiani, melainkan yang umum untuk semua manusia. Memang ada orang yang berusaha untuk menekankan ciri khas moral kristiani (proprium christianum) yang berbeda dari moral umum (humanum). Misalnya ditunjuk perintah Yesus untuk mengasihi musuh. Mereka berpendapat bahwa moral umum tidak akan mengajarkan untuk mencintai musuh. Paling maksimal moral umum akan menghormati musuh demi kemanusiaan. Namun Josef Fuchs, dosen Teologi Moral di Universitas Gregoriana, Roma, berpendapat bahwa mencintai musuh juga adalah bagian dari moral umum. Jika tidak demikian, maka harus disimpulkan bahwa untuk orang non-kristiani diizinkan untuk membenci musuh. Kenyataannya orang non-kristenpun tentu tidak dibenarkan untuk membeci musuh. Maka ternyata KS berfungsi bukan untuk menunjukkan perintah-perintah moral yang baru dan khas kristiani, melainkan hanya untuk mengingatkan (moral reminder) perintah-perintah moral umum yang berlaku untuk umat manusia. Yang baru ialah orientasi dan motivasi perbuatan moral didasarkan pada pertobatan hati yang radikal di dalam Yesus Kristus.



1.5.3. Paradigma Panggilan Menuju Kebebasan (Call to Liberation).
KS dipakai sebagai sumber ilmu moral untuk mendapatkan landasan bagi perjuangan pembebasan manusia. KS berisi berita gembira tentang pembebasan manusia dari kuasa dosa. KS berisi kisah-kisah tentang tindakan pembebasan yang dilakukan oleh Allah kepada umat-Nya. Dalam PL diceritakan peristiwa pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Allah menuntun umat-Nya melalui para Nabi dan para Pemimpin untuk menganugerahkan kebebasan hidup yang penuh martabat sebagai umat Allah. Kemudian Allah memberikan tanah Kanaan dan bangsa Israel menjadi bangsa yang besar di bawah pemerintahan Raja Daud dan Salomo. Ketika Israel sudah mencapai kejaannya di bawah pemerintahan para rajanya, Tuhan kemudian membebaskan mereka dari faham yang terlalu duniawi terhadap keselamatan. Maka segala simbol kejayaan duniawi itu dirobohkan dan Umat Israel dibawa ke pembuangan Babilon. Apa yang terjadi di dalam periode pembuangan itu? Di sana tampillah periode Kenabian di Israel di mana para Nabi diutus oleh Allah untuk mewartakan pembebasan bagi umat-Nya. Namun ternyata isi warta pembebasan para Nabi itu tidak terbatas pada janji bahwa bangsa Israel akan dibebaskan dari pembuangan, melainkan sampai kepada ramalan janji kedatangan Juru Selamat. Terlebih dalam Nabi Yesaya yang menubuatkan anak dara akan mengandung (Yes. 7: 10-14) dan Nabi Mikha yang menunjuk Betlehem di Efrata bukanlah tempat tekecil di Yehuda (Mi. 5: 1).
Ketika Yesus benar-benar hadir di dunia ini, Ia menjadi tanda hadirnya Kerajaan Allah melalui khotbah dan perbuatan-Nya. Ia mewartakan bahwa waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat dan kita harus percaya kepada Injil (Mrk. 1: 15). Dalam tindakannya Yesus membebaskan manusia dari pelbagai macam belenggu. Yang pokok ialah belenggu dosa yang disimbolkan dalam bentuk pelbagai macam penyakit; dan belenggu kuasa kegelapan yang dilambangkan dalam bentuk kerasukan setan. Jadi, ketika Yesus menyembuhkan penyakit dan mengusir setan, maka Yesus membebaskan manusia dari belenggu dosa dan kuasa kejahatan. Yesus mengampuni dosa dan mengusir setan. Para pejuang teologi pembebasan memakai teks-teks KS itu sebagai paradigma pembebasan umat manusia. KS dianggap sebagai sumber norma yang memberikan peneguhan bahwa perjuangan pembebasan manusia dari pelbagai macam belenggu itu adalah inti pesan KS. Teologi Pembebasan ingin mewujudkan pesan KS sebagai daya transformatif di dalam masyarakat yang dapat membawa keadaan yang lebih baik di dunia ini.

1.5.4. Paradigma “Menjawab Pewahyuan” (Response to Revelation)
KS dipakai untuk mencari tahu “apakah yang Tuhan sedang kerjakan dalam hidup saya?” (What is God doing in my life?). Pertanyaan itu diajukan telebih dahulu dan dicari jawabannya di dalam KS dan baru kemudian orang bisa bertanya “Perbuatan baik apa yang harus saya lakukan?” Pendekatan terhadap KS model ini mengandaikan bawah Tuhan terlibat di dalam sejarah kehidupan setiap orang. Tuhan memang tidak mengarahkan segala peristiwa dalam arti predestinasi atau sudah ditakdirkan terlebih dahulu, melainkan secara lebih kompleks Tuhan memberikan, menciptakan, menebus dan mengadili setiap orang.
            H. Richard Nierburh, seorang teolog protestan Amerika, yang di tengah-tengah berkecamuknya perang dunia II mengajukan pertanyaan ini: Apakah yang Tuhan sedang kerjakan di tengah-tengah perang seperti ini? Ia menelaah KS untuk mencari perspektif yang memungkinkan dia untuk memahami misteri tindakan Allah yang tersembunyi di dalam tragedi kemanusiaan itu. Ia menggunakan simbol-simbok biblis dalam bentuk pengadilan dan penyaliban untuk menafsirkan penderitaan para korban perang. Nierburh tidak berpretensi bahwa ia mengetahui pikiran Tuhan, melainkan ia merasa menemukan pola tindakan Allah dalam KS yang bisa dipakai untuk menjelaskan tindakan Allah di tengah-tengah berkecamuknya perang. Pola penggunaan KS ini membantu orang beriman untuk menemukan bentuk kehadiran Tuhan dalam kehidupan yang nyata. Menurut Niebuhr Tuhan tidak memihak kepada siapapun dalam perang yang sedang berkecamuk itu, melainkan mengajak semua pihak untuk bertobat. KS selalu menyediakan sumber inspirasi di mana kita dapat memahami kehendak Tuhan bagi kehidupan kita.

1.5.5. Paradigma Panggilan Kemuridan (Call to Discipleship)
Paradigma penggunaan KS ini langsung menunjuk pada tindakan Yesus memanggil para murid-Nya untuk mengikuti Dia. Mengikuti Yesus berarti menjadi murid-Nya. Menjadi murid Yesus itu unik sekali, pertama, Yesus yang mencari murid-murid; kedua, tidak pernah tamat, ketiga, harus tinggal bersama dengan Dia. Murid-murid para Rabbi Yahudi mencari guru, ada saatnya tamat dan tidak tinggal bersama Rabbi mereka. Bahkan untuk menjadi murid Yesus seorang kristen perlu mengenakan cara hidup Yesus yang sangat unik dan khas juga. Orang kristen perlu memahami dengan baik cara berfikir Yesus, Visi-Nya, sikap-sikap-Nya, perhatian-Nya, perilaku-Nya, cara-Nya bergaul dengan sesama, cara-Nya berdoa kepada Allah Bapa, cara-Nya menghadapi penggodaan, cara-Nya menghadapi penderitaan dan seterusnya.
Kalau seorang Kristen menerima semangat hidup Yesus untuk meresapi semangat hidupnya sendiri, maka ia akan menemukan bahwa ternyata banyak nilai-nilai kristiani akan berlawanan dengan nilai-nilai dunia ini. Nilai-nilai komunitas beriman kristiani akan bertentangan dengan nilai-nilai sekular dunia ini. Sebagai contoh, menurut Stanley Hauerwas, perdebatan tentang aborsi adalah bagaikan perdebatan tiada henti di antara dua orang yang tuli. Kedua belah pihak tidak mampu mendengarkan pendapat pihak yang lainnya. Masing-masing berbicara menurut isi pikirannya sendiri dan tidak dapat mendengarkan lawan bicaranya dan tidak bisa saling memahami karena pandangan yang dianut tidak cocok satu sama lain. Kelompok Pro-life melawan aborsi berdasar pada keyakinan filosofis daripada landasan iman kristiani yang jelas. Kelompok pro-choice menyetujui aborsi berdasarkan pada mentalitas budaya liberal yang sangat mengagungkan pilihan bebas dan otonomi individu. Pertanyaan sesungguhnya dalam persoalan abortus adalah bukan bahwa janin itu sudah memiliki hidup manusiawi atau belum, melainkan apakah janin itu bayi atau bukan bayi. Orang kristen mestinya bertanya kita ini ingin menjadi komunitas manusia yang mau menerima kelahiran seorang bayi atau tidak? Seorang bayi yang lahir di tengah kita itu kita anggap sebagai berkat atau ancaman? Kalau kita mendalami KS, maka kita akan menemukan norma moral yang menuntun kita untuk memiliki sikap-sikap Yesus. KS dipakai sebagai sumber ilmu moral untuk menemukan norma moral Yesus Kristus.

1.5.6. Paradigma Kasih yang tanggap ( Responsive Love)
KS dipakai untuk menemukan ajaran utama Yesus dan ternyata itu terdapat dalam Yoh 15:12 di mana Yesus berkatan, “Kasihilah satu akan yang lain sama seperti Aku telah mengasihi kamu” (As I have loved you). KS mewartakan bahwa Yesus terlebih dahulu sudah mengasihi kita. Karena kita sudah mendapatkan kelimpahan kasih dari Yesus, maka kini giliran kita untuk mengasihi satu sama lain. Perintah moral dasar yang muncul di sana ialah perintah untuk mengasihi, namun bukan sembarang mengasihi, melainkan mengasihi seperti Yesus telah mengasihi kita. Maka KS perlu dipakai untuk mencari tahu bagaimana caranya Yesus telah mengasihi. Yesus menyembuhkan orang yang sakit kusta (Luk. 17: 11-19); Yesus singgah di rumah Zakeus pemungut cukai (Luk. 19: 1-10); Yesus membela seorang perempuan yang berzinah (Yoh. 8: 1-11); Yesus memanggil Matheus pemungut cukai menjadi murid-Nya (Mat. 9: 9-13), Yesus mengampuni penjahat yang bertobat (Luk. 23: 41-43). Kalau kita sudah tahu bagaimana Yesus mengasihi, maka kita bisa meniru Dia dan mempraktekkannya untuk sesama kita. Dengan cara ini kita melakukan Imitatio Christi (mengikuti jejak Kristus). Sebagai contoh adalah ketika Paulus menghimbau umat di Filipi supaya lebih mendahulukan kepentingan sesama dari pada kepentingan diri sendiri. Paulus meminta umat di Filipi dengan sebuah kidung Kristologis yang sangat Indah dalam Fil. 2: 1-11. Diawali dengan kata-kata ajakan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah... telah mengosongkan diri-Nya sendiri.
KS sungguh-sungguh merupakan harta rohani yang sangat berharga untuk mendapatkan pedoman hidup dan pegangan moral yang bersumber dari pikiran, perasaan, kehendak dan tindakan Yesus sendiri. Ajaran Yesus merupakan kebijaksanaan yang lahir dari pikiran, perasaan dan kehendak-Nya. Namun Yesus bukan hanya mengajarkan dengan mulut melainkan melaksanakannya dalam tindakan. Maka Teologi Moral perlu menggunakan KS untuk menemukan pola pikir dan pola tindak Yesus sendiri yang menjadi norma tindakan manusia.

Jumat, 15 Juli 2011

~RENCANA ALLAH TENTANG KELUARGA~


by : Coff Fransiscko Uweubun

PENDAHULUAN

Kalimat pertama Familiaris Consortio menyatakan: Keluarga modern, lebih dari semua lembaga lainnya, mengalami krisis yang mendalam. Ada keluarga yang masih mampu menghayati nilai-nilai luhur lembaga perkawinan; ada yang mengalami keraguan dan kebingungan tentang makna perkawinan karena pengaruh praktek h...idup yang merendahkan nilai-nilai kehidupan rumah tangga; dan ada pula keluarga yang dihalangi atau dihambat oleh pelbagai situasi yang tidak adil sehingga mereka tidak dapat menikmati hak-hak azasi mereka. 

Gereja merasa terpanggil untuk meneguhkan kelompok yang pertama; memberikan tuntunan dan pencerahan kepada kelompok yang kedua; menawarkan jasa dan membela kelompok yang ketiga.

Exhortatio Apostolica (himpauan kegembalaan) FC adalah dokumen resmi Vatikan yang menyimpulkan hasil-hasil sinode para uskup di Roma tgl 26 Sept – 25 Okt 1980. Sebulan lamanya para uskup sebagai gembala umat bersinode untuk memberikan perhatian mereka kepada keluarga-keluarga kristiani dan lembaga keluarga pada umumnya.

1. HARAPAN DAN TANTANGAN

Dari satu pihak, ada beberapa ciri yang memberi harapan ialah: adanya kesadaran dan kebebasan pribadi yang lebih besar, juga dalam hal memilih status hidup berkeluarga; Perhatian lebih besar bagi mutu perkawinan sebagai relasi antar pribadi suami dan isteri; Penghormatan para martabat wanita; prokreasi yang bertanggungjawab dan kesadaran lebih besar untuk mendidik anak-anak.
Ada kesadaran pula soal ketergantungan antar keluarga untuk saling menolong di bidang rohani, bantuan material, menemukan kembali misi gerejani yang khas bagi keluarga untuk membangun masyarakat yang lebih adil.
Dari lain pihak ada gejala yang merendahkan nilai-nilai dasar keluarga: Konsep teoritis dan praktis yang keliru tentang hubungan saling ketergantungan antara suami dan isteri; Kekeliruan berat tentang pengertian hubungan kekuasaan antara orangtua dan anak-anak; Kesulitan praktis bagi keluarga dalam mewariskan nilai-nilai moral bagi anak-anak; Banyaknya praktek perceraian; Banyaknya praktek abortus; Lebih banyaknya orang yang melakukan sterilisasi; Adanya mentalitas kontraseptif yang sangat nyata.
Pada akar semua penyimpangan itu tidak jarang terdapat paham dan pengalaman yang salah tentang kebebasan manusia. Kebebasan tidak dimengerti sebagai kemampuan untuk mewujudkan kebenaran rencana Allah bagi perkawinan dan keluarga, melainkan sebagai otonomi untuk realisasi diri yang sering dengan melawan hak-hak orang lain demi mencapai kesenangan sendiri
Patut diperhatikan pula bahwa di negara ketiga keluarga-keluarga sering mengalami kesulitan makanan, pakaian, rumah, pengobatan bahkan kebebasan dasar. Sebaliknya di negara maju, keluarga hidup dalam kemewahan, mentalitas konsumeristis, bahkan egoisme kesenangan diri sampai tidak mau repot melahirkan dan memelihara anak-anak.
Harapan dan tantangan itu menjadi tanda-tanda zaman yang harus dijawab oleh Gereja untuk tetap mempertahankan nilai-nilai

2. RENCANA ALLAH BAGI PERKAWINAN DAN
KELUARGA

Dari mana manusia tahu tentang rencana Allah? Jawabnya: dari wahyu positif dan wahyu natural. Wahyu positif berarti apa yang disampaikan melalui Kitab Suci. Wahyu natural artinya apa yang terdapat di dalam alam ciptaan dan diketahui dengan akal budi. Dari Kitab Suci kita tahu bahwa Allah menciptakan manusia pria dan wanita untuk membentuk satu keluarga: mereka bukan lagi dua, melainkan satu daging. Dari hukum alam kita tahu bahwa ciptaan Tuhan, hewan, manusia bahwa tumbuhan berpasang-pasngan jantan dan betina, pria dan wanita, dan dari sana lahirlah keturunan-keturunan. Yang pertama disebut hukum wahyu positif; yang kedua disebut hukum natural-alamiah.

2.1. Rencana Allah menurut Pewahyuan
Dari data wahyu kita mengetahui bahwa: 1). Allah menciptakan manusia segambar dengan Allah; 2). Keluarga dipanggil untuk mewujudkan cinta kasih; 3). Keluarga adalah panggilan dari Allah.

2.1.1. Allah Menciptakan Manusia Segambar dengan Allah
Allah menciptakan manusia menurut gambar dan citra-Nya (Kej. 1:27). Allah pada hakekatnya adalah kasih (Yoh 4:16). Manusia diciptakan menurut model kasih dan dengan motivasi kasih. Dengan menciptakan manusia menurut gambar-Nya, Allah mengukir di dalam diri setiap manusia, pria dan wanita, suatu kemampuan atau dorongan yang kuat untuk mengasihi. Dengan demikian panggilan dasar manusia ialah untuk mengasihi.
Panggilan untuk mengasihi disebut panggilan umum atau panggilan dasar. Kalau manusia ingin menjadi manusia yang sesungguhnya ia harus berkembang dalam kemampuannya untuk mengasihi. Mengasihi berarti orang keluar dari dirinya sendiri untuk mengarahkan dirinya kepada Allah dan sesama. Semakin orang terarah kepada orang lain, semakin ia menemukan dirinya. Paradoks cinta ini diungkapkan oleh Yesus dalam Sabda-Nya, “Barang siapa ingin menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya. Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkan nyawanya.” (Mrk 8:35). Dan kata-Nya lagi, “Tiada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabat-Nya.” (Yoh. 15:12). Ujian akhir manusia untuk melihat apakah ia lulus sebagai manusia dengan ujian kasih kepada sesama: “Ketika Aku lapar, haus, telanjang, sakit, dalam penjara..... dan kamu melawati Aku.” (Mat 25:31-46)

2.1.2. Manusia dipanggil untuk Mewujudkan Cinta Kasih
Bagaimana panggilan umum untuk mengasihi diwujudkan secara konkret? Tentu saja dengan melihat dimensi keberadaan manusia yang nyata. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang bercorak jasmani dan rohani. Manusia adalah kesatuan tubuh dan jiwa (Anima et corpore unus). Maka cinta kasih juga dinyatakan secara rohani dan jasmani.
Secara rohani kasih adalah seperti yang dijelaskan oleh St. Paulus dalam Madah Kasih, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu; ia tidak memegahkan ciri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala-sesuatu, mengharapkan segala-sesuatu, sabar menanggung segala-sesuatu.” (I Kor 13:4-7). Madah kasih ini dapat menjadi cermin bagi manusia untuk melihat dirinya apakah ia sudah melaksanakan kasih. Madah itu bagaikan batu uji untuk menilai sikap dan tindakan manusia apakah sudah mengamalkan kasih.
Secara jasmani cinta kasih mengambil bentuk atau komitmen hidup tertentu dan nyata. Dalam ajaran Gereja Katolik bentuk jasmaniah cinta kasih ada dua macam: yaitu perkawinan dan selibat. Kedua status hidup ini adalah wujud konkret dari panggilan untuk mengasihi. Baik perkawinan maupun selibat dimaksudkan sebagai pernyataan cinta kasih secara penuh. FC no. 11 menyatakan: “Christian revelation recognizes two specific ways of realizing the vocation of the human person, it its entirety, to love: marriage and virginity or celibacy.Either one is, in its own proper form, an actuation of the most profound truth of man, of his being”created in the image of God”(Pewahyuan kristiani mengenal dua bentuk khusus mewujudkan panggilan untuk mengasihi, yaitu: perkawinan dan kemurnian atau selibat. Dengan caranya masing-masing keduanya adalah perwujudan dari kebenaran manusia yang paling mendalam sebagai pribadi yang diciptakan secitra dengan Allah).
Jelaskan bahwa perkawinan atau hidup berumah-tangga merupakan wujud panggilan untuk mengasihi. Sebagai manusia yang secitra dengan Allah, maka manusia pria dan wanita yang menikah dipanggil untuk mewujudkan cinta kasih yang sempurnya, seperti Bapamu di sorga sempurnya adanya.

2.1.3. Keluarga kristiani dihayati sebagai bentuk panggilan Tuhan
Dilihat dari cahaya iman, hidup perkawinan dan keluarga bukanlah sekedar keharusan alamiah yang artinya bahwa kalau pemuda dan pemudi sudah dewasa, maka harus menikah.Hidup berkeluarga juga bukan hanya suatu keharusan sosial, artinya bahwa setiap anggota masyarakat yang sudah waktunya menikah harus menikah demi melanjutkan keturunan dan kelangsungan masyarakat.
Hidup berkeluarga merupakan panggilan dari Allah karena keluar dari kehendak Allah sendiri bagi manusia. Lembaga perkawinan bukanlah lembaga manusiawi saja, melainkan lembaga ilahi dengan mana Allah memanggil manusia. Maka pada waktu orang Farisi bertanya kepada Yesus, “Apakah seorang suami boleh menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?, Yesus menjawab: “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduania itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.” (Mrk 10:6-8). Betapa indah jawaban Yesus itu. Kata-kata itu bukan hanya indah melainkan menyatkan kebenaran tentang arti hidup perkawinan bagi manusia. Orang beriman yang menikah mengikuti panggilan Tuhan untuk membentuk keluarga manusia penuh kasih dan pengorbanan.

3. PERANAN KELUARGA KRISTIANI

Keluarga kristiani memiliki peran-peran sangat penting yang harus dilaksanakan. Peranan itu hanya bisa dilaksanakan oleh lembaga keluarga dan tidak bisa digantikan oleh lembaga apapun. Secara garis besar peranan itu ada empat dan bisa disebut dengan istilah yang sudah baku dalam Gereja, yaitu: bonum coniugis; bonum prolis, bonum societatis dan bonum religionis.

3.1. Membentuk Komunitas antar pribadi
Kata lain dari tema ini ialah kebahagiaan suami isteri atau demi perkembangan pribadi dua pribadi yang menikah. Pria dan wanita yang menikah memiliki harapan dan impian yang banyak dan indah. Mereka berharap agar semua harapan itu dapat diwujudkan di dalam perkawinan. Harapan itu misalnya: kebahagiaan lahir dan batin; kesetiaan perkawinan; kasih sayang yang tulus; saling menolong dan seterusnya.
Harapan terhadap perkawinan dapat dirumuskan dalam suatu definisi dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan ialah persekutuan mesra hidup dan cinta antara pria dan wanita untuk saling membantu di segala bidang kehidupan, terlebih di dalam bidang penyempurnaan cinta kasih. Perkawinan itu terarah kepada kelahiran anak-anak dan pendidikan mereka. Perkawinan itu juga demi kebaikan masyarakat dan melalui berkat Tuhan diangkat menjadi sakramen keselamatan.
Peran pertama yang dimainkan oleh keluarga kristiani ialah membentuk persekutuan antar pribadi. Siapakah pribadi manusia itu? Beberapa unsur atau sifat yang bisa ditunjuk antara lain:
a. Manusia adalah subyek. Subyek itu biasanya dimaksudkan pribadi yang berakal budi dan berkendak bebas. Manusia adalah pribadi yang memiliki hati nurani, dapat menentukan apa yang akan dilakukannya tanpa paksaan dan tekanan dari orang lain.
Relevansinya bagi keluarga: suami-isteri harus saling menghormati, tidak boleh memaksakan kehendak. Demikian pula anak-anak harus dihargai dan diperlakukan sebagai subyek. Anak tidak boleh dianggap sebagai obyek, barang milik, yang bisa dimanfaatkan atau menjadi pelampiasan kemarahan orang tua.
b. Manusia adalah pribadi yang tidak tergantikan. Setiap manusia adalah unik, satu-satunya, tidak pernah terulang, tidak tergantikan. Keberadaan manusia tidak pernah bisa ditukar tempat dengan orang lain. Setiap orang adalah dirinya sendiri. Ia tidak bisa diremehkan atau dianggap sepi atau angin lalu. Setiap pribadi manusia adalah luar biasa. Ia makhluk penuh misteri, memiliki kerohanian dan benih kehidupan kekal.
Relevansinya bagi keluarga ialah bahwa setiap anggota keluarga itu unik dan istimewa. Setiap anak yang lahir dalam keluarga juga unik dengan ciri khas dan bakatnya yang berbeda. Anak-anak tidak boleh dibanding-bandingkan. Isteri tidak boleh menuntut melebihi kemampuan suami, melainkan harus berterimakasih atas usaha keras yang sudah dilakukan untuk keluarga.
c. Manusia adalah pribadi yang terbuka dan terarah satu sama lain. Manusia secara hakiki adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup dan berkembang tanpa bantuan orang lain. Manusia adalah pribadi yang being with others, being by others dan being for others. Manusia selalu hidup bersama dengan orang lain, oleh orang lain dan untuk orang lain.
Relevansi bagi keluarga ialah: anak-anak hanya bisa berkembang dalam kehidupan bersama keluarganya; anak-anak bahkan lahir dari orang tuanya dan anak-anak akan menjadi besar supaya belajar hidup untuk keluarganya dan orang lain.
d. Manusia adalah makhluk yang bertubuh. Tubuh manusia adalah bagian integral dari pribadinya. If you touch the body, you touch the person. Menyentuh tubuh seseorang berarti menyentuh kepribadiannya. Manusia perlu menghormati tubuhnya dan tubuh orang lain sebagai bagian kepribadiannya.
Relevansi bagi keluarga: perlu menjaga kesehatan, makan yang baik, istirahat yang cukup, berolahraga, menghindari kebiasaan buruk seperti merokok, mabuk, narkoba. Dalam relasi pria dan wanita, aspek tubuh manusia harus diperhatikan karena bisa menyangkut kesopanan dan ekspresi seksualitas. Keluarga perlu mengusahakan kesehatan dan kebugaran tubuh dari pada anggotanya.
e. Manusia adalah pribadi yang terarah kepada Tuhan. Manusia juga merupakan makhluk rohani. Manusia mempunyai kemampuan rohani untuk beriman kepada Tuhan.
Relevansinya bagi Keluarga kristiani ialah perlu diciptakan suasana pertumbuhan rohani bagi anak-anak. Anak-anak perlu diajari berdoa, diajak pergi ke Gereja dan dipersiapkan menerima sakramen-sakamen Gereja.

3.2. Keluarga Melayani Kehidupan
Kehidupan diterima oleh manusia dari Allah. Kehidupan bukan berasal dari manusia, melainkan hanya diterima dari Sang Pemberi kehidupan itu. Maka tugas manusia ialah untuk melayani kehidupan yang diterimanya itu. Manusia harus menerima, merawat, memelihara dan mengembangkan kehidupan yang sudah dianugerahkan oleh Tuhan secara cuma-Cuma.
Adalah hal yang luar biasa dan sangat mentakjubkan bahwa kehidupan manusia diberikan melalui keluarga di mana suami dan isteri menjadi “rekan-kerja” Sang Pencipta di dalam menciptakan kehidupan manusia.
FC menyebut suami-isteri sebagai cooperators in the love of God the Creator (rekan kerja dalam kasih Tuhan Sang Pencipta). “God calls them to a special sharing in his love and in his power as Creator and Father, through their free and responsible cooperation in transmitting the gift of human life: God blessed them, and God said to them, ‘Be fruitful and multiply, and fill the earth and subdue it.” (No. 28, par.1).
Tugas utama keluarga ialah untuk melayani kehidupan, untuk mewujudkan berkat Allah itu di dalam sejarah melalui prokreasi menyalurkan gambar Allah dari pribadi ke pribadi. Kesuburan adalah buah dari cinta perkawinan, suatu saksi hidup dari pemberian diri total antara suami-isteri.

3.2.1. Tugas melahirkan Anak
FC no. 29 par. 3 mengulangi dan menegaskan kembali norma yang harus ditaati dalam hal melahirkan keturunan. “This Sacred Synod, gathered together with the Successor of Peter in the unity of faith, firmly holds what has been set forth in the Second Vatican Council (GS, 50) and Humanae Viate 11: particularly that love between husband and wife must be fully human, exclusive and open to new life.”
“Dengan mengacu pada ketaatan terhadap hukum natural seperti selalu ditafsirkan oleh ajaran yang tetap, Gereja mengajarkan bahwa: masing-masing dan setiap persetubuhan suami-isteri harus tetap terbuka kepada kelahiran anak” (ut quilibet matrimonii usus ad vitam humanam precreandam per se destinatus pemaneat (AAS 60 (1968), 488.
Di sini ditekankan aspek prokreatif dan unitif dari persetubuhan yang merupakan cara natural di mana suami-isteri menjadi “rekan-kerja” Allah di dalam menciptakan manusia baru. Gereja sangat menjunjung tinggi martabat prokeasi ini karena di dalamnya terdapat hukum kodrati di mana Allah menciptakan manusia.
Kita kutip lagi pernyatan Mgr. Mario Conti, Uskup Agung Glasgow, “To any who are confused by the debate and who look to the teaching of the Church for guidance, we say this: all sexual intercourse outside of marriage is wrong, and within marriage such intercourse must always be ordered to the procreation of new life. The act by with a man and a woman love one another is the same act in the design of the Creator by which the love of God brings to birth new human life.”

3.2.1.1. Kalau Anak Terlalu Banyak: Kelahiran perlu diatur
Anak adalah anugerah Tuhan. Buktinya biarpun suami dan isteri sudah ingin sekali mempunyai anak, namun kadang-kadang mereka belum bisa mendapatkannya. Suami-isteri menyadari bahwa manusia hanya dapat berusaha sambil berdoa, namun Tuhanlah yang memberikan seorang anak. Anak adalah juga buah cinta suami-isteri. Anak lahir dari tindakan cinta kasih, penyerahan diri untuk saling membahagiakan. Sementara suami-isteri saling mengungkapkan kasih, seolah meluaplah dari kasih itu seorang anak. Anak menjadi tanda luapan cinta yang penuh kebahagiaan. Alangkah baiknya bahwa setiap anak dikandung dan dilahirkan atas cara ini: luapan kasih orang tuanya satu terhadap yang lain.
Namun kemudian dirasakan sebagai kesulitan apabila anak terlalu banyak. “Semboyan banyak anak, banyak rezeki” atau “ setiap anak membawa rezekinya sendiri” hanya berlaku pada masyarakat masa lampau di mana penduduk masih sedikit dan anak menjadi tenaga kerja dalam masyarakat agraris. Pada zaman kita ini di mana penduduk Indonesia sudah mencapai 220 juta jiwa dan kemampuan keluarga untuk membiayai anaknya maksimal dua orang saja, maka kelahiran anak harus dibatasi.
Ada persoalan antara ajaran Gereja (Humanae Viatae no. 11 dan FC no. 29 ) bahwa setiap persetubuhan suami-isteri harus terarah atau terbuka bagi kehidupan baru dan masalah keharusan membatasi kelahiran karena keterbatasan ekonomi keluarga. Kalau kelahiran dibatasi, maka akan bertentangandengan ajaran Gereja. Kalau kelahiran tidak dibatasi, maka akan kesulitan ekonomi.
Jalan keluar yang masuk akal rupanya ialah kelahiran harus dibatasi. Caranya bagaimana?
Pertama: Supaya sesuai dengan ajaran Gereja, maka suami-isteri tidak bersetubuh lagi. Sebab kalau bersetubuh, maka suami-isteri harus siap menerima kelahiran anak. Tapi apakah hal itu mungkin? Jalan keluar semacam itu adalah tidak manusiawi, tidak memahami kebutuhan biologis suami-isteri, bahkan bertentangan dengan ajaran tentang kewajiban suami-isteri untuk selalu “memberikan kepuasan batin”.
Kedua: Supaya sesuai dengan ajaran Gereja, maka harus pantang berkala. Suami-isteri hanya bersetubuh pada hari-hari di mana isteri sedang tidak subur. Karena dalam siklus haid 28 hari ada masa menstruasi 1 minggu, masa subur 1 minggu dan masa tidak subur 2 minggu. Hukum natural sudah mengatur bahwa selama 2 minggu tidak subur itu suami-isteri boleh bersetubuh.
Ketiga: Memakai alat-alat kontrasepsi dengan alasan: lebih aman dan pasti; kalau suami kerja di luar kota dan pulang justeru pada saat isteri subur, faktor pendidikan yang tidak bisa mengetahui metode kalender.
FC no. 35 dan HV no. 10 berbicara tentang cara pengaturan kelahiran yang bertanggungjawab.
FC no. 35: Mengenai pengaturan kelahiran yang benar, Gereja perlu memberikan peneguhan dan bantuan bagi suami-isteri yang ingin menghayati kebapa-ibuan mereka secara bertanggungjawab. Dalam hal ini, sementara Gereja memperhatikan dengan merasa puas hasil yang dicapai untuk menentukan dengan tepat masa-masa subur bagi wanita, dan sementara itu didukung pula penelitian yang lebih luas, Gereja perlu mengingatkan tanggungjawab para dokter, para ahli, penasehat perkawinan, para guru dan pasangan suami-isteri, yang dapat membantu pasangan untuk mewujudkan cinta mereka dengan tetap menghormati hakekat dan tujuan persetubuhan yang mengungkapkan cinta itu (married people to live their love with respect for structure and finalities of the conjugal act which expresses that love)
HV 10: Dalam hal melanjutkan keturunan, suami-isteri tidak boleh mengikuti kehendaknya sendiri saja, seolah-olah mereka dapat menentukan sendiri cara mana akan ditempuh; melainkan mereka harus menyesuaikan tindakan mereka dengan kehendak Tuhan dalam menciptakan manusia seperti dinyatakan dalam perkawinan dan persetubuhan suami-isteri, dan hal itu juga selalu ditegaskan dalam ajaran Gereja.
Beberapa pedoman yang perlu diperhatikan untuk memilih metode Keluarga Bertanggungjawab:
a). Tidak merendahkan martabat suami-isteri.
Manusia adalah pribadi yang memiliki hati nurani, kehendak dan kebebasan. Martabatnya direndahkan apabila orang merasa terpaksa untuk mengikuti suatu cara KB tertentu. Cara KB apapun yang dipilih perlu membuat suami-isteri lebih bahagia dalam hidup perkawinannya.
b). Tidak melawan hidup manusia
Metode KB tidak boleh bersifat abortif. Cara pengaturan kelahiran tidak boleh bertentangan dengan hidup manusia. Abortus tidak boleh dijadikan metode KB. GS no. 51 menyatakan, “Ada orang yang mengusulkan pemecahan masalah pengaturan kelahiran dengan cara-cara yang tidak jujur, bahkan tidak menutup kemungkinan membunuh kehidupan baru. Maka dengan ini Gereja mengingatkan bahwa pasti tidak terdapat pertentangan antara hukum ilahi dalam prokreasi dengan kewajiban suami-isteri untuk melaksanakan intimitas perkawinan.”
c). Dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
Dimensi tubuh manusia mewajibkannya untuk menjaga kesehatan dan menghindari hal-hal yang membahayakan kesehatannya. Alat kontrasepsi dapat beresiko bagi kesehatan isteri. Oleh sebab itu memilih metode KB juga harus memperhatikan faktor resiko bagi kesehatan. Harus dipastikan bahwa metode KB itu tidak mengganggu kesehatan.
d). Atas persetujuan suami-isteri.
Unsur ini untuk menghindari pemaksaan dari pihak pemerintah yang sering tanpa sepengetahuan suami-isteri memasangkan alat KB pada semua wanita usia subur. Hal itu dilakukan karena faktor kebodohan dari pihak masyarakat kecil dan demi suksesnya program pemerintah. Pemerinth tidak boleh memaksakan programnya tanpa persetujuan suami-isteri.
Metode yang paling memenuhi semua syarat di atas ialah KB alamiah. Pemerintah RI juga sudah mengakui KB alamiah sebagai salah satu metode yang bisa dipilih. UU no. 10 tahun 1992 pasal 10 berbunyi: “ Setiap pasangan suami-isteri dapat menentukan pilihannya dalam merencanakan dan mengatur jumlah anak dan jarak antara kelahiran anak berdasarkan pada kesadaran dan rasa tanggungjawab terhadap generasi sekarang maupun yang akan datang.”

3.2.1.2. Kalau tidak mempunyai anak: Adopsi
Ada pula pasangan yang tidak dikaruniai anak. Perkawinan katolik tidak boleh diceraikan dengan alasan tidak mempunyai anak. Tujuan perkawinan yang pertama ialah untuk kebaikan suami-isteri itu sendiri. Kalau mereka tidak punya anak, maka mereka bisa mengadopsi anak. Dekrit Kerasulan Awam (AA) no.11 menyatakan,”Di antara pelbagai karya kerasulan keluarga baiklah disebut yang berikut ini: memungut anak-anak terlantar menjadi anaknya (adopsi).”
Syarat-syarat adopsi:
1. Siapa yang bisa dijadikan anak adopsi:
Anak umur 0-18 tahun yang diterlantarkan oleh orang
tuanya/walinya tanpa bantuan moril dan materiil.
2. Siapa yan dapat melakukan adopsi:
Hanya pasangan yang dalam pernikahan sah, sekurang-
kurangnya sudah menikah 3 tahun, dan memiliki rumah tangga
yang rukun, dengan atau tanpa anak.
3. Batas umur pasangan yang bisa mengadopsi:
Pasangan yang akan melakukan adopsi harus berusia di atas 18
tahun dan kurang dari 40 tahun.
4. Kepada siapa orang bisa mengajukan permohonan adopsi?
Kepada pengadilan anak-anak dan permohonan itu jatuh setelah
dua tahun dan bisa diperbaharui lagi.
5. Bagaimana cara memberikan jaminan kepada anak-anak bahwa
keluarga yang akan mengadopsi bisa dipercaya.
a. Lembaga peradilan anak membuat seleksi dari para pemohon dan menentukan yang pantas untuk dapat mengadopsi.
b. Penyelidikan itu meliputi: kemampuan pasangan untuk mendidik anak; situasi personal, keadaan ekonomi, kesehatan, lingkungan keluarga, motivasi yang mendorong untuk melakukan adopsi.
6. Akibat hukum dari adopsi: Anak yang diadopsi mendapatkan status sebagai anak sah dari keluarga yang mengadopsi. Anak itu berhak menggunakan nama famili (fam) dan mendapatkan hak ahli waris. Hubungan anak itu dengan orangtua kandung terputus secara hukum.

3.2.1.3. Bayi Tabung
Pasangan mandul lebih senang tentu kalau bisa punya anak sendiri. Para ahli berusaha untuk menolong mereka. Ahli kandungan, ahli genetik (genekolog) dan ahli embrio (embriolog) yang mendalami masalah terjadinya janin akhirnya mampu mempelajari bagaimana proses “terjadinya” bakal anak. Mereka berusaha untuk membantu pasangan mandul untuk dapat melahirkan anak mereka sendiri.
Bayi tabung pertama yang lahir di dunia ialah Louis Brown. Ia lahir di Manchester, Inggris, 25 Juli 1978 atas pertolongan dr. Robert G. Edwards dan dr. Patrick C. Steptoe. Menurut dr. Edwards, sejak saat itu klinik bayi tabung berkembang pesat. Tahun 1990 di Perancis saja ada 140 klinik. Di Bourn Hall, tempat dr. Edwards praktek ada 1000 bayi tabung sedang menanti saat dilahirkan.
Di sini tidak akan diterangkan bagaimana secara teknis metode bayi tabung itu dilakukan. Yang akan diterangkan ialah konsekuensi moral dari teknik ini. Tujuan para ahli membuat tehnik bayi tabung ialah untuk membantu pasangan mandul memiliki anak dari darah-dagingnya sendiri. Sarana yang dipakai ialah pembuahan bukan alamiah karena melibatkan campur tangan dokter. Beberapa efek samping yang ditimbulkannya ialah:
1). Persetubuhan dipisahkan dari pembuahan. Secara alamiah pembuahan adalah hasil dari persetubuhan suami-isteri. Dalam tehnik bayi tabung, tanpa persetubuhanpun dapat dibuat pembuahan (konsepsi).
2). Pembuahan buatan dengan sperma dari suami (homologous insemination). Sperma diambil dari suami dengan jalan masturbasi (yang secara intrinsik juga jahat, karena melawan tujuan seksualitas) kemudian dipertemukan dengn sel telur dari isteri. Setelah menjadi embrio ditanam dalam rahim isteri dan proses kehamilan dan kelahiran seperti biasa.
3). Pembuahan buatan dengan sperma dari bukan suaminya atu donor (heterologous inseminarion). Karena sperma suami tidak sehat, cacat atau mengangung penyakit, maka suami-isteri bisa mencari sperma dari seorang donor. Donor itu dirahasiakan orangnya. Tapi tentu dengan syarat-syarat spermanya sehat, kebangsaan sama dengan yang meminta supaya anak tidak terlalu beda dengan orang tua, seorang yang pandai, terkenal, pemenang noble, pemenang oscar atau dari ras lain supaya memperbaiki keturunan dan segala macam motivasi yang bisa diberikan. Hasil pembuahan itu kemudian ditanam pada rahim isteri dan proses kehamilan dan kelahiran seperti biasa.
4). Homologous insemanation dengan meminjam rahim wanita lain untuk mengandungkannya (surrogate mother).
5). Heterologus insemanation dengan meminjam rahim wanita lain untuk mengandungkannya (surrogate mother).
6). Sel telur donor dan sperma dari suami, dan kandung sendiri oleh isteri.
7). Sel telur donor dan sperma donor, tapi dikandung sendiri oleh isteri.
8). Sel telur donor dan sperma dari suami, tapi dikandung oleh wanita sewaan.
9). Sel telur donor dan sperma donor, tambah lagi dikandung oleh wanita sewaan. Dalam kasus ini suami-isteri mandul itu sama sekali tidak mewarisken benih keturunannya dan jug tidak mengandungnya. Kasus no. 9 ini sama dengan membuat adopsi dalam level embrio. Orang dapat melakukan adopsi pada waktu bayi umur satu hari, namun ini justeru pada saat masih dalam bentuk janin.
10. Munculnya bank sperma dan sel telur di mana disimpan sperma dan sel telur dari orang-orang terkenal yang benihnya bisa dipesan oleh pasangan mandul. Atau suami-isteri sengaja menyimpan benihnya di bank tersebut supaya kalau salah satu meninggal, benihnya bisa untuk pembuahan sehingga orang yang sudah meninggalpun masih bisa punya anak. Itulah akibat atau efek samping yang ditimbulkan oleh metode bayi tabung.
11. Metode bayi tabung juga menimbulkan masalah kebapa-ibuan biologis dan legal. Yang normal bapa-ibu biologis adalah bapa-ibu legal juga. Namun dengan metode itu bapak-ibu biologis belum tentu bapak-ibu legalnya.

3.2.1.4. Instruksi DONUM VIATE
Donum Vitae adalah Instruksi dari Propaganda Fide tentang hormat pada hidup manusia sejak saat pertama pembuahan dan hormat pada martabat prokreasi alamiah. Instruksi ini ditandatangani oleh Joseph Cardinal Ratzinger tgl. 22 Februari 1987. Instruksi ini disebutkan juga sebagai: jawaban atas beberapa pertanyaan yang aktual dewasa ini. Di antara masalah-masalah yang dibahas dan disikapi oleh Gereja ialah:
1. Semua jenis pembuahan artiisial di atas ditolak dengan alasan:
a): Anak punya hak untuk dikandung, dilahirkan dan dibesarkan di dalam sebuah keluarga. Hanya melalui hubungan yang kokoh dan sehat dengan orangtua anak-anak dapat menemukan identitasnya dan mencapai perkembangan dirinya.
b): Orang tua melihat di dalam diri anaknya suatu kepenuhan dari cinta pemberian diri timbal balik suami-isteri.
c): Kebaikan anak-anak dan kebaikan orangtua adalah sumbangan bagi kebaikan masyarakat.Kestabilan masyarakat menghendaki bahwa setiap anak muncul dari keluarga atas dasar pernikahan yang kokoh.
2. Ibu Sewaan juga harus ditolak: alasannya: Surrogate motherhood represents an objective failure to meet the obligations of maternal love, of conjugal fidelity and of responsible motherhood; it offends the dignity and the right of the child to be conceived, carried in the womb, brought into the world and brought up by his own parents; Ibu sewaan melecehkan unsur-unsur dasar pembentukan keluarga.

3.2.2. Tugas mendidik anak-anak
FC 36 mengutip dokumen Vatikan II GE, no.3 yang mengatakn, “Karena orangtua telah melahirkan anak-anak, maka mereka memiliki kewajiban mulia untuk mendidik mereka. Oleh karena itu orangtua harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka. Peranan mereka untuk mendidik anak-anak begitu menentukan sehingga hampir tidak ada alasan apapun yang bisa dibenarkan bagi kegagalan tugas itu. Keluarga adalah sekulah pertama dari keutamaan-keutamaan hidup yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat.”
Hak dan kewajiban orangtua untuk mendidik anak adalah esensial, karena berkaitan dengan melanjurkan kehidupan; original dan pertama bila dibandingkan dengan lembaga lain dan dilihat dari keunikan hubungan orangtua dan anak, tak tergantikan dan tak tersangkalkan sehingga tidak bisa sepenuhnya didelegasikan atau ditolak oleh orang lain.
Ciri khas pendidikan oleh orangtua ialah parental love, kasih-sayang orang tua kepada anak-anak yang menjadi motivasi dasar. Guru atu siapapun tidak bisa menggantikan kasih-sayang orangtua terhadap darah dagingnya sendiri. Orangtua juga menjadi sumber source of animating and guiding prinsiple (prinsip, pegangan yang mengarahkan dan menghidupkan) dalam bentuk nilai-nilai: kindness, constancy, goodness, service, disinterestedness and self-sacrifice. Nilai-nilai itu hanya bisa diinternalisasikan lewat pendidikan di dalam keluarga.

FC no. 37 menyebutkan 3 nilai manusiawi yang essensial.
1). Sikap yang benar terhadap harta duniawi
“Children must grow up with a correct attitute of freedom with regard to material goods, by adopting a simple and austere life style and being fully convinced that “man is more preciouse for what he is than what he has.” Nilai yang mau ditekankan di sini adalah sikap lepas-bebas terhadap harta duniawi. Manusia lebih bernilai daripada harta. Manusia harus dihormati sebagai manusia, bukan karena hartanya atau kedudukan sosialnya. Nilai ini sangat penting untuk melawan konsumerisme dan pengurasan sumber alam yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.

2). Pendidikan keadilan dan solidaritas
“ In a society shaken and split by tensions and conflicts caused by various kinds of individualism and selfishness, children mus be enriched not only with a sense of true justice, but also a sense of true love as a disinterested service with regard to others, especially the poorest and those in most need.” Nilai yang mau ditekankan ialah perasaan simpati dan empati dengan sesama manusia yang menderita dan membutuhkan pertolongan. Dalam hidup bermasyarakat yang baik, maka nilai tolong-menolong semacam itu sangatlah penting.

3). Sikap yang benar terhadap seksualitas.
“Education for chastity is absolutely essensial, for it is a virtue that develops a person’s authentic maturity and makes him or her capable of respecting and fostering the “nuptial meaning” of the body. Indeed Christian parents, discerning the sign of God’s call, will devote special attention and care to education in virginity as the supreme form of that self-giving that constitutes the very meaning of human sexuality.” Nilai yang dtekankan di sini ialah panggilan cinta kasih Tuhan melalui seksualitas itu bertujuan untuk kebahagiaan manusia sendiri. Kenyataanya seksualitas akan membawa kebahagiaan apabila anak-anak dibantu untuk bertumbuh dan berkembang dalam seksualitas yang sehat, menjaga kemurnian sampai saat pernikahan atau hidup selibat demi Kerajaan Allah. FC melanjutkan: “Education must bring the children to aknowledge of and respect for the moral norms as the necessary and highly guarantee for responsible personal growrth in human sexuality.” Hanya dengan mentaati nilai moral, maka kehidupan seksual bisa membawa kebaikan dan kebahagiaan.

3.2.3. Pentingnya Sekolah Katolik
Sama seperti sekolah pada umumnya, sekolah katolikpun mempunyai tujuan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan pendidikan manusiawi kepada kaum muda. Sekolah katolik menyelenggarakan kurikulum pendidikan sama seperti sekolah lain. Yang menjadi ciri khas sekolah katolik ialah, “menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah, yang dijiwai oleh semangat Injil, membantu kaum muda untuk berkembang sebagai ciptaan baru di dalam Kristus, karena menerima baptis.”
Sekolah katolik dimaksudkan pula untuk mengarahkan kebudayaan manusia kepada pewartaan keselamatan, sehingga pengetahuan yang tahap demi tahap diperoleh oleh siswa tentng dunia, kehidupan dan manusia disinari oleh terang iman.
Sama dengan sekolah pada umumnya sekolah katolik juga membantu orangtua dalam mendidikan anak-anak. Orangtua berhak dan bebas untuk memilik sekolah bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan agamanya.
Sekolah katolik sangat penting bagi Gereja-gereja muda di daerah misi untuk mendidik anak-anak katolik dan non-katolik. Kehadiran sekolah katolik merupakan sumbangan yang berharga bagi masyarakat luas untuk mencerdaskan kehidupan generasi muda. Tentu saja Gereja tidak boleh memaksa para siswa bukan katolik untuk menjadi katolik, karena hal itu bertentangan dengan ajaran Gereja sendiri tentang kebebasan beragama.
Tetapi Gereja berhak untuk mewartakan Yesus Kristus melalui sekolah-sekolah katolik pula. Hal itu diwujudkan dengan adanya pelajaran agama katolik sebagai ciri khas lembaga pendidikan katolik. Orangtua yang mengirimkan anaknya ke sekolah katolik sudah tahu bahwa mereka akan mendapatkan pelajaran agama katolik.
Tujuan pengajaran agama katolik di sekolah katolik ialah: pertama, bagi anak-anak katolik sebagai pendalaman iman, sedangkan bagi anak-anak non-katolik sebagai pewartaan. Namun pada akhirnya terserah kebebasan anak-anak non-katolik itu untuk mempertimbangkannya sendiri.

3.3. Ambil bagian Membangun Masyarakat
FC No 44 par.3 menyatakan, “The social contribution of the family has an original character of its own, one that should be given greater recognition and more decisive encouragement, especially as the children gwow up, and actually involving all its members as much as posible.”
Peran sosial keluarga nampak dalam menyiapkan anggota masyarakat yang handal dan berkwalitas melalui pendidikan di dalam keluarganya. Anak-anak dididik dan dibina untuk tumbuh menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Keluarga adalah juga bagian dari masyarakat. Keluarga kristiani serentak adalah unsur terkecil dari Gereja dan sel terkecil dari masyarakat. Sebagai anggota masyarakat keluarga kristiani merupakan bagian esensial dan pilar-pilar masyarakat bersama dengan semua keluarga lainnya. Keluarga ikut ambil bagian membangun masyarakat dengan cara menyediakan anggota keluarganya bekerja dan melayani kebutuhan masyarakat sesuai dengan keahliannya.
Hubungan antara kehidupan keluarga dan kondisi masyarakat sangatlah erat. Setiap orang yang bekerja untuk masyarakat berangkat dari rumah dan kembali ke rumah. Suasana di dalam rumah bisa sangat mempengaruhi kwalitas pelayanan di dalam masyarakat. Kita ambil beberapa contoh:
a). Keluarga yang harmonis, setia dalam perkawinan, mendidik anak dengan baik, rajin bekerja, disiplin, akan menyumbangkan di dalam masyarakatnya hal-hal positif dan sangat bermanfaat.
b). Keluarga yang broken home, anak-anak terbiar-liar, gaya hidup tidak disiplin akan mempengaruhi masyarakat dengan hal-hal negatif dan merusak.
c). Isteri yang mempunyai sifat boros, meterialistis dan begaya hidup mewah dapat mendorong suami untuk korupsi di tempat kerjanya.
d). Isteri yang sederhana, hemat dan tahu menghargai harta, hidup penuh syukur, saleh, akan menghindarkan suami dari keharusan korupsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
e). Ada keluarga-keluarga dengan tradisi profesi tertentu: Keluarga tentara, keluarga polisi, keluarga dokter, keluarga guru, keluarga arsitek, keluarga apoteker dll cenderung menurunkan anak-anak dengan minat seperti tradisi keluarga itu, sehingga profesi itu juga sangat membantu masyarakat.
f). Sebaliknya pula ada keluarga yang kurang beruntung dengan segala keadaan yang malang: pendidikan rendah, pekerjaan tidak tetap, anak-anak hidup di jalan menjadi sumber tindak kejahatan.

Hubungan sangat erat antara keluarga dan masyarakat bisa diungkapkan dengan semboyan: “Keluarga retak, masyarakat rusak.” Keluarga kokoh, masyarakat kuat.” Oleh karena itu hendaknya setiap keluarga baru yang akan dibentuk hendaknya mempunyai persiapan yang matang supaya bukan hanya berguna untuk diri sendiri, melainkan untuk masyarakat juga.
FC 43 par.4 menegaskan, “The family is thus the place of origin and the most effective means for humanizing and personalizing society: it makes an original contribution in depth to building up the world, by making a life that is properly speaking human.” (Keluarga adalah asal-usul dan sarana paling efektif untuk membuat masyarakat lebih manusiawi dan lebih bermartabat. Keluarga memberikan sumbangan yang asli untuk membangun dunia yang sungguh-sungguh manusiawi).
FC 44 bicara tentang peran politik keluarga sbb: “Fungsi sosial keluarga diharapkan untuk menampilkan diri dalam bentuk intervensi politik: keluarga harus menjadi pengambil langkah pertama untuk melihat apakah undang-undang atau peraturan pemerintah itu bukan hanya tidak bertentangan, melainkan apakah mendukung hak-hak dan kewajiban keluarga. Keluaraga perlu menumbuhkan kesadaran sebagai pemeran utama (protagonis: baroll) yang bertanggungjawab untuk membangun masyarakat. Kalau peran itu tidak disadari maka keluarga-keluarga akan menjadi korban pertama pelbagai pengaruh buruk masyarakat dan kebijaksanaan publik yang menyangkut orang banyak.

3.4. Ambil Bagian Melaksanakan Misi Gereja
Peran keluarga dalam ambil bagian misi Gereja dijelaskan dalam FC no. 50-64. Ada 14 nomor yang dipakai untuk menjelaskan pokok ini sehingga nampaklah pentingnya tema ini.
“Keluarga kristiani dipanggil untuk ambil bagian secara aktif dan bertanggungjawab dalam misi Gereja dengan cara yang asli dan khas dengan menjadi intimate community of of life and love (komunitas intim: hidup dan cinta) demi pelayanan Gereja dan masyarakat.
Keluarga kristiani berperan dalam misi Gereja dengan cara menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidup setiap hari sesuai dengan status hidup mereka. “It is thus in the love between husband and wife and between the members of the family that the Christian family participates in the mission of Christ and his Church.
Atas dasar partisipasi keluarga kristiani dalam misi Gereja kini diberikan tiga bentuk keterlibatan mereka ke dalam perutusan Gereja: (a. A believing and evangelizing community; b. A community in dialogue with God; c. A community at the service of man.
1. Keluarga kristiani menjadi komunitas yang percaya dan mewartakan. Keluarga menjalankan misi Gereja dengan cara sendiri menjadi keluarga yang beriman dan mewartakan iman. Misi ini dilakukan terlebih dengan cara menghidupi nilai-nilai perkawinan kristiani. Dengan menjadi keluarga kristiani yang setia kepada janji perkawinan dan menghayati sakramen nikah, maka keluarga kristiani ambil bagian dalam misi Gereja yang memberi kesaksian iman.
2. Keluarga kristiani menjadi komunitas yang berdialog dengan Tuhan. Dialog itu berarti mendengarkan Firman Tuhan dan Berdoa kepada Tuhan. Keluarga menjadi tempat di mana orangtua dan anak-anak menghayati iman. Beberapa tema yang disebut oleh FC tentang keluarga ialah: Keluarga menjadi tempat kudus (Sanctuary) Gereja di dalam rumah. Keluarga menjadi sekolah doa yang mengajari anggotanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Doa yang dibangun di dalam rumah tangga menjadi dasar yang kuat untuk menjalankan tugas setiap hari.
3. Keluarga kristiani menjadi komunitas yang melayani sesama. Ujung dari kepercayaan dan praktek doa adalah pelayanan. Setelah keluarga dibangun atas dasar iman dan dialog dengan Tuhan, maka buahny adalah pelayanan kepada sesama. Dengan itu dimaksudkan hendaknya keluarga kristiani berguna untuk masyarakat sekitarnya. Keluarga kristiani perlu menampakkan solidaritas dan kesediaan membantu sesamanya yang membutuhkan. Melalui kesediaan melayani sesama, Gereja juga diuntungkan di dalam karya kerasulannya. Keluarga kristiani menampakkan wajah Gereja di tengah kehidupan masyarakat.

Rabu, 06 Juli 2011

Perkawinan Katolik dan Problematikanya, dari sudut pandang awam dan klerus


PERKAWINAN KATOLIK DAN PROBLEMATIKANYA
Pertanyaan/awal topic diskusi;
“Aku mengenal keluarga, yang telah menikah selama beberapa tahun namun tdk di karunia anak. Tapi ketika suaminya brselingkuh dengan orang lain, menghasilkan sorg bayi.
Nah, untuk masalah ini siapakah yg bersalah?
Dan apakah tanggapan kita sbg org muda katolik jika menemukn hal se...mcam ini?
Lalau apa tanggapan gereja terhadap kejadian ini?
Apakah dengan kejadian itu mereka bisa cerai dan si pria mempeertanggungjawabkan perbuatannya?

Berdasar pertanyaan ini, diuraikan beberapa diskusi atau bahasan terkait:

>. Terdapat Tanggapan Pribadi maupun landasan Biblis dan Hukum Gereja.

 Tanggapan pribadi

Sebagai orang yang menghayati luhurnya martabat perkawinan, saya sangat tidak menyetujui bentuk atau cara hidup apapun yang mereduksi nilai perkawinan itu sendiri. Perselingkuhan atau apapun namanya adalah cara hidup yang tidak bekersesuaian dengan hakekat sebuah perkawinan.
Secara kasar dalam menanggapi cara hidup seperti itu, bisa disebut orang seperti itu menghidupi yang namanya “SPIRITUALITAS ANJING”. Suka merasakan yang ini...yang itu...dst. Tak puas hanya dengan satu pasangan.
Mendapatkan anak bukan satu-satunya tujuan perkawinan. Jangan sampai alasan “demi mendapatkan anak” digunakan untuk melegitimasi kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam diri. PERNIKAHAN BUKANLAH PETERNAKAN.
Tujuan Perkawinan.
Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Wajar jika kita berharap akan lahirnya anak-anak dari pernikahan kita. Namun yang ingin disampaikan adalah, tujuan utama sebuah pernikahan bukanlah untuk mempunyai anak. Banyak kasus lain mengenai kegagalan rumah tangga akibat tidak mendapat keturunan, terlihat adanya salah kaprah mengenai tujuan utama mendirikan lembaga pernikahan. Mereka memandang pernikahan layaknya sebuah peternakan, dimana kita bisa mengembangbiakkan keturunan kita. Sekali lagi, pernikahan bukanlah peternakan. Sebuah pernikahan, dimana Tuhan sendiri yang memateraikan pembentukannya, punya tujuan yang jauh lebih penting daripada sekedar memiliki keturunan. Bukan sekedar pernikahan karena "kejar tayang" atau takut disebut "bujang lapuk/perawan tua", akibat nafsu, gengsi, desakan orang tua dan lain-lain.

Landasan Budaya/Suku.
  1. Coba kita lihat secara jernih dari segi antropologi budaya bahwa sistem dan budaya patrilinial atau patriarki masih cukup kuat di suku-suku Flores, Batak, mungkin Maluku, Irian, atau juga di Manado Sulawesi Utara ? Ada kegelisahan tersendiri bagi umat Katolik dari suku-suku tersebut kalau tidak mempunyai keturunan sebagai penerus marga atau suku. Kadangkala jalan pintas yang ditempuh adalah nikah istri kedua secara adat saja (nikah siri), karena nikah kanonik atau nikah gereja lagi tidak mungkin. Hal ini yang menjadi masalah secara teologis dan ajaran Gereja Katolik, tetapi umat-umat suku tersebut tidak melihatnya sebagai sebuah penyimpangan dari segi adat budaya. Dalam hal ini, jauh dari kesan adanya penyakit sosial free sex atau hyper sex naluri hewaniah semata seperti terkesan dalam tanggapan pribadi.

  1. Dalam pengamatan selama di Flores (contohnya), justru ada anak-anak yang lahir dari perkawinan adat seperti di atas, yang berkarya menjadi Biarawan-Biarawati atau Pastor yang bekerja di dalam negeri atau di luar negeri, terutama dari Ordo SVD. Rupanya rancangan Allah Bapa luar biasa melampaui segala macam kelemahan manusiawi, bahkan melampaui seluruh konsep teologi dan ajaran Gereja Katolik yang kita pedomani selama ini. Itulah pekerjaan Tuhan yang bisa mengambil mutiara cemerlang dari sebuah tempat "yang di mata manusia" adalah sampah masyarakat.



Kontra Diskusi.

“Apakah anak adalah tujuan utama pernikahan Katolik?”
Pasti kita ingin menjawab TIDAK!!!.
Karena itu bukan merupakan tujuan utama dari Perkawinan Katolik. Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa dlm beberapa suku di indonesia masih mempraktekan seperti yang diutarakan pada landasan budaya di atas. Berhadapan dengan kenyataan seperti itu, bagaimana sikap Gereja Katolik terhadap Budaya Kesukuan tersebut?
Lalu bagaimana kebijakan pastoral dari Pastor Paroki setempat?

Landasan Biblis dengan tinjauan tradisi kedaerahan;
Saudara sekalian, secara Alkitabiah, memang ada ayat Kitab Kejadian yg memerintahkan : agar kita beranakcucu-berkembang biak-memenuhi muka Bumi ini,dst.
Tetapi substansi terkait Sakramen Pernikahan adalah sesuai Kitab Kejadian: Dua menjadi satu ( menjadi satu daging) meskipun ada ayat Injil yg membolehkan bercerai karena perzinahan (dianut Protestan) tetapi hukum Kanonik gereja Katolik memilih " dua menjadi satu " sebagai landasan utama sehingga lahir prinsip monogam dan tidak terceraikan kecuali oleh kematian. merujuk pada ayat Injil : apa yg disatukan Tuhan tidak boleh diceraikan manusia.
Karena itu menghadapi kasus seperti di Flores, memakai pendekatan hukum Kanonik saja, tidak akan menyelesaikan persoalan atau mendatangkan ketentraman ditengah umat secara komunitas. Oleh karena itu, pastor di Flores menekankan pendekatan pastoral untuk menghadapai masalah tersebiut antara lain misalnya: pernikahan adat meningkat jadi sakramen setelah isteri pertama meninggal. sebelum nikah kanonik suami isteri nikah adat "dihukum" tidak boleh komuni, tetapi anak2 lahir dari nikah adat tetap berhak menerima sakramen baptis dan sakramen lainnya, bahkan kalau anaknya masuk seminari , tetap ditabhiskan menjadi imam, meskipun ayah ibunya "masih terhukum" karena masih nikah adat. pada saat suami isteri nikah adat sekarat, tetap menerima minyak suci (tanpa komuni???) dan saat meninggal tetap misa reqiuem.
People says:
Dalam kasus yang diposting jelas bahwa pasangan itu, tidak memiliki anak, sehingga ketika sang suami berselingkuh dan mendapatkan anak, alangkah baiknya Gereja membiarkan sang suami kawin dengan ibunya anak itu karena masalahnya nanti siapakah yang memelihara anak itu?
Kontra Diskusi.
Dear romo dan saudaraku, mohon maaf saya tidak setuju dengan pendapat kalian, apalagi gereja diminta melegalisir pernikahan suami dengan ibu dari anak yg lahir diluar pernikahan sah atau dengan bahasa awam lahir dari "perselingkuhan" sang saumi dengan perempuan lain, ibu, anak "haram " tersebut ( meminjam istillah Islam). menurut hukum sipil ( UU Perkawinan RI) anak tersebut otomatis menjadi anak ibunya, tetapi tidak punya ayah secara yuridis. hanya ayah biologis. Bisa saja secara pastoral, gereja sebagai ibunya umat Katolik Roma, demi cinta kasih dan tanggungjawab moral, meminta kepada isteri yg sah dan suaminya untuk mengadopisi secara yuridis (melalui pengadilan) menjadi anak sah mereka, asal dengan persetujuan ibu kandungnya. Bilamana ibu kandung tidak setuju, gereja (dalam hal ini pastor paroki) meminta sang suami atau ayah biologis anak tersebut untuk memenuhi kebutuhan biaya hidup anak tersebut untuk sandang, pangan, papan, dan sekolahnya sampai usia dewasa. hal ini memerlukan bimbingan khusus pastoral, sambil kepada sang suami "selingkuh" dan ibu kandung anak tersebut tetap menjalani "hukuman" tidak boleh komuni sampai tibah waktunya pernikahan kanonik/sakramen pernikahan setelah isteri yg sah meninggal. Metode anulasi dan atau pembatalan pernikahan Katolik dalam kasus ini terus terang saya tidak setuju karena bila sering dilakukan apa bedanya dengan "cerai " dan "talak" yg bisa berkali-kali dilakukan menurut ajaran Nabi Muhammad (Islam)??? kita adalah pengikut Yesus Kristus dimana semua ajaranNya dan contoh perbuatanNya diwariskan dan diteruskan oleh St. Petrus dkk, (12 rasul pertama) berikut paus dan para uskup sebagai pengganti sesuai ajaran gereja Katolik Roma ( dogma primat).
Lebih hangat lagi jika tiap orang mau memberikan pendapat sehingga akan tiba saatnya Anda pun mengerti inti ajarannya dan mewartakan kepada yang lain. Kasihan juga anak itu jika mendapat penolakan hanya karena status ayahnya yang tidak jelas. Ia mungkin menangis memanggil ayahnya kelak tapi apa jawaban ibunya? Sekali lagi sangat disayangkan bahwa "tidak ada celah" dalam hukum untuk memberikan kelonggaran dalam perkawinan katolik dengan mempertimbangkan nasib anak kecil mungil itu. Gereja mencintai anak itu tapi ketika tidak memberi tempat bagi si anak untuk mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya, maka apakah cinta seperti itu musti dirumuskan kembali?
Bisa juga, persoalan sesungguhnya bukan terletak pada anak dari hubungan”tak wajar” itu. Adalah tanggung jawab pelaku (pria dan wanita yang berselingkuh itu) untuk mengupayakan yang terbaik bagi anak tersebut. Dari sisi Gereja, tindakan belaskasih akan ditunjukkan oleh Ibu kita, yaitu Gereja sendiri kepada anak yang bersangkutan (dalam kebijakan-kebijakan pastoralnya). Kita percaya bahwa Gereja, ibu kita itu, akan memberikan tindakan ”consolatio” bagi anak itu.

Menurut hemat, persoalan sesungguhnya justru terletak pada TINDAKAN yang menyebabkan anak itu ”ada”. Adanya si anak adalah konsekuensi dari tindakan/perbuatan yang dilakukan. Tindakan yang saya maksudkan adalah tindakan PERSELINGKUHAN. Pria yang berselingkuh itu masih hidup dalam pernikahan yang sah. Demi alasan memperoleh keturunan, ia berselingkuh dengan perempuan lain. Apakah demi memperoleh keturunan lalu kita menghalalkan / melegitimasi tindakan perselingkuhan itu? Anda dan saya tentu akan menjawab tidak! (kecuali bagi mereka yang memiliki kecenderungan dasar seperti itu). Ditinjau dari perspektif manapun, tindakan itu tidak dibenarkan!


Menjadi sebuah kebanggaan bahwa kaum muda dalam Group ini telah menghangatkan wall diskusi ini dengan beragam pendapat, baik yang kontra, yang melihat unsur belas kasihan harus ditonjolkan, walaupun resikonya bertentangan dengan hukum gereja sendiri, namun di lain pihak, kelompok yang pro tetap mengemukakan ide-ide brilliant tentang perkawinan katolik yang tak boleh diceraikan, apa pun resiko yang dihadapi, dan secara khusus dalam kasus ini adalah resiko tidak mendapatkan anak.

Beberapa rekan telah memberikan kita masukan dengan berbagai pendasaranbaik biblis, teologis, exegetis, maupun dari sisi hukum sipil dan gereja untuk meneropongi kasus ini sehingga ada kesimpulan akhirnya. Di celah-celah diskusi Romo masuk dengan ide-ide kontra yang mencoba mengalihkan perhatianmu pada nasib si anak daripada inti masalahnya yakni “Apakah tidak-adanya anak dan perselingkuhan yang melahirkan si mungil menjadi alasan perceraian?” Kesan umum yang selalu ada dalam masyarakat kita yakni “orang lebih suka bermain dengan perasaan mereka daripada akal sehat/rasio mereka.”

 Beberapa peristiwa nasional menjadi contoh nyata dari penegasan di atas, seperti; Acara Indonesian Idol, Idol cilik, dll. di mana orang lebih memilih berdasarkan nilai rasa daripada akal dan pikiran sehat. Melihat celah seperti ini maka Romo  mencoba untuk menggiring Anda sekalian agar terjerat dalam hal ini, dan memang ada yang terjerat, sementara yang lain berteriak minta tolong para romo lain untuk memberikan jalan keluarnya. Meskipun demikian, ada hal yang sangat membanggakan terutama dalam jiwa muda saudara Dimas, Kiki dan beberapa teman lain untuk jeli melihat perangkap ini dan tidak memasukan diri ke dalamnya. Sungguh menjadi sesuatu yang mengagumkan bahwa saudara Dimas mengembalikan perhatian semua  kawula muda pada inti masalahnya, yakni “PERSELINGKUHAN SUAMI YANG MENJADI DASAR BOLEH-TIDAKNYA PERCERAIAN, DARIPADA NASIB SI MUNGIL” di mana Romo mencoba untuk mengungkit terus rasa belas kasihanmu sehingga melupakan inti hukum dan penerapannya.

Kasus seperti ini pasti menjadi sangat mudah untuk diselesaikan dari sisi hukum gereja Katolik. Oleh karena itu, Romo mencoba untuk mempersiapkan proses penyelesaiannya secara hukum sambil tetap memperhatikan soal cinta kasih dan segi pastoralnya terhadap pihak-pihak yang terlibat di dalam kasus itu.





Sekarang, mengenai penjelasan dari sisi hukum gereja dan menyentil sedikit tentang pendampingan pastoral dari para pelayan gereja terhadap para pelaku atau mereka yang terlibat di dalamnya. Masak’kan setelah mendiagnosa penyakit, tidak memberikan obat atau cara/teknik penyembuhan? Itulah sebenarnya fungsi “Hukum Gereja Katolik” seperti dua sisi dari mata uang coin yang sama. Di satu pihak dengan tegas menerapakan sanksi-sanksi hukumnya tetapi di lain pihak “cinta kasih pastoral” sebagai jantung hati Gereja tak boleh diabaikan.

KACA MATA HUKUM GEREJA (Demi menambah pengetahuan kawula muda, maka saya akan membagi komentarku dalam beberapa bagian penting sebagai beriktu:

1. Halangan-halangan Menikah dalam Gereja Katolik (Ini hanya sekedar memberikan info tambahan kepada kaum muda demi melengkapi apa yang telah diuraikan oleh saudara-saudara kita tentang sifat dan cirri khas perkawinan Katolik (bdk. Penjelasan Bpk. Titus, Lambert, Dimas, dll.)

2. Ketika Hukum Gereja berbicara tentang kasus perselingkuhan (lih. Kasus teman kita).

3. Mencari Domba yang hilang (Pastoral keluarga bagi para pelaku dan demi kebahagiaan “Si Mungil”).


>. Sekedar Menambah pengetahuan kepada Orang Muda.
Dalam perumusan hukum gereja tentang halangan-halangan untuk menikah secara katolik, disebutkan 13 halangan untuk menikah pada umumnya, yaitu:

1. Halangan nikah usia muda (Ketentuan gereja Katolik universal; pria:16 tahun dan wanita:14 tahun. Akan tetapi ketentuan di setiap wilayah gerejani, seperti di Indonesia (KWI; pria:20 tahun dan wanita: 18 tahun. Karena itu, bila Agus belum genap berumur 20 tahun, namun sudah melakukan kecelakaan”, tetap tidak bisa diizinkan untuk menikah sah dengan Agustina, teman cewenya)

2. Halangan nikah beda agama (Orang yang telah dibabtis Katolik mau menikah dengan yang belum dibaptis. Misalnya; Donny mau menikah dengan Dona yang adalah Islam).

3. Halangan nikah ikatan perkawinan sebelumnya (Contohnya; Kiki telah menikah di Manado, lalu pergi ke Jakarta dan mencoba melangsungkan pernikahan kedua dengan kiki Fatmala (katolik), dengan cara mengaku bahwa belum pernah menikah sebelumnya; ataupun sudah menikah tapi sudah ada pembatalan. Untuk kasus seperti inipun harus ada pembuktian yang jelas sebelum melangsungkan pernikahan kedua)

4. Halangan nikah hubungan darah (Baik hubungan garis lurus ke atas maupun ke bawah. Misalnya; cucu denga opa, bapa dengan cucu,cicit (Opa Tole yang mencoba menikahi cucunya, cici paramita (Catatan; tidak bisa diberikan dispensasi dalam kasus di mana mereka2 yang disebutkan di atas hendak melaksanakan nikah); pun hubungan menyamping. Misalnya: Saudara kandung, pama/bibi, kemenakan, dll. sampai garis menyamping tingkat ke-4. Catatan; sampai garis menyamping ke-2 tidak bisa diberikan dispensasi)

5. Halangan nikah hubungan kesemendaan (Hubungan semenda dimaksudkan sebagai hubungan antara suami dengan saudara-saudari istrinya, pun sebaliknya. Misalnya; suami dengan mertua atau dengan anak tiri. Contoh kongrit: Bapak Lambert mau menikahi adik dari istrinya sekarang. Orang Manado bilang so buta stow….maaf balogat sadiki…so rindu orang Manado)

6. Halangan nikah kelayakan public (Halangan ini muncul dari perkawinan tidak sah di mana A dan B hidup bersama dan diketahui secara umum. Misalnya A dan B hidup bersama tanpa nikah sah; Anak dan ibunya hidup selayaknya suami - istri)

7. Halangan nikah adopsi (Halangan ini muncul dari hubungan adopsi. Dalam garis lurus, ayah tidak bisa menikah dengan anak adopsinya, pun berlaku untuk ibu dengan anak adopsi pria. Dalam garis menyamping; anak kandung dengan anak adopsi) Misalnya; Fafay mau menikah dengan kaka/adik tirinya/adopsi. Fa…kasihan, biar pun cinta tapi tidak diizinkan oleh Gereja Katolik.

8. Halangan nikah impotensi (Impotensi yang terjadi sebelum pernikahan dan sifatnya menetap (tak tersembuhkan) tapi KEMANDULAN TIDAK MELARANG ATAU MENGGAGALKAN PERKAWINAN KATOLIK…Ingat kasus kita dalam rubrik ini). Contohnya; John impoten berdasarkan hasil pemeriksaan dokter sebelum ingin menikah, dan bahwa impontensisnya bersifat menetap dan tidak dapat disembuhkan. Dalam kasus seperti ini, maaf John karena kamu tidak bisa menikah secara katolik.

9. Halangan nikah pemaksaan ( Misalnya; Pernikahan yang dilakukan di bawah ancaman orang lain) Marcel ingin menikahi Anna, tapi karena ada halangan maka Marcel mengancam akan membunuhnya atau membunuh orang tuanya Anna)

10. Halangan nikah pembunuhan (Francis ingin menikah dengan Maya tapi karena Maya sudah menikah, maka Francis membunuh suami resmi Maya ataupun karena kerja sama antara Maya dan Francis yang terlanjur telah saling jatuh cinta sehingga bersepakat untuk membunuh suami pertama Maya. DISPENSASI UNTUK KASUS SEPERTI INI HANYA BISA DIBERIKAN OLEH PAUS

11. Halangan nikah penculikan (Karena tidak mendapat persetujuan dari orang tuanya Merry maka Dimas menculiknya dan mau menikah dengannya di Papua)

12. Halangan nikah kaul kekal publik kemurnian (Kalau kekal bagi para religius menjadi halangan nikah, dan dispensasi untuk ini hanya diberikan oleh Paus. Misalnya: Fr. John adalah calon romo MSC dan sudah mengikrarkan kaul kekal dalam tarekatnya, atau Sr. Maria yang sudah mengikrarkan kaul kekal dalam tarekat YMY, lalu karena alasan tertentu ingin menikah dengan Yohana/Marius. Maaf…pada dasarnya nikah seperti ini dilarang, karenanya dispensasi harus diusahakan dari Paus. Yang penting Fr. John dan Sr. Maria jangan minta bantuan saya…hahhahahha…)

13. Halangan nikah tahbisan (Tahbisan diakonat dan Imamat menjadi halangan bagi nikah, jika tahbisan itu sendiri diterima dengan bebas. Dispensasi untuk ini pun hanya diberikan oleh Paus). Misalnya; Romo Inno merasa tidak betah lagi dalam panggilannya sehinnga menemukan seorang gadis Manila dan ingin menikahinya. Sayang…karena ada halangannya, kecuali minta dispensasi dari Paus. Siapa yang mau mengurusnya lagi? Lebih baik tidak deh…..hahhahahahhaa….

Maaf….bila tanpa izin teman-teman muda, namamu kusebut untuk menjelaskan tentang hukum Gereja. Penyebutan nama itu hanya mau menambah nilai rasa humor karena aku tau pasti banyak pertanyaan yang muncul di benak mudamu karena penjelasan yang singkat seperti ini. Saya harus belajar topik ini dalam beberapa semester dan hanya dipersingkat dalam 2/3 lembar rasanya kan belum cukup. Tapi, moga bisa membantu. Untuk kasus ini, bila ada yang protes, harap lapor saja ke Bpk. Titus, ahli hukum sipil sehingga bisa menuntu pemulihan nama baiknya…Wow…mau bayar dengan apa, ya? Have mercy on me, friends.

Seperti pada nomor 12 diatas; dalam hidup religius (biarawan/wati ada kaul terbagi atas dua bagian besar, yakni: Kaul Sementara dan Kaul Kekal; Kalau sementara hampir dibuat setiap tahun sebagai pembaharuan janji religius mereka. Sedangkan kaul kekal adalah kaul yang dibuat seumur hidup sebagai seorang religius. Kaul ini, untuk para romo religius biasanya dibuat mendahului tahbisan diakon (tahbisan pertama dalam tahbisan2 dalam gereja). Sedangkan untuk no.13; seorang kalau sudah mendapatkan tahbisan diakon, apalagi imamat (romo) maka terkena dengan ketentuan dalam nomor itu. Tahbisan itu sendiri menjadi halangan untuk diberkati di Gereja Katolik. Pemberkatan nikah mereka (orang yang adalah mantan diakon atau romo) hanya bisa dibuat jika orang tersebut sudah mendapatkan dispensasi dari Paus.
Diakon juga terbagi dalam dua bagian, yakni DIAKON PERMANENT DAN DIAKON TRANSISI. Diakon permanent biasanya diberikan kepada para kateketis atau mereka yang dianggap layak sebagai teladan iman, sehingga mereka pun memiliki hak untkuk memimpin ibadat, pembagian hosti, dan tugas2 lain yang diberikan kepada seorang diakon transisi. Sedangkan diakon transisi adalah tahbisan yang diberikan kepada mereka yang akan melanjutkan ke jenjang imamat/ tahbisa imam. Waktu normalnya biasanya 1 tahun, atau 2 tahun bahkan lebih tergantung pada evaluasi Uskup terhadap calon tersebut.


Tentang pertanyaan; MESKIPUN MEREKA TAHU BAHWA SALAH SATU DIANTARA MEREKA/KEDUA-KEDUANYA IMPOTEN TAPI MEREKA SETUJU UNTUK NIKAH? Apakah diperbolehkan dan sah? Jawabannya: MEREKA DAPAT MENIKAH SECARA SAH DI DALAM GEREJA, KECUALI ADA UNSUR MEREKA SENGAJA UNTUK MENYEMBUNYIKAN ATAU KARENA FAKTOR KETAKUTAN.
Keterangan tambahan untuk nomor 1, sehingga semakin memperjelas pengertiannya.

Halangan-halangan perkawinan

Prinsipnya bahwa “halangan-halangan yang berkaitan dengan hukum Gereja dapat diberi dispensasi, sedangkan halangan yang berkaitan dengan “HUKUM ILAHI” tidak dapat diberi dispensasi oleh Ordinaris Wilayah. Pembagian jelasnya sebagai berikut:

1. Halangan nikah dari hukum ilahi

Halangan ini dikatakan sebagai halangan dari hukum Ilahi karena berasal dari kodrati manusia sejak tercipta oleh Allah. Dengan kata lain, halangan-halangan ini menjadi pembawaan seseorang. Meskipun demikian, perumusannya dibuat oleh otoritas berwewenang, yakni Gereja. Halangan-halangan itu, antara lain:

1. Impotensi seksual yang bersifat tetap (kanon 1084) 2. Ikatan perkawinan sebelumnya (kanon 1085) 3. Hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kanon 1091 §1)

Halangan nikah dari hukum gerejawi Halangan-halangan ini berasal dari kuasa Gereja yang menciptakan hukum untuk menjamin kesejahteraan anggotanya. Gereja tetap menunjukkan cinta pastoralnya di satu pihak, dan penegakan hukum demi keteraturan hidup para anggotanya di lain pihak. Oleh karena itu, menurut Kitab Hukum Kanonik, halangan-halangan itu adalah: 1. Halangan umur (kanon 1083) 2. Halangan beda agama (kanon 1086) 3. Halangan tahbisan suci (kanon 1087) 4. Halangan kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam tarekat religius (kanon 1088) 5. Halangan penculikan (kanon 1089) 6. Halangan kriminal (kanon 1090) 7. Halangan hubungan darah garis menyamping (kanon 1091 §2) 8. Halangan hubungan semenda (kanon 1092) 9. Halangan kelayakan publik (kanon 1093) 10. Halangan pertalian hukum (kanon 1094)

Catatan:

1. Halangan-halangan yang berasal dari hukum Ilahi mengikat semua orang

2. Halangan-halangan yang berasal dari gereja, Cuma mengikat mereka yang dibaptis dalam gereja dan yang diterima menjadi anggota gereja.

3. Halangan-halangan Ilahi tidak bisa diberi dispensasi oleh kuasa manapun, termasuk gereja

4. Halangan-halangan dari hukum gereja bisa diberi dispensasi oleh kuasa yang berwewenang dalam gereja.


‎2. Ketika Hukum Gereja berbicara tentang kasus perselingkuhan (lih. Kasus teman kita).

Tak dapat dipungkiri bahwa soal anak masih dipandang sebagai unsure penting dalam perkawinan dalam agama dan budaya apa saja, bahkan dalam budaya-budaya tertentu (ingat penjelasan Bpk. Titus), anak menjadi ukuran berhasil tidaknya sebuah ikatan perkawinan, sehingga perkawinan diceraikan atau tidaknya sangat tergantung pada adanya anak atau tidak.

Sebelum mengatakan dengan jelas apakah dalam kasus teman kita di atas, perselingkuhan dibenarkan atau tidak, sehingga perceraian bisa dilaksanakan demi masa depan si mungil, maka alangkah baiknya bila saya memposting kembali apa yang telah disebutkan oleh beberapa teman dalam tanggapannya sehingga pembaca bisa menarik kesimpulan sendiri tentang kasusnya. Kanon 1055 memberikan sebuah definisi yang indah tentang perkawinan katolik, sebagai berikut: “Perjanjian perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.”

Dari definisi tersebut, gereja kemudian merumuskan apa yang kita sebauh sebagai Tujuan dan sifat dasar perkawinan katolik, yakni:

• Kesejahteraan suami-istri dan sikap saling membahagiakan. Hal ini berarti kebahagiaan hendaknya menjadi usaha dan kerja keras kedua belah pihak, dan tidak menjadi tanggung jawab seorang saja.

• Terarah pada keturunan. Pasangan yang menikah harus terbuka pada kelahiran anak bila dari perkawinan itu adanya kemungkinan untuk mendapatkan anak. (karena itu aborsi ditentang oleh Gereja karena maksud ini. Ingat diskusi kita beberapa hari lalu). Meskipun demikian anak adalah anugerah Tuhan, sehingga tidak adannya anak tidak menjadi alasan untuk menceraikan pasangan atau mengizinkan adanya perselingkuhan.

• Perzinaan dan penyimpangan seksual adalah dosa (namun tidak bisa menjadi dasar bagi sebuah perceraian). Perkawinan dimaksud kan juga sebagai sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzinaan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup.

Sebuah catatan PENTING: Gereja Katolik tidak melihat/mempertimbangkan kemandulan, baik salah satu maupun kedua pasangan, menjadi alasan terjadinya perceraian,( kemandulan tidak membatalkan perkawinan), DAN TIDAK MENJADI ALASAN UNTUK MENINGGALKAN PASANGAN KEMUDIAN MENCARI PASANGAN LAIN (Berselingkuh), hanya untuk mendapatkan anak dengan cara menikah dengan wanita lain.

Dengan demikian maka kasus teman kita di atas (Perselingkuhan demi untuk mendapatkan anak) TIDAK BISA MENJADI ALASAN PERCERAIAN. Hal yang masih harus dipikirkan adalah apa yang akan dibahas dalam nomor terakhir, yakni: “BAGAIMANA DENGAN NASIB MEREKA YANG TERLIBAT DALAM KASUS ITU, TERUTAMA HAK-HAK SI MUNGIL?



‎3. Cinta Kasih Pastoral Gereja sebagai ibu yang baik

Dalam kasus seperti ini, Gereja tetap memaikan peranan pastoral karitatifnya baik kepada mereka yang menjadi korban langsung maupun tidak langsung, dan juga yang melakukan tindakan seperti itu.

3.1. Terhadap Laki-laki dan Perempuan (baik sang istri sah maupun wanita selingkuhan)

Gereja sebagai seorang ibu tetap harus menampakkan sifat tegas dalam perumusan hukum tapi lembut dalam penerapannya terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kasus seperti ini, yakni mencontohi apa yang pernah dibuat oleh Yesus selama hidup-Nya. Ia sangat menghormati hukum, namun ketika berhadapan dengan kepentingan manusia, maka hukum harus member ruang bagi penghormatan terhadap martabat manusia itu sendiri.

Sikap Yesus sangat jelas di mana Ia selalu berpihak kepada yang berdosa. Ia sendiri berkata: “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.” (Luk.5:32). Contoh paling bagus adalah ketika para Farisi membawa kepada-Nya seorang wanita yang kedapatan berzinah (“KASIHAN SI WANITA ITU KAN? Karena SI PRIANYA BEBAS UNTUK MELAKUKAN LAGI KEPADA WANITA LAIN? ITULAH SISI KEKAKUAN DARI PARA PENEGAK HUKUM, TERUTAMA DALAM PENERAPANNYA”), Yesus mengatakan kepadanya setelah tidak ada seorangpun berani melemparinya dengan batu, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yoh.8:11).


‎3.2. Terhadap Si Mungil

Dalam rasa pastoral seperti inilah kiranya gereja (para petugas pastoralnya, baik umat maupun romo) menawarkan cinta kasih kepada kedua pelaku perbuatan selingkuh. Efek selingkuh sendiri telah mencederai pernikahan suci, dan selanjutnya menempatkan si mungil pada situasi yang sulit, yang tentunya ia sendiri tidak kehendaki berada di sana. Dulu, gereja sangat ketat dalam kasus-kasus seperti ini, seperti yang telah dijelaskan oleh Bpk. Titus dengan menggunakan istilah “ANAK HARAM” (Kasihan si mungil kan? Seharusnya yang haram itu adalah perbuatan laki-laki dan perempuan yang tidak bisa kontrol diri dan nafsu, dan bila perlu kedua pelaku itu adalah haram, dan bukannya si mungil. Ini hanya komentar nakalku saja). Efeknya, anak tidak bisa menerima hak penuh sebagai anggota gereja, bahkan dalam penerapan hukum lama, anak seperti ini tidak bisa masuk biara atau ditahbiskan menjadi romo. (Wow…apa bedanya dengan penerapan hukum sipil ala Suharto terhadap para mantan PKI?). Seiring dengan angin segar Roh Kudus yang berhembus keras sejak Konsili Vatikan II, maka pernyataan-pernyataan Gereja yang keras dan ekslusif mulai diubah (walaupun pada hakekatnya masih ada), seperti; “Di luar Gereja tidak ada keselamatan” atau “Orang Kristen Anonim” atau pun juga batasan-batasan yang diperlakukan terhadap anak-anak tidak berdosa seperti dalam kasus kita ini, mulai dirombak seperti kata-kata Yesus hari ini kepada orang-orang Farisi; “Rombaklah bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.”(Yoh.2:13-22).

Dalam konteks kasus kita, Gereja tidak bisa mencampuri urusannya sampai ke soal penanganan menurut hukum sipil atau adat yang berlaku. Dalam kasus seperti ini, Gereja hanya mengambil bagian dari sisi pastoralnya berupa nasehat dan himbauan untuk tetap mempertahankan keluhuran martabat pernikahan suci (karena memang perselingkuhan tidak bisa menjadi alasan pembatalan nikah/”perceraian”). Segala sesuatu tentang nasib si mungil (pembiayaan hidupnya) menjadi tanggung jawab si mama dan papa, atau bahkan hanya sepihak saja, dan ini semuanya di atur oleh hukum sipil dan adat yang berlaku tanpa intervensi dari pihak gereja. CAMPUR TANGAN GEREJA AKAN MENJADI LAIN KETIKA YANG TERLIBAT DALAM KASUS-KASUS SEPERTI ITU ADALAH PARA ROMO, maka ada kewajiban dari pihak Gereja Keuskupan/Tarekat untuk terlibat langsung dalam kehidupan dan kebahagiaan si mungil sampai batas waktu tertentu. Sedikit menyimpang tapi hanya mau menyebutkan saja untuk menjadi perhatian dan bahan permenungan kita sekalian sebagai anggota Gereja Katolik, baik oleh umat maupun para romo sendiri, bahwa gereja Katolik saat ini diguncang oleh skandal2 seksual para romo, baik sodomi, sexual abuse, kasus dengan para wanita, dll…dan tentunya ini membutuhkan biaya besar dari pihak gereja untuk membayar sesuai dengan tuntutan pengadilan karena permintaan para korban. Dulu, umat diam menerima, tapi sekarang, keadilan dan penghormatan terhadap hak dan martabat pribadi sedang ditegakkan maka para romo pun bisa dibawa ke pengadilan, dan bahkan menjadi penghuni penjara. Semoga menjadi peringatan untuk kita semua, untuk selalu menjaga keluhuran martabat imamat kita, tetapi juga umat mendukung dan turut menjaga imamat para romo di tempat di mana mereka berada dan bertugas.

3.3. Sebuah Permenungan

Semoga penjelasan panjang yang telah disajikan ini, memberikan tambahan pengetahuan kepada jiwa muda sekalian, tetapi juga menjadi bahan refleksi dan permenungan demi meningkatkan iman kita, dan salah satunya adalah ketika jiwa muda saling menghormati pasanganmu nanti ketika bahtera keluarga telah didayung ke tepian, sama seperti pesta “Persembahan Basilika Lateran” hari ini. Gereja bagai bahtera mengarungi zaman. Ya, pernikahan pun adalah sebuah bahtera yang dihantam ombak dan gelombang setiap saat, karena itu kepasrahan kepada Allah, serta kerelaan untuk mengundang-Nya masuk dan tinggal di rumah/bahtera kita, kiranya menyucikan hati dan jiwa para pasangan, serta menjadikannya tempat bersemayam Allah.