Rabu, 06 Juli 2011

Perkawinan Katolik dan Problematikanya, dari sudut pandang awam dan klerus


PERKAWINAN KATOLIK DAN PROBLEMATIKANYA
Pertanyaan/awal topic diskusi;
“Aku mengenal keluarga, yang telah menikah selama beberapa tahun namun tdk di karunia anak. Tapi ketika suaminya brselingkuh dengan orang lain, menghasilkan sorg bayi.
Nah, untuk masalah ini siapakah yg bersalah?
Dan apakah tanggapan kita sbg org muda katolik jika menemukn hal se...mcam ini?
Lalau apa tanggapan gereja terhadap kejadian ini?
Apakah dengan kejadian itu mereka bisa cerai dan si pria mempeertanggungjawabkan perbuatannya?

Berdasar pertanyaan ini, diuraikan beberapa diskusi atau bahasan terkait:

>. Terdapat Tanggapan Pribadi maupun landasan Biblis dan Hukum Gereja.

 Tanggapan pribadi

Sebagai orang yang menghayati luhurnya martabat perkawinan, saya sangat tidak menyetujui bentuk atau cara hidup apapun yang mereduksi nilai perkawinan itu sendiri. Perselingkuhan atau apapun namanya adalah cara hidup yang tidak bekersesuaian dengan hakekat sebuah perkawinan.
Secara kasar dalam menanggapi cara hidup seperti itu, bisa disebut orang seperti itu menghidupi yang namanya “SPIRITUALITAS ANJING”. Suka merasakan yang ini...yang itu...dst. Tak puas hanya dengan satu pasangan.
Mendapatkan anak bukan satu-satunya tujuan perkawinan. Jangan sampai alasan “demi mendapatkan anak” digunakan untuk melegitimasi kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam diri. PERNIKAHAN BUKANLAH PETERNAKAN.
Tujuan Perkawinan.
Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Wajar jika kita berharap akan lahirnya anak-anak dari pernikahan kita. Namun yang ingin disampaikan adalah, tujuan utama sebuah pernikahan bukanlah untuk mempunyai anak. Banyak kasus lain mengenai kegagalan rumah tangga akibat tidak mendapat keturunan, terlihat adanya salah kaprah mengenai tujuan utama mendirikan lembaga pernikahan. Mereka memandang pernikahan layaknya sebuah peternakan, dimana kita bisa mengembangbiakkan keturunan kita. Sekali lagi, pernikahan bukanlah peternakan. Sebuah pernikahan, dimana Tuhan sendiri yang memateraikan pembentukannya, punya tujuan yang jauh lebih penting daripada sekedar memiliki keturunan. Bukan sekedar pernikahan karena "kejar tayang" atau takut disebut "bujang lapuk/perawan tua", akibat nafsu, gengsi, desakan orang tua dan lain-lain.

Landasan Budaya/Suku.
  1. Coba kita lihat secara jernih dari segi antropologi budaya bahwa sistem dan budaya patrilinial atau patriarki masih cukup kuat di suku-suku Flores, Batak, mungkin Maluku, Irian, atau juga di Manado Sulawesi Utara ? Ada kegelisahan tersendiri bagi umat Katolik dari suku-suku tersebut kalau tidak mempunyai keturunan sebagai penerus marga atau suku. Kadangkala jalan pintas yang ditempuh adalah nikah istri kedua secara adat saja (nikah siri), karena nikah kanonik atau nikah gereja lagi tidak mungkin. Hal ini yang menjadi masalah secara teologis dan ajaran Gereja Katolik, tetapi umat-umat suku tersebut tidak melihatnya sebagai sebuah penyimpangan dari segi adat budaya. Dalam hal ini, jauh dari kesan adanya penyakit sosial free sex atau hyper sex naluri hewaniah semata seperti terkesan dalam tanggapan pribadi.

  1. Dalam pengamatan selama di Flores (contohnya), justru ada anak-anak yang lahir dari perkawinan adat seperti di atas, yang berkarya menjadi Biarawan-Biarawati atau Pastor yang bekerja di dalam negeri atau di luar negeri, terutama dari Ordo SVD. Rupanya rancangan Allah Bapa luar biasa melampaui segala macam kelemahan manusiawi, bahkan melampaui seluruh konsep teologi dan ajaran Gereja Katolik yang kita pedomani selama ini. Itulah pekerjaan Tuhan yang bisa mengambil mutiara cemerlang dari sebuah tempat "yang di mata manusia" adalah sampah masyarakat.



Kontra Diskusi.

“Apakah anak adalah tujuan utama pernikahan Katolik?”
Pasti kita ingin menjawab TIDAK!!!.
Karena itu bukan merupakan tujuan utama dari Perkawinan Katolik. Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa dlm beberapa suku di indonesia masih mempraktekan seperti yang diutarakan pada landasan budaya di atas. Berhadapan dengan kenyataan seperti itu, bagaimana sikap Gereja Katolik terhadap Budaya Kesukuan tersebut?
Lalu bagaimana kebijakan pastoral dari Pastor Paroki setempat?

Landasan Biblis dengan tinjauan tradisi kedaerahan;
Saudara sekalian, secara Alkitabiah, memang ada ayat Kitab Kejadian yg memerintahkan : agar kita beranakcucu-berkembang biak-memenuhi muka Bumi ini,dst.
Tetapi substansi terkait Sakramen Pernikahan adalah sesuai Kitab Kejadian: Dua menjadi satu ( menjadi satu daging) meskipun ada ayat Injil yg membolehkan bercerai karena perzinahan (dianut Protestan) tetapi hukum Kanonik gereja Katolik memilih " dua menjadi satu " sebagai landasan utama sehingga lahir prinsip monogam dan tidak terceraikan kecuali oleh kematian. merujuk pada ayat Injil : apa yg disatukan Tuhan tidak boleh diceraikan manusia.
Karena itu menghadapi kasus seperti di Flores, memakai pendekatan hukum Kanonik saja, tidak akan menyelesaikan persoalan atau mendatangkan ketentraman ditengah umat secara komunitas. Oleh karena itu, pastor di Flores menekankan pendekatan pastoral untuk menghadapai masalah tersebiut antara lain misalnya: pernikahan adat meningkat jadi sakramen setelah isteri pertama meninggal. sebelum nikah kanonik suami isteri nikah adat "dihukum" tidak boleh komuni, tetapi anak2 lahir dari nikah adat tetap berhak menerima sakramen baptis dan sakramen lainnya, bahkan kalau anaknya masuk seminari , tetap ditabhiskan menjadi imam, meskipun ayah ibunya "masih terhukum" karena masih nikah adat. pada saat suami isteri nikah adat sekarat, tetap menerima minyak suci (tanpa komuni???) dan saat meninggal tetap misa reqiuem.
People says:
Dalam kasus yang diposting jelas bahwa pasangan itu, tidak memiliki anak, sehingga ketika sang suami berselingkuh dan mendapatkan anak, alangkah baiknya Gereja membiarkan sang suami kawin dengan ibunya anak itu karena masalahnya nanti siapakah yang memelihara anak itu?
Kontra Diskusi.
Dear romo dan saudaraku, mohon maaf saya tidak setuju dengan pendapat kalian, apalagi gereja diminta melegalisir pernikahan suami dengan ibu dari anak yg lahir diluar pernikahan sah atau dengan bahasa awam lahir dari "perselingkuhan" sang saumi dengan perempuan lain, ibu, anak "haram " tersebut ( meminjam istillah Islam). menurut hukum sipil ( UU Perkawinan RI) anak tersebut otomatis menjadi anak ibunya, tetapi tidak punya ayah secara yuridis. hanya ayah biologis. Bisa saja secara pastoral, gereja sebagai ibunya umat Katolik Roma, demi cinta kasih dan tanggungjawab moral, meminta kepada isteri yg sah dan suaminya untuk mengadopisi secara yuridis (melalui pengadilan) menjadi anak sah mereka, asal dengan persetujuan ibu kandungnya. Bilamana ibu kandung tidak setuju, gereja (dalam hal ini pastor paroki) meminta sang suami atau ayah biologis anak tersebut untuk memenuhi kebutuhan biaya hidup anak tersebut untuk sandang, pangan, papan, dan sekolahnya sampai usia dewasa. hal ini memerlukan bimbingan khusus pastoral, sambil kepada sang suami "selingkuh" dan ibu kandung anak tersebut tetap menjalani "hukuman" tidak boleh komuni sampai tibah waktunya pernikahan kanonik/sakramen pernikahan setelah isteri yg sah meninggal. Metode anulasi dan atau pembatalan pernikahan Katolik dalam kasus ini terus terang saya tidak setuju karena bila sering dilakukan apa bedanya dengan "cerai " dan "talak" yg bisa berkali-kali dilakukan menurut ajaran Nabi Muhammad (Islam)??? kita adalah pengikut Yesus Kristus dimana semua ajaranNya dan contoh perbuatanNya diwariskan dan diteruskan oleh St. Petrus dkk, (12 rasul pertama) berikut paus dan para uskup sebagai pengganti sesuai ajaran gereja Katolik Roma ( dogma primat).
Lebih hangat lagi jika tiap orang mau memberikan pendapat sehingga akan tiba saatnya Anda pun mengerti inti ajarannya dan mewartakan kepada yang lain. Kasihan juga anak itu jika mendapat penolakan hanya karena status ayahnya yang tidak jelas. Ia mungkin menangis memanggil ayahnya kelak tapi apa jawaban ibunya? Sekali lagi sangat disayangkan bahwa "tidak ada celah" dalam hukum untuk memberikan kelonggaran dalam perkawinan katolik dengan mempertimbangkan nasib anak kecil mungil itu. Gereja mencintai anak itu tapi ketika tidak memberi tempat bagi si anak untuk mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya, maka apakah cinta seperti itu musti dirumuskan kembali?
Bisa juga, persoalan sesungguhnya bukan terletak pada anak dari hubungan”tak wajar” itu. Adalah tanggung jawab pelaku (pria dan wanita yang berselingkuh itu) untuk mengupayakan yang terbaik bagi anak tersebut. Dari sisi Gereja, tindakan belaskasih akan ditunjukkan oleh Ibu kita, yaitu Gereja sendiri kepada anak yang bersangkutan (dalam kebijakan-kebijakan pastoralnya). Kita percaya bahwa Gereja, ibu kita itu, akan memberikan tindakan ”consolatio” bagi anak itu.

Menurut hemat, persoalan sesungguhnya justru terletak pada TINDAKAN yang menyebabkan anak itu ”ada”. Adanya si anak adalah konsekuensi dari tindakan/perbuatan yang dilakukan. Tindakan yang saya maksudkan adalah tindakan PERSELINGKUHAN. Pria yang berselingkuh itu masih hidup dalam pernikahan yang sah. Demi alasan memperoleh keturunan, ia berselingkuh dengan perempuan lain. Apakah demi memperoleh keturunan lalu kita menghalalkan / melegitimasi tindakan perselingkuhan itu? Anda dan saya tentu akan menjawab tidak! (kecuali bagi mereka yang memiliki kecenderungan dasar seperti itu). Ditinjau dari perspektif manapun, tindakan itu tidak dibenarkan!


Menjadi sebuah kebanggaan bahwa kaum muda dalam Group ini telah menghangatkan wall diskusi ini dengan beragam pendapat, baik yang kontra, yang melihat unsur belas kasihan harus ditonjolkan, walaupun resikonya bertentangan dengan hukum gereja sendiri, namun di lain pihak, kelompok yang pro tetap mengemukakan ide-ide brilliant tentang perkawinan katolik yang tak boleh diceraikan, apa pun resiko yang dihadapi, dan secara khusus dalam kasus ini adalah resiko tidak mendapatkan anak.

Beberapa rekan telah memberikan kita masukan dengan berbagai pendasaranbaik biblis, teologis, exegetis, maupun dari sisi hukum sipil dan gereja untuk meneropongi kasus ini sehingga ada kesimpulan akhirnya. Di celah-celah diskusi Romo masuk dengan ide-ide kontra yang mencoba mengalihkan perhatianmu pada nasib si anak daripada inti masalahnya yakni “Apakah tidak-adanya anak dan perselingkuhan yang melahirkan si mungil menjadi alasan perceraian?” Kesan umum yang selalu ada dalam masyarakat kita yakni “orang lebih suka bermain dengan perasaan mereka daripada akal sehat/rasio mereka.”

 Beberapa peristiwa nasional menjadi contoh nyata dari penegasan di atas, seperti; Acara Indonesian Idol, Idol cilik, dll. di mana orang lebih memilih berdasarkan nilai rasa daripada akal dan pikiran sehat. Melihat celah seperti ini maka Romo  mencoba untuk menggiring Anda sekalian agar terjerat dalam hal ini, dan memang ada yang terjerat, sementara yang lain berteriak minta tolong para romo lain untuk memberikan jalan keluarnya. Meskipun demikian, ada hal yang sangat membanggakan terutama dalam jiwa muda saudara Dimas, Kiki dan beberapa teman lain untuk jeli melihat perangkap ini dan tidak memasukan diri ke dalamnya. Sungguh menjadi sesuatu yang mengagumkan bahwa saudara Dimas mengembalikan perhatian semua  kawula muda pada inti masalahnya, yakni “PERSELINGKUHAN SUAMI YANG MENJADI DASAR BOLEH-TIDAKNYA PERCERAIAN, DARIPADA NASIB SI MUNGIL” di mana Romo mencoba untuk mengungkit terus rasa belas kasihanmu sehingga melupakan inti hukum dan penerapannya.

Kasus seperti ini pasti menjadi sangat mudah untuk diselesaikan dari sisi hukum gereja Katolik. Oleh karena itu, Romo mencoba untuk mempersiapkan proses penyelesaiannya secara hukum sambil tetap memperhatikan soal cinta kasih dan segi pastoralnya terhadap pihak-pihak yang terlibat di dalam kasus itu.





Sekarang, mengenai penjelasan dari sisi hukum gereja dan menyentil sedikit tentang pendampingan pastoral dari para pelayan gereja terhadap para pelaku atau mereka yang terlibat di dalamnya. Masak’kan setelah mendiagnosa penyakit, tidak memberikan obat atau cara/teknik penyembuhan? Itulah sebenarnya fungsi “Hukum Gereja Katolik” seperti dua sisi dari mata uang coin yang sama. Di satu pihak dengan tegas menerapakan sanksi-sanksi hukumnya tetapi di lain pihak “cinta kasih pastoral” sebagai jantung hati Gereja tak boleh diabaikan.

KACA MATA HUKUM GEREJA (Demi menambah pengetahuan kawula muda, maka saya akan membagi komentarku dalam beberapa bagian penting sebagai beriktu:

1. Halangan-halangan Menikah dalam Gereja Katolik (Ini hanya sekedar memberikan info tambahan kepada kaum muda demi melengkapi apa yang telah diuraikan oleh saudara-saudara kita tentang sifat dan cirri khas perkawinan Katolik (bdk. Penjelasan Bpk. Titus, Lambert, Dimas, dll.)

2. Ketika Hukum Gereja berbicara tentang kasus perselingkuhan (lih. Kasus teman kita).

3. Mencari Domba yang hilang (Pastoral keluarga bagi para pelaku dan demi kebahagiaan “Si Mungil”).


>. Sekedar Menambah pengetahuan kepada Orang Muda.
Dalam perumusan hukum gereja tentang halangan-halangan untuk menikah secara katolik, disebutkan 13 halangan untuk menikah pada umumnya, yaitu:

1. Halangan nikah usia muda (Ketentuan gereja Katolik universal; pria:16 tahun dan wanita:14 tahun. Akan tetapi ketentuan di setiap wilayah gerejani, seperti di Indonesia (KWI; pria:20 tahun dan wanita: 18 tahun. Karena itu, bila Agus belum genap berumur 20 tahun, namun sudah melakukan kecelakaan”, tetap tidak bisa diizinkan untuk menikah sah dengan Agustina, teman cewenya)

2. Halangan nikah beda agama (Orang yang telah dibabtis Katolik mau menikah dengan yang belum dibaptis. Misalnya; Donny mau menikah dengan Dona yang adalah Islam).

3. Halangan nikah ikatan perkawinan sebelumnya (Contohnya; Kiki telah menikah di Manado, lalu pergi ke Jakarta dan mencoba melangsungkan pernikahan kedua dengan kiki Fatmala (katolik), dengan cara mengaku bahwa belum pernah menikah sebelumnya; ataupun sudah menikah tapi sudah ada pembatalan. Untuk kasus seperti inipun harus ada pembuktian yang jelas sebelum melangsungkan pernikahan kedua)

4. Halangan nikah hubungan darah (Baik hubungan garis lurus ke atas maupun ke bawah. Misalnya; cucu denga opa, bapa dengan cucu,cicit (Opa Tole yang mencoba menikahi cucunya, cici paramita (Catatan; tidak bisa diberikan dispensasi dalam kasus di mana mereka2 yang disebutkan di atas hendak melaksanakan nikah); pun hubungan menyamping. Misalnya: Saudara kandung, pama/bibi, kemenakan, dll. sampai garis menyamping tingkat ke-4. Catatan; sampai garis menyamping ke-2 tidak bisa diberikan dispensasi)

5. Halangan nikah hubungan kesemendaan (Hubungan semenda dimaksudkan sebagai hubungan antara suami dengan saudara-saudari istrinya, pun sebaliknya. Misalnya; suami dengan mertua atau dengan anak tiri. Contoh kongrit: Bapak Lambert mau menikahi adik dari istrinya sekarang. Orang Manado bilang so buta stow….maaf balogat sadiki…so rindu orang Manado)

6. Halangan nikah kelayakan public (Halangan ini muncul dari perkawinan tidak sah di mana A dan B hidup bersama dan diketahui secara umum. Misalnya A dan B hidup bersama tanpa nikah sah; Anak dan ibunya hidup selayaknya suami - istri)

7. Halangan nikah adopsi (Halangan ini muncul dari hubungan adopsi. Dalam garis lurus, ayah tidak bisa menikah dengan anak adopsinya, pun berlaku untuk ibu dengan anak adopsi pria. Dalam garis menyamping; anak kandung dengan anak adopsi) Misalnya; Fafay mau menikah dengan kaka/adik tirinya/adopsi. Fa…kasihan, biar pun cinta tapi tidak diizinkan oleh Gereja Katolik.

8. Halangan nikah impotensi (Impotensi yang terjadi sebelum pernikahan dan sifatnya menetap (tak tersembuhkan) tapi KEMANDULAN TIDAK MELARANG ATAU MENGGAGALKAN PERKAWINAN KATOLIK…Ingat kasus kita dalam rubrik ini). Contohnya; John impoten berdasarkan hasil pemeriksaan dokter sebelum ingin menikah, dan bahwa impontensisnya bersifat menetap dan tidak dapat disembuhkan. Dalam kasus seperti ini, maaf John karena kamu tidak bisa menikah secara katolik.

9. Halangan nikah pemaksaan ( Misalnya; Pernikahan yang dilakukan di bawah ancaman orang lain) Marcel ingin menikahi Anna, tapi karena ada halangan maka Marcel mengancam akan membunuhnya atau membunuh orang tuanya Anna)

10. Halangan nikah pembunuhan (Francis ingin menikah dengan Maya tapi karena Maya sudah menikah, maka Francis membunuh suami resmi Maya ataupun karena kerja sama antara Maya dan Francis yang terlanjur telah saling jatuh cinta sehingga bersepakat untuk membunuh suami pertama Maya. DISPENSASI UNTUK KASUS SEPERTI INI HANYA BISA DIBERIKAN OLEH PAUS

11. Halangan nikah penculikan (Karena tidak mendapat persetujuan dari orang tuanya Merry maka Dimas menculiknya dan mau menikah dengannya di Papua)

12. Halangan nikah kaul kekal publik kemurnian (Kalau kekal bagi para religius menjadi halangan nikah, dan dispensasi untuk ini hanya diberikan oleh Paus. Misalnya: Fr. John adalah calon romo MSC dan sudah mengikrarkan kaul kekal dalam tarekatnya, atau Sr. Maria yang sudah mengikrarkan kaul kekal dalam tarekat YMY, lalu karena alasan tertentu ingin menikah dengan Yohana/Marius. Maaf…pada dasarnya nikah seperti ini dilarang, karenanya dispensasi harus diusahakan dari Paus. Yang penting Fr. John dan Sr. Maria jangan minta bantuan saya…hahhahahha…)

13. Halangan nikah tahbisan (Tahbisan diakonat dan Imamat menjadi halangan bagi nikah, jika tahbisan itu sendiri diterima dengan bebas. Dispensasi untuk ini pun hanya diberikan oleh Paus). Misalnya; Romo Inno merasa tidak betah lagi dalam panggilannya sehinnga menemukan seorang gadis Manila dan ingin menikahinya. Sayang…karena ada halangannya, kecuali minta dispensasi dari Paus. Siapa yang mau mengurusnya lagi? Lebih baik tidak deh…..hahhahahahhaa….

Maaf….bila tanpa izin teman-teman muda, namamu kusebut untuk menjelaskan tentang hukum Gereja. Penyebutan nama itu hanya mau menambah nilai rasa humor karena aku tau pasti banyak pertanyaan yang muncul di benak mudamu karena penjelasan yang singkat seperti ini. Saya harus belajar topik ini dalam beberapa semester dan hanya dipersingkat dalam 2/3 lembar rasanya kan belum cukup. Tapi, moga bisa membantu. Untuk kasus ini, bila ada yang protes, harap lapor saja ke Bpk. Titus, ahli hukum sipil sehingga bisa menuntu pemulihan nama baiknya…Wow…mau bayar dengan apa, ya? Have mercy on me, friends.

Seperti pada nomor 12 diatas; dalam hidup religius (biarawan/wati ada kaul terbagi atas dua bagian besar, yakni: Kaul Sementara dan Kaul Kekal; Kalau sementara hampir dibuat setiap tahun sebagai pembaharuan janji religius mereka. Sedangkan kaul kekal adalah kaul yang dibuat seumur hidup sebagai seorang religius. Kaul ini, untuk para romo religius biasanya dibuat mendahului tahbisan diakon (tahbisan pertama dalam tahbisan2 dalam gereja). Sedangkan untuk no.13; seorang kalau sudah mendapatkan tahbisan diakon, apalagi imamat (romo) maka terkena dengan ketentuan dalam nomor itu. Tahbisan itu sendiri menjadi halangan untuk diberkati di Gereja Katolik. Pemberkatan nikah mereka (orang yang adalah mantan diakon atau romo) hanya bisa dibuat jika orang tersebut sudah mendapatkan dispensasi dari Paus.
Diakon juga terbagi dalam dua bagian, yakni DIAKON PERMANENT DAN DIAKON TRANSISI. Diakon permanent biasanya diberikan kepada para kateketis atau mereka yang dianggap layak sebagai teladan iman, sehingga mereka pun memiliki hak untkuk memimpin ibadat, pembagian hosti, dan tugas2 lain yang diberikan kepada seorang diakon transisi. Sedangkan diakon transisi adalah tahbisan yang diberikan kepada mereka yang akan melanjutkan ke jenjang imamat/ tahbisa imam. Waktu normalnya biasanya 1 tahun, atau 2 tahun bahkan lebih tergantung pada evaluasi Uskup terhadap calon tersebut.


Tentang pertanyaan; MESKIPUN MEREKA TAHU BAHWA SALAH SATU DIANTARA MEREKA/KEDUA-KEDUANYA IMPOTEN TAPI MEREKA SETUJU UNTUK NIKAH? Apakah diperbolehkan dan sah? Jawabannya: MEREKA DAPAT MENIKAH SECARA SAH DI DALAM GEREJA, KECUALI ADA UNSUR MEREKA SENGAJA UNTUK MENYEMBUNYIKAN ATAU KARENA FAKTOR KETAKUTAN.
Keterangan tambahan untuk nomor 1, sehingga semakin memperjelas pengertiannya.

Halangan-halangan perkawinan

Prinsipnya bahwa “halangan-halangan yang berkaitan dengan hukum Gereja dapat diberi dispensasi, sedangkan halangan yang berkaitan dengan “HUKUM ILAHI” tidak dapat diberi dispensasi oleh Ordinaris Wilayah. Pembagian jelasnya sebagai berikut:

1. Halangan nikah dari hukum ilahi

Halangan ini dikatakan sebagai halangan dari hukum Ilahi karena berasal dari kodrati manusia sejak tercipta oleh Allah. Dengan kata lain, halangan-halangan ini menjadi pembawaan seseorang. Meskipun demikian, perumusannya dibuat oleh otoritas berwewenang, yakni Gereja. Halangan-halangan itu, antara lain:

1. Impotensi seksual yang bersifat tetap (kanon 1084) 2. Ikatan perkawinan sebelumnya (kanon 1085) 3. Hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kanon 1091 §1)

Halangan nikah dari hukum gerejawi Halangan-halangan ini berasal dari kuasa Gereja yang menciptakan hukum untuk menjamin kesejahteraan anggotanya. Gereja tetap menunjukkan cinta pastoralnya di satu pihak, dan penegakan hukum demi keteraturan hidup para anggotanya di lain pihak. Oleh karena itu, menurut Kitab Hukum Kanonik, halangan-halangan itu adalah: 1. Halangan umur (kanon 1083) 2. Halangan beda agama (kanon 1086) 3. Halangan tahbisan suci (kanon 1087) 4. Halangan kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam tarekat religius (kanon 1088) 5. Halangan penculikan (kanon 1089) 6. Halangan kriminal (kanon 1090) 7. Halangan hubungan darah garis menyamping (kanon 1091 §2) 8. Halangan hubungan semenda (kanon 1092) 9. Halangan kelayakan publik (kanon 1093) 10. Halangan pertalian hukum (kanon 1094)

Catatan:

1. Halangan-halangan yang berasal dari hukum Ilahi mengikat semua orang

2. Halangan-halangan yang berasal dari gereja, Cuma mengikat mereka yang dibaptis dalam gereja dan yang diterima menjadi anggota gereja.

3. Halangan-halangan Ilahi tidak bisa diberi dispensasi oleh kuasa manapun, termasuk gereja

4. Halangan-halangan dari hukum gereja bisa diberi dispensasi oleh kuasa yang berwewenang dalam gereja.


‎2. Ketika Hukum Gereja berbicara tentang kasus perselingkuhan (lih. Kasus teman kita).

Tak dapat dipungkiri bahwa soal anak masih dipandang sebagai unsure penting dalam perkawinan dalam agama dan budaya apa saja, bahkan dalam budaya-budaya tertentu (ingat penjelasan Bpk. Titus), anak menjadi ukuran berhasil tidaknya sebuah ikatan perkawinan, sehingga perkawinan diceraikan atau tidaknya sangat tergantung pada adanya anak atau tidak.

Sebelum mengatakan dengan jelas apakah dalam kasus teman kita di atas, perselingkuhan dibenarkan atau tidak, sehingga perceraian bisa dilaksanakan demi masa depan si mungil, maka alangkah baiknya bila saya memposting kembali apa yang telah disebutkan oleh beberapa teman dalam tanggapannya sehingga pembaca bisa menarik kesimpulan sendiri tentang kasusnya. Kanon 1055 memberikan sebuah definisi yang indah tentang perkawinan katolik, sebagai berikut: “Perjanjian perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.”

Dari definisi tersebut, gereja kemudian merumuskan apa yang kita sebauh sebagai Tujuan dan sifat dasar perkawinan katolik, yakni:

• Kesejahteraan suami-istri dan sikap saling membahagiakan. Hal ini berarti kebahagiaan hendaknya menjadi usaha dan kerja keras kedua belah pihak, dan tidak menjadi tanggung jawab seorang saja.

• Terarah pada keturunan. Pasangan yang menikah harus terbuka pada kelahiran anak bila dari perkawinan itu adanya kemungkinan untuk mendapatkan anak. (karena itu aborsi ditentang oleh Gereja karena maksud ini. Ingat diskusi kita beberapa hari lalu). Meskipun demikian anak adalah anugerah Tuhan, sehingga tidak adannya anak tidak menjadi alasan untuk menceraikan pasangan atau mengizinkan adanya perselingkuhan.

• Perzinaan dan penyimpangan seksual adalah dosa (namun tidak bisa menjadi dasar bagi sebuah perceraian). Perkawinan dimaksud kan juga sebagai sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzinaan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup.

Sebuah catatan PENTING: Gereja Katolik tidak melihat/mempertimbangkan kemandulan, baik salah satu maupun kedua pasangan, menjadi alasan terjadinya perceraian,( kemandulan tidak membatalkan perkawinan), DAN TIDAK MENJADI ALASAN UNTUK MENINGGALKAN PASANGAN KEMUDIAN MENCARI PASANGAN LAIN (Berselingkuh), hanya untuk mendapatkan anak dengan cara menikah dengan wanita lain.

Dengan demikian maka kasus teman kita di atas (Perselingkuhan demi untuk mendapatkan anak) TIDAK BISA MENJADI ALASAN PERCERAIAN. Hal yang masih harus dipikirkan adalah apa yang akan dibahas dalam nomor terakhir, yakni: “BAGAIMANA DENGAN NASIB MEREKA YANG TERLIBAT DALAM KASUS ITU, TERUTAMA HAK-HAK SI MUNGIL?



‎3. Cinta Kasih Pastoral Gereja sebagai ibu yang baik

Dalam kasus seperti ini, Gereja tetap memaikan peranan pastoral karitatifnya baik kepada mereka yang menjadi korban langsung maupun tidak langsung, dan juga yang melakukan tindakan seperti itu.

3.1. Terhadap Laki-laki dan Perempuan (baik sang istri sah maupun wanita selingkuhan)

Gereja sebagai seorang ibu tetap harus menampakkan sifat tegas dalam perumusan hukum tapi lembut dalam penerapannya terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kasus seperti ini, yakni mencontohi apa yang pernah dibuat oleh Yesus selama hidup-Nya. Ia sangat menghormati hukum, namun ketika berhadapan dengan kepentingan manusia, maka hukum harus member ruang bagi penghormatan terhadap martabat manusia itu sendiri.

Sikap Yesus sangat jelas di mana Ia selalu berpihak kepada yang berdosa. Ia sendiri berkata: “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.” (Luk.5:32). Contoh paling bagus adalah ketika para Farisi membawa kepada-Nya seorang wanita yang kedapatan berzinah (“KASIHAN SI WANITA ITU KAN? Karena SI PRIANYA BEBAS UNTUK MELAKUKAN LAGI KEPADA WANITA LAIN? ITULAH SISI KEKAKUAN DARI PARA PENEGAK HUKUM, TERUTAMA DALAM PENERAPANNYA”), Yesus mengatakan kepadanya setelah tidak ada seorangpun berani melemparinya dengan batu, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yoh.8:11).


‎3.2. Terhadap Si Mungil

Dalam rasa pastoral seperti inilah kiranya gereja (para petugas pastoralnya, baik umat maupun romo) menawarkan cinta kasih kepada kedua pelaku perbuatan selingkuh. Efek selingkuh sendiri telah mencederai pernikahan suci, dan selanjutnya menempatkan si mungil pada situasi yang sulit, yang tentunya ia sendiri tidak kehendaki berada di sana. Dulu, gereja sangat ketat dalam kasus-kasus seperti ini, seperti yang telah dijelaskan oleh Bpk. Titus dengan menggunakan istilah “ANAK HARAM” (Kasihan si mungil kan? Seharusnya yang haram itu adalah perbuatan laki-laki dan perempuan yang tidak bisa kontrol diri dan nafsu, dan bila perlu kedua pelaku itu adalah haram, dan bukannya si mungil. Ini hanya komentar nakalku saja). Efeknya, anak tidak bisa menerima hak penuh sebagai anggota gereja, bahkan dalam penerapan hukum lama, anak seperti ini tidak bisa masuk biara atau ditahbiskan menjadi romo. (Wow…apa bedanya dengan penerapan hukum sipil ala Suharto terhadap para mantan PKI?). Seiring dengan angin segar Roh Kudus yang berhembus keras sejak Konsili Vatikan II, maka pernyataan-pernyataan Gereja yang keras dan ekslusif mulai diubah (walaupun pada hakekatnya masih ada), seperti; “Di luar Gereja tidak ada keselamatan” atau “Orang Kristen Anonim” atau pun juga batasan-batasan yang diperlakukan terhadap anak-anak tidak berdosa seperti dalam kasus kita ini, mulai dirombak seperti kata-kata Yesus hari ini kepada orang-orang Farisi; “Rombaklah bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.”(Yoh.2:13-22).

Dalam konteks kasus kita, Gereja tidak bisa mencampuri urusannya sampai ke soal penanganan menurut hukum sipil atau adat yang berlaku. Dalam kasus seperti ini, Gereja hanya mengambil bagian dari sisi pastoralnya berupa nasehat dan himbauan untuk tetap mempertahankan keluhuran martabat pernikahan suci (karena memang perselingkuhan tidak bisa menjadi alasan pembatalan nikah/”perceraian”). Segala sesuatu tentang nasib si mungil (pembiayaan hidupnya) menjadi tanggung jawab si mama dan papa, atau bahkan hanya sepihak saja, dan ini semuanya di atur oleh hukum sipil dan adat yang berlaku tanpa intervensi dari pihak gereja. CAMPUR TANGAN GEREJA AKAN MENJADI LAIN KETIKA YANG TERLIBAT DALAM KASUS-KASUS SEPERTI ITU ADALAH PARA ROMO, maka ada kewajiban dari pihak Gereja Keuskupan/Tarekat untuk terlibat langsung dalam kehidupan dan kebahagiaan si mungil sampai batas waktu tertentu. Sedikit menyimpang tapi hanya mau menyebutkan saja untuk menjadi perhatian dan bahan permenungan kita sekalian sebagai anggota Gereja Katolik, baik oleh umat maupun para romo sendiri, bahwa gereja Katolik saat ini diguncang oleh skandal2 seksual para romo, baik sodomi, sexual abuse, kasus dengan para wanita, dll…dan tentunya ini membutuhkan biaya besar dari pihak gereja untuk membayar sesuai dengan tuntutan pengadilan karena permintaan para korban. Dulu, umat diam menerima, tapi sekarang, keadilan dan penghormatan terhadap hak dan martabat pribadi sedang ditegakkan maka para romo pun bisa dibawa ke pengadilan, dan bahkan menjadi penghuni penjara. Semoga menjadi peringatan untuk kita semua, untuk selalu menjaga keluhuran martabat imamat kita, tetapi juga umat mendukung dan turut menjaga imamat para romo di tempat di mana mereka berada dan bertugas.

3.3. Sebuah Permenungan

Semoga penjelasan panjang yang telah disajikan ini, memberikan tambahan pengetahuan kepada jiwa muda sekalian, tetapi juga menjadi bahan refleksi dan permenungan demi meningkatkan iman kita, dan salah satunya adalah ketika jiwa muda saling menghormati pasanganmu nanti ketika bahtera keluarga telah didayung ke tepian, sama seperti pesta “Persembahan Basilika Lateran” hari ini. Gereja bagai bahtera mengarungi zaman. Ya, pernikahan pun adalah sebuah bahtera yang dihantam ombak dan gelombang setiap saat, karena itu kepasrahan kepada Allah, serta kerelaan untuk mengundang-Nya masuk dan tinggal di rumah/bahtera kita, kiranya menyucikan hati dan jiwa para pasangan, serta menjadikannya tempat bersemayam Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar