Senin, 18 Juli 2011

KITAB SUCI SEBAGAI SUMBER TEOLOGI MORAL

Coff Fransiscko Uweubun
Teologi Moral adalah sebuah teologi. Seperti ilmu teologi pada umumnya, teologi moral menimba pengetahuannya dari dua sumber: iman dan akal budi, fides et ratio (Data Pewahyuan dan kemampuan berfikir manusia). Dalam pendahuluan saya sudah menjelaskan perbedaan antara Teologi Moral dan Etika. Yang membedakan Teologi Moral dan Etika ialah karena Teologi Moral menggunakan juga data pewahyuan dari Kitab Suci serta penafsiran terhadap Kitab Suci tersebut oleh Gereja yakni dalam Tradisi Apostolik dan Magisterium. Sumber akal budi membuat Teologi Moral berdialog juga dengan pendapat masyarakat manusia sepanjang sejarahnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sumber teologi moral ialah: Kitab Suci, Tradisi Apostolik, ajaran Magisterium Gereja, Suara Kaum beriman (sensus fidelium) dan Pandangan Masyarakat yang terus berkembang. Sedangkan Etika adalah cabang dari ilmu filsafat di mana dengan kemampuan rasionya manusia mencari kebenaran tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia (human actions).

1. Teologi Moral dan Kitab Suci
Judul ini memberikan kesan bahwa hubungan antara Kitab Suci dan Teologi Moral agak longgar. Dengan sengaja kesan itu ditonjolkan untuk menunjukkan bahwa Kitab Suci menjadi sumber Teologi Moral bukan secara "ready for used" (siap pakai), melainkan dengan pengertian dan metode tertentu. Gereja Katolik memakai Kitab Suci bukan secara harafiah, melainkan  secara rohaniah. Kitab Suci adalah Sabda Allah yang ditulis oleh para pengarang dengan penerangan Roh Kudus. Kitab Suci sebagai buku tertulis bisa didekati, misalnya, dengan kaca mata iman atau bisa dianggap sebagai buku yang memberi informasi tertentu tentang masa lampau. Kitab Suci bisa dianggap juga sebagai sebuah karya sastra yang ditulis oleh pelbagai macam pengarang yang mencerminkan juga suatu pandangan hidup komunitas-komunitas beriman yang menjadi tempat munculnya maha karya sastra yang disebut Alkitab itu. Dalam bagian ini akan diberikan beberapa uraian tentang hubungan antara Teologi Moral dan Kitab Suci, atau lebih tepat, bagaimana seharusnya Teologi Moral menggunakan Kitab Suci.

1.1. Teologi Moral Menimba Inspirasi dari Kitab Suci
Teologi Moral (TM) perlu menimba inspirasi dari Kitab Suci (KS) karena Teologi Moral adalah ilmu teologi. Per definitionem atau menurut arti kata “ilmu teologi” itu sendiri, maka ilmu itu  harus bersumber pada Wahyu Ilahi. Teologi Moral mengandaikan bahwa Kitab Suci berisi tentang kebenaran-kebenaran yang diwahyukan. TM mengandaikan bahwa visi tentang manusia dan dunia dalam KS dan informasi biblik tentang Yesus dari Nasaret yang adalah pewahyuan diri Allah adalah kebenaran wahyu. Pengandaian itu diterima oleh TM dari keterangan ilmu-ilmu teologi lain, misalnya eksegese atau teologi dogmatik. Bukan tugas TM untuk "membuktikan" atau memberikan keterangan lengkap tentang pengandaian tersebut. Kebenaran data wahyu dalam KS dipaparkan dalam ilmu tafsir KS. Sedangkan Teologi Dogmatik membuat sistimatisasi data-data Wahyu sehingga dapat dipahami secara lebih jelas oleh orang beriman. Maka Teologi Dogmatik sering disebut juga Teolgi Sistimatika, dengan nama-nama yang sudah dikenal secara baku misalnya: Teologi Rahmat, Teologi Penciptaan, Kristologi, Teologi Allah Tritunggal, Pneumatologi, Ekklesiologi, Mariologi, Misiologi, dan Eskatologi. Sedangkan TM menerima kebenaran Wahyu yang ditafsirkan oleh ahli KS dan kebenaran iman yang dipaparkan oleh ahli dogmatik. Berikut ini kita akan membahas cara TM menggunakan KS.

1.2. Cara Kitab Suci dipakai sebagai sumber TM
Kalau secara prinsip  diterima bahwa TM harus bersumber pada KS, maka dapat dipertanyakan bagaimana KS itu harus dipakai. Ada beberapa cara di mana KS bisa dipergunakan sebagai sumber TM. Namun cara-cara itu hanya berupa kemungkinan yang bisa dilakukan dan tiap kemungkinan itu memiliki bobot yang tidak sama. Kita perlu memilih cara yang paling tepat bagaimana TM seharusnya menggunakan KS.

1.2.1. Sebagai sumber informasi historik saja.
KS memuat data sejarah tentang masa lampu. Dari sudut TM, KS memberi informasi pula tentang "mores" (adat kebiasaan baik, norma hidup) umat Israel PL dan umat pada zaman Yesus serta para rasul. Informasi itu berguna untuk mengetahui sejarah masa lampu (PL dan PB) dan membandingkannya dengan masa kini, apa kesamaannya dan apa pula perbedaannya. Mores (kebiasaan baik) yang disebutkan di dalam KS, baik PL maupun PB menjadi sumber informasi berharga bagi kita sekarang ini yang memiliki mores (kebiasaan baik) yang berbeda sesuai dengan keadaan masyarakat. Cara memakai KS seperti ini hanya mengangggap KS sebagai buku sejarah. Nasehat moral yang diberikan dalam KS dianggap sebagai salah satu cara untuk menentukan perbuatan baik atau buruk dalam masyarakat manusia yang berbeda-beda menurut tempat dan waktu. Ajaran moral yang termuat di dalam KS kita anggap sebagai bahan perbandingan atau suatu masukan berharga. Namun ajaran itu tidak mengikat kita dan tidak berlaku sebagai landasan ajaran moral kita sekarang.

1.2.2. Sebagai argumen penguat saja (argumentum confermationis)
Kriteria tentang baik atau buruk dan benar atau salah bisa ditemukan oleh rasio manusiawi, tanpa perlu bantuan KS. Pikiran manusia sendiri bisa sampai pada kesimpulan tentang apa yang baik atau buruk bagi manusia. Ilmu Etika membuktikan hal itu. Melalui refleksi filosofis tentang perbuatan manusia, maka dengan akal budinya sendiri manusia dapat mengetahui perbuatan yang baik dan benar. Pengetahuan Etika itu kemudian menuntun manusia mendapatkan kepastian tentang kebenaran dan kebaikan perbuatannya. Tetapi kemudian hasil pemikiran manusia itu diperkuat lagi dengan data-data KS. KS dipakai bukan lagi sebagai buku sejarah, melainkan dipakai sebagai buku Wahyu. Namun wahyu itu dipakai bukan sebagai sumber, melainkan sebagai pendukung pendapat yang sudah ditemukan oleh manusia sendiri. Ayat-ayat KS dicari dan dipilih untuk memberikan konfirmasi bahwa pendapat yang sudah diputuskan oleh pikiran manusia sendiri itu memang sesuai juga dengan Firman Allah. Supaya pendapat manusia lebih meyakinkan, maka perlu dukungan dari Firman Allah. Namun sebenarnya tanpa dukungan KS pun pendapat manusia itu sudah sampai pada kebenaran secara otonom.

1.2.3. KS dipakai untuk mencari pesan utama biblik.
Kitab Suci dianggap sebagai buku Wahyu dan dianggap sebagai sumber inspirasi. KS bukan hanya dianggap sebagai pendukung pendapat yang sudah dipikirkan oleh akal budi, melainkan KS dipakai sebagai sumber dalam proses pemikiran rasional. KS dipakai sebagai dasar untuk menentukan kriteria bagi baik atau buruknya perbuatan manusia. Itu berarti bahwa pencarian kriteria baik atau buruk dilakukan dalam cahaya pesan biblik. Nilai-nilai yang diwartakan oleh KS ikut menentukan proses pencarian kriteria baik-buruk perbuatan manusia. Akal budi manusia dipakai untuk mencari kriteria-kriteria tersebut dalam cahaya inspirasi KS. Untuk itu maka penafsiran secara benar terhadap ayat-ayat KS sangat diperlukan. Kalau KS kita anggap sebagai Firman Tuhan yang memberikan tuntutan kepada akal budi manusia untuk menemukan kebenaran, maka persoalannya ialah: bagaimana memahami pesan KS itu secara baik dan benar?

1.2.4. KS dipakai untuk membangun relasi pribadi dengan Kristus
Kitab Suci sebaiknya dipakai sebagai sarana untuk mengenali Yesus Kristus dan atas cara ini seorang beriman Kristen membangun relasi pribadi dengan-Nya. Pengenalan yang baik terhadap Yesus membuat seorang beriman mendapatkan visi dan semangat hidup-Nya dan hidup sesuai dengan visi itu. Dengan demikian maka KS tidak dilihat sebagai huruf-huruf mati, melainkan sebagai Firman Allah yang mewahyukan Yesus Kristus. Cara penggunaan KS ini tidak usah mengesampingkan cara-cara lain. Tekanan utama ialah penggunaan KS sebagai sumber informasi tentang Yesus sendiri, atau lebih tepat, sebagai sumber kesaksian Gereja purba tentang bagaimana mereka menghayati dan mengalami Yesus dari Nasaret, ialah sebagai Penampakan definitif dari Allah yang hendak menyelamatkan bangsa manusia. Kita pada sekarang ini hidup dari keyakinan yang sama, sehingga pengenalan akan Kristus menjadi sangat penting bagi kita, menurut perkataan Paulus, "segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya." (Fil 3:8).
“Dengan menggunakan KS sebagai sarana perjumpaan pribadi dengan Yesus kita tidak hanya menjadikan visi Gereja purba mengenai Yesus dari Nazaret menjadi visi kita dalam tataran pengetahuan saja, melainkan dihasilkan suatu relasi personal dengan Yesus sendiri, dan bukan hanya dengan visi Gereja Purba mengenai Yesus. Dengan demikian kita bukan hanya menerima dan mengambil alih visi Gereja purba begitu saja, melainkan melalui kesaksian mereka di dalam KS, kita berkontak dengan Kristus sendiri baik seperti Dia hidup 2000 tahun lalu, maupun Dia yang hidup sekarang dalam kuasa Roh menjadi daya hidup Gereja dan setiap orang beriman. KS dipergunakan sebagai mediasi antara kita dengan pribadi Yesus Kristus sendiri."

1.3. Kesulitan-kesulitan bila KS dipakai sebagai sumber Teologi Moral
Diandaikan bahwa KS adalah sumber Wahyu Ilahi yang menjadi sarana perjumpaan personal antara orang beriman dan Yesus Kristus. Namun kesulitannya ialah bagaimana KS itu kita tangkap maknanya dalam bahasa kita dan apakah relevansinya bagi keadaan konkret kita. Kitab Suci adalah Firman Allah yang ditulis oleh manusia yang mendapatkan ilham dari Roh Kudus. Namun para penulis KS itu adalah manusia-manusia yang hidup pada zaman tertentu, dalam kebudayaan tertentu, dengan bahasa tertentu. Kenyataan tersebut menimbulkan beberapa kesulitan apabila kita ingin menangkap dengan benar dan tepat pesan Wahyu Tuhan yang tertulis dalam KS.

1.3.1. Kesulitan untuk menentukan arti teks KS
Kalau kita sudah mengandaikan bahwa KS adalah buku Wahyu yang menjadi sumber insipirasi dan sarana pertemuan personal dengan Yesus, maka kita menghadapi kesulitan bagaimana pesan Wahyu itu ditangkap secara benar. Beberapa kesulitan tersebut antara lain:
Pertama, Kitab Suci Kristen ditulis dalam bahsa Ibrani dan Yunani. KS Perjanjian Lama ditulis dalam bahsa Ibrani karena memang ditulis oleh bangsa Israel yang dianggap sebagai Umat Perjanjian. Allah mengadakan perjanjian dengan bangsa Israel untuk menjadi Allah mereka. KS Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani dan Yunani. Bagi orang-orang yang berbahasa Ibrani dan Yunani, maka masalah bahasa tidak menjadi kesulitan. Namun bagi orang-orang Kristen yang berbahasa Latin, dan kemudian bahasa-bahasa Eropa, selanjutnya bahasa-bahasa di seluruh dunia, termasuk orang yang berbahasa Indonesia, maka masalah terjemahan teks KS menjadi kesulitan yang harus diatasi. Pertanyaannya ialah apakah teks terjemahan KS bahasa Indonesia yang kita pakai adalah sesuai dengan arti asli Wahyu Allah yang terdapat dalam bahasa aslinya, yaitu bahsa Ibrani dan Yunani?
Kedua, kalau kita mengandaikan bahwa KS bahasa Indonesia itu sesuai dengan arti dan makna asli dalam bahasa asal KS, maka masih bisa dipertanyakan pula apakah teks dalam bahasa Indonesia, yang bisa pula diterjemahkan secara tidak langsung melalui bahasa perantara, misalnya diterjemahkan dari bahsa Latin atau bahasa Inggris, maka timbul pertanyaan apakah teks KS bahasa Latin dan Inggris itu sesuai dengan teks aslinya dalam KS berbahasa Ibrani dan Yunani? Apakah bisa dipercaya bahwa terjemahan dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain dengan perbedaan waktu dan perkembangan pengertian itu tidak mengubah pesan Wahyu yang asli? Karena para penerjemah KS adalah ahli-ahli KS dan ahli-ahli bahasa yang hidup dalam rentangan waktu yang sangat berbeda. Jelasnya, apakah terjemahan KS dalam bahasa-bahasa lain sampai dengan abad ke-21 ini, termasuk bahasa Indonesia, itu bisa dipercaya sebagai pembawa informasi pesan Wahyu yang asli. Bagaimana kalau selama proses penerjemahan tersebut telah terjadi pergeseran-pergeseran pengertian sehingga arti teks KS yang kita baca dalam bahasa Indonesia itu sebenarnya tidak sesuai lagi dengan isi Firman Allah pada awalnya. Kita mengandaikan saja bahwa kesulitan terjemahan ini bisa diatasi dengan baik. Kita percaya bahwa arti KS dalam bahasa Indonesia adalah Firman Allah seperti yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Allah sendiri.
Ketiga, sekarang kita sudah mengandaikan bahwa KS bahasa Indonesia adalah sesuai dengan Firman Allah yang asli. Kita percaya kepada para ahli KS yang telah memilih kata dan kalimat setepat-tepatnya untuk menerjemahkan pesan Wahyu Allah itu ke dalam bahasa kita. Teologi Moral menerima saja sumbangan besar dari para akhli KS tersebut. Teologi Moral berangkat dari pengandaian bahwa KS yang digunakan sebagai sumber ilmu teologi moral adalah benar-benar berisi tentang kebenaran iman yang diturunkan sebagai Wahyu Allah. Namun demikian, masih ada kesulitan lain lagi.
Keempat, apakah pesan Wahyu Ilahi  yang sudah diterjemahkan dengan baik dari bahasa aslinya ke dalam bahsa Indonesia itu memang sesuai dengan fakta historis.  Maksudnya, apakah  yang tertulis di dalam KS itu memang sungguh-sungguh pernah terjadi secara semikian. Misalnya, kisah tentang penciptaan langit dan bumi, kisah tentang bapa Abraham, Musa, Nabi Elia, Nabi Yesaya; dan dalam PB cerita tentang perbuatan dan kata-kata Yesus, kisah dan pengajaran St. Paulus dan seterusnya itu apakah memang sungguh-sungguh terjadi secara historis? Sebagai contoh misalnya tentang sabda dan perbuatan Yesus itu, apakah memang sungguh-sungguh diucapkan oleh mulut Yesus dan dikerjakan oleh tangan-Nya sendiri atau hanya dikarang oleh para penulis Injil bersumber dari tradisi Gereja Purba? Jadi ada masalah tentang ipsissima verba et facta Jesu (kata dan perbuatan Jesus sendiri) dan bagaimana kata dan perbuatan Yesus itu diingat dan ditafsirkan oleh para penginjil menjadi tugas kritik historik dalam penafsiran KS. Kita menerima saja bahwa pesan KS adalah autentik dalam arti bisa dipertanggungjawabkan bahwa KS memang menyampaikan fakta historik dan bahwa Sabda dan perbuatan Yesus adalah sungguh-sungguh diucapkan dan dilakukan oleh Yesus sendiri.
Kelima, setelah kita menerima keaslian KS sebagai pesan autentik dari Sabda dan Perbuatan Yesus, maka pertanyaan terakhir ialah: apakah yang dikatakan oleh Yesus itu benar? Dan apakah yang diperbuat oleh Yesus itu juga benar? Pertanyaan ini bisa dipertanyakan lagi: apa yang dimaksud dengan "benar" itu. Pun di sini Teologi Moral mengandaikan bahwa Sabda Yesus adalah benar. Misalnya kalau Yesus mengatakan bahwa Allah adalah Bapa atau Ia akan mengutus Roh Kudus atau di rumah Bapaku ada banyak tempat tinggal, atau Aku dan Bapa adalah Satu. Maka kita percaya bahwa memang demikianlah adanya. Itulah arti pewahyuan. Kita menerima informasi dari pihak Allah dan kita menjadi tahu bahwa: Allah adalah Tri Tunggal, bahwa ada Roh Kudus dan seterusnya. Kepercayaan kita ini kita dasarkan saja pada kata-kata Yesus sendiri:  “Percayalah kepada Allah dan percayalah juga kepadaKu. Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. ...”(Yoh. 14: 1-2). Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaanNya." ( Yoh.14:2;10).

1.3.2. Kesulitan untuk menentukan relevansi teks KS bagi situasi zaman yang berbeda.
Kesulitan ini muncul dari kenyataan bahwa KS adalah Wahyu Allah dalam bahasa manusia yang “dibungkus” dalam budaya tertentu dan pada kurun waktu tertentu. Gereja mengajarkan bahwa pewahyuan resmi dan umum yang perlu bagi keselamatan bangsa manusia sudah lengkap dalam KS PB. KS sebagai pewahyuan Allah yang lengkap itu disampaikan dalam bahasa tertentu dan berisi persoalan-persoalan kehidupan yang nyata, termasuk masalah moral konkret yang hanya tersedia pada zaman itu. Persoalan-persoalan moral yang termuat di dalam KS terbatas pada realitas kehidupan manusia pada saat KS itu ditulis. Memang ada teks-teks KS yang berisi prinsip-prinsip dasar moralitas seperti misalnya yang termuat di dalam Khotbah di Bukit dalam Mat. Pasal 5 – 7. Namun persoalan moral lain yang dihadapi berkaitan dengan soal makan daging persembahan, perlukah orang disunat untuk masuk kristen, dan persoalan-persoalan lain yang masih sangat sederhana dibandingkan dengan persoalan moral yang muncul pada zaman kita.
Kita sekarang ini menghadapi banyak persoalan moral yang belum ada modelnya dan belum disebut di dalam KS. Kalau persoalan moral sekarang disebutkan di dalam KS justeru akan sangat aneh dan bercorak anakronistis. Misalnya masalah penggunaan alat-alat kontrasepsi, persoalan bayi tabung, masalah bank sperma dan donor sperma/sel telur, masalah diagnosa prenatal yang mengarah pada selective abortion, penggunaan kondom untuk mencegah penularan virus HIV, masalah kloning, masalah eutanasia,  masalah senjata nuklir dan krisis energi dan seterusnya. Kita bisa mengajukan pertanyaan: bagaimana kita dapat menggunakan ayat-ayat KS untuk menuntun kita supaya bisa memecahkan persoalan-persoalan itu? Menghadapi masalah-masalah baru yang pemecahannya tidak bisa kita temukan dalam KS, membuat kita bertanya tentang relevasi KS bagi konteks historik yang berbeda, misalnya untuk zaman kita ini.
Orang-orang beragama memiliki sikap dan cara yang berbeda-beda dalam menggunakan KS. Secara umum KS bisa digunakan atas tiga cara berikut ini.

1.3.2.1.  Pandangan Fundamentalisme
Pendapat ini melihat KS sebagai Firman Allah yang secara harafiah harus diterima, ditaati dan dilaksanakan. Pendapat fundamentalisme ini sangat menekankan bahkan memutlakkan relevansi KS bagi setiap zaman dan situasi. Apa saja yang tertulis dalam KS tetap relevan karena merupakan Sabda Allah untuk seluruh bangsa manusia. KS memuat semua persoalan manusia sampai pada akhir zaman. Apa saja yang diwahyukan Allah dalam KS tidak boleh diabaikan sedikitpun. Pendapat ini mendasarkan diri pada Mat.5:18: "Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sebelum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi." Dalam setiap agama terdapat kelompok-kelompok fundamentalis yang menganggap Alkitab sebagai satu-satunya buku kebenaran yang harus menuntun tingkah laku manusia dalam seluruh bidang kehidupan. KS adalah Buku Suci yang memuat Firman Allah dengan segala kebenaran-Nya yang harus ditaati.

1.3.2.2. Pendapat Liberal
Pendapat liberal menolak relevansi KS bagi semua masalah baru dalam koteks sejarah yang terus berubah. Setiap zaman mempunyai persoalannya sendiri yang harus dipecahkan sesuai dengan zaman itu. KS memang berisi tentang ajaran yang luhur, tetapi tidak relevan untuk setiap zaman. KS boleh dipandang sebagai harta pusaka yang sangat berharga, dibaca dan digakumi sebagai warisan sejarah yang bernilai tinggi, namun tidak ada sangkut pautnya lagi dengan kehidupan kokret manusia zaman ini yang bahkan tidak terbayangkan oleh para penulis KS itu sendiri. Konteks pesan KS banyak disampaikan melalui visi dunia tertentu atau suatu kosmologi “primitif” yang sudah ketinggalan zaman kalau dibandingkan dengan visi kosmologi modern manusia zaman sekarang. Jadi, KS tidak releven lagi untuk menjadi sumber ilmu moral pada zaman modern ini.

1.3.2.3. Pendapat yang seimbang
Persoalan relevansi KS memang sangat penting. Dari satu pihak harus diakui bahwa KS mempunyai "keterbatasan-keterbatasan" tertentu. Banyak contoh penyelesaian masalah dalam KS tidak bisa dipakai lagi. Misalnya soal perbudakan yang dihadapi Paulus dalam I Kor. 7,20-24,31. Paulus menerima praktek perbudakan, hal yang dalam zaman modern ini dikecam dengan keras bahkan oleh orang atheis. Itu berarti bahwa tidak semua yang tertulis dalam KS harus diterima secara harafiah. Pendapat fundamentalisme tidak bisa diterima. Dari lain pihak pendapat liberal juga tidak bisa diterima. Adalah tidak bijaksana menolak relevansi seluruh KS hanya karena ada beberapa atau banyak hal yang tidak sesuai dengan zaman kita. Memang ada hal-hal dalam KS yang tidak relevan lain, namun tidak semua.
Pendapat yang seimbang ini mau membela relevasi KS dengan sikap realistis terhadap KS itu sendiri. Cara yang ditempuh ialah dengan membedakan pesan dasar dari bukusnya. Pesan dasar KS adalah satu hal dan bungkusnya dalam bahasa dan kebudayaan tertentu adalah hal lain. Bungkusnya mungkin tidak relevan lagi. Tetapi isinya tetap relevan bahkan kita harus mempercayainya sebagai Sabda Tuhan. Isi pesan dasar ini misalnya: pandangan KS tentang dunia dan manusia. Pandangan KS tentang arti hidup manusia, tentang kebebasan dan kedosaan manusia, tentang kebahagiaan, tentang makna pengorbanan, penderitaan dan kematian. Pandangan KS tentang iman, pengharapan dan cinta kasih. Itu semua tetap relevan bagi setiap manusia dan bisa diterapkan dalam konteks zaman yang berbeda-beda.

1.4. Kesulitan pembacaan selektif dan penafsiran subyektif.
KS sebagai buku Wahyu perlu dibaca dan dipahami secara menyeluruh. Dalam pembacaan KS kita mengenal apa yang disebut "analogi iman" artinya kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam pelbagai tempat dalam KS itu memiliki relasi, saling melengkapi dan saling mendukung demi pemahaman yang lebih baik akan Wahyu Allah. Wahyu Allah adalah Allah yang mewahyukan diri. Allah berbicara tentang diri-Nya sendiri. Dan kebenaran Wahyu itu ialah Allah sendiri. Maka kebenaran itu satu saja, utuh, menyeluruh, dan lengkap.
Kesulitan muncul karena pewahyuan itu harus dimengerti oleh manusia yang memiliki daya penangkapan terbatas. Kita memahami isi pewahyuan itu sedikit demi sedikit. Pembacaan selektif dan pengertian subyektif terhadap KS tidak bisa dihindarkan. Setiap orang akan memilih teks-teks KS sesuai dengan kepentingannya atau situasi hidupnya. Setiap orang akan menafsirkan ayat-ayat KS sesuai dengan kemampuannya.
Kalau Teologi Moral mau memakai KS sebagai sumbernya, maka KS akan dipakai dengan kemungkinan bahaya selektivitas dan subyektivitas ini. Maka pentinglah disadari bahwa setiap penafsiran KS bercorak selektif dan subyektif. Kesadaran ini sangat penting agar seorang teolog menyadari keterbatasannya dan tidak menganggap bahwa penafsirannya itu adalah satu-satunya penjelasan yang paling benar tentang ayat-ayat KS. Kesadaran akan bahaya penafsiran yang selektif dan subyektif itu perlu diimbangi dengan usaha yang serius dan jujur agar penafsiran terhadap ayat-ayat KS bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk kalau penafsiran itu dilakukan oleh Magisterium Gereja yang memiliki kuasa di bidang pengajaran iman dan moral bagi umat beriman. Pada saatnya tema tentang Magisterium Gereja juga akan dibahas dalam bagian yang menyusul.

1.5. Enam Model penggunaan KS menurut  William C. Spohn, SJ
Apa kata seorang teolog tentang KS? Bila Teologi dan Teologi Moral akan menggunakan KS sebagai sumbernya, maka pertanyaannya ialah bagaimana KS itu dipakai atau ditafsirkan. Menurut William C. Sphom, SJ, ada enam cara menggunakan KS sebagai sumber teologi moral yang dikumpukan dari pelbagai posisi teologis. Enam model ini bukan pertanda kekacauan, melainkan kekayaan KS itu sendiri. Karena meyakini bahwa empat Injil adalah lebih baik dari pada satu Injil saja, maka Gereja Perdana sejak semula menghargai pluralisme bahkan di dalam dokumen utama iman Kristen itu. Berdasarkan pluralisme itu, maka enam paradigma penggunaan KS berikut ini juga dilihat sebagai model-model yang saling melengkapi seperti halnya keempat Injil juga saling melengkapi.

1.5.1. Paradigma “Perintah Allah” (The Command of God)
Salah satu pertanyaan moral dasar ialah “Apa yang harus saya lakukan supaya menjadi orang baik secara moral?”  (What ought I to do?).  Bila KS dipakai sebagai dasar Teologi Moral, maka jawaban atas pertanyaan itu ialah: “Dengarkanlah perintah Tuhan yang secara pribadi menyapa engkau di dalam KS, dan lakukanlah perintah itu dengan iman yang teguh!” Model penggunaan KS ini berfokus pada perikop-perikop tentang panggilan Tuhan kepada setiap orang dan bagaimana orang itu menjawab panggilan tersebut. Ada begitu banyak kisah panggilan Tuhan secara pribadi kepada individu atau kelompok bangsa manusia. Contohnya dalam PL, panggilan Bapa Abraham, Musa, Nabi Elia dan Elisa, Raja Daud dan Salomo; juga panggilan umat Israel, panggilan suku Lewi, panggilan pertobatan kepada orang Ninive dan seterusnya. Demikian pula dalam PB Yesus memanggil para rasul, para murid dan orang-orang yang percaya kepada-Nya. Tuhan memanggil setiap orang dari suku, bangsa dan bahasa dalam setiap zaman. Mereka semua harus menjawab panggilan Tuhan itu dengan iman mereka.
Namun kelemahan dari pendekatan ini ialah bahwa perintah Tuhan di dalam KS itu tidak diberikan secara konkret, melainkan secara umum. Perintah-perintah yang konkret pun seperti misalnya Sepuluh Perintah Allah adalah merupakan pedoman umum bagi setiap individu dalam situasinya yang nyata. Sepuluh Perintah Allah pun paling-paling hanya merupakan rambu-rambu yang memberikan arah dan memberikan batasan tentang pola tingkah laku yang berkenan pada Allah. Perintah Tuhan itu bagaikan garis putih marka jalan yang berfungsi sebagai pengatur lalu lintas supaya para pengguna jalan tidak saling bertabrakan, namun yang tidak mengajari para pengemudi bagaimana caranya mengemudi dengan benar di jalan raya.
Masalahnya ialah bagaimana kita dapat mengetahui kehendak Tuhan di dalam KS itu? Disposisi batin yang bagaimanakah yang membuat kita mampu menangkap kehendak Tuhan bagi situasi hidupku kini dan di sini? Pengalaman rohani yang seperti apakah yang membuat seorang beriman dapat melihat kewajibannya sebagai perintah yang datang dari Tuhan sendiri? Dalam hal ini kiranya kita perlu meneladan Yesus Kristus sendiri tentang bagaimana Ia melihat hidup-Nya sebagai panggilan untuk malaksanakan Perintah Bapa-Nya. Kita perlu memiliki semangat kebebasan anak-anak Allah yang merasakan sukacita menjadi murid Yesus untuk melaksanakan kehendak Bapa.

1.5.2. Paradigma  “Pengingat Moral” (Moral Reminder)
Paradigma ini diusung oleh para moralis modern yang memiliki pandangan tertentu tentang hukum kodrati Etika Kristiani. Pertanyaan moral dasar, “apakah yang harus saya perbuat?” atau “Perbuatan baik apakah yang harus saya lakukan?” harus dijawab dengan menegaskan: I must be human! (Saya harus menjadi manusiawi). Alasannya karena Putera Allah sendiri telah memeluk kemanusiaan saya dalam misteri inkarnasi. KS mengandaikan bahwa manusia sendiri sudah bisa membedakan dengan akal budinya antara hal yang baik dari yang jahat. Kehendak Tuhan sudah diukir di dalam kodrat manusia, terlebih di dalam kemampuan rasionya, sehingga manusia mampu menangkap kehendak Tuhan melalui hukum-hukum moral yang terdapat di dalam masyarakat manusia. Seperti St. Thomas Aquinas juga mengajarkan bahwa Hukum Kristus itu pertama-tama adalah anugerah Roh Kudus yang dicurahkan di dalam hati manusia, dan yang kedua barulah yang tertulis di dalam Kitab Suci. Ajaran moral Yesus Kristus tidak membawa informasi baru tentang apa artinya menjadi manusia yang manusawi, melainkan memberikan motivasi baru tentang bagaimana menjadi manusia yang manusiawi itu. Motivasi baru itu adalah semangat Kristus atau karunia Roh Kudus yang memampukan orang kristiani menghidupi moralitas secara lebih bebas, gembira dan spontan; tidak lagi sebagai beban melaksanakan peraturan.
Menurut para moralis modern ini, ajaran moral KS juga tidak memuat ajaran yang khas kristiani, melainkan yang umum untuk semua manusia. Memang ada orang yang berusaha untuk menekankan ciri khas moral kristiani (proprium christianum) yang berbeda dari moral umum (humanum). Misalnya ditunjuk perintah Yesus untuk mengasihi musuh. Mereka berpendapat bahwa moral umum tidak akan mengajarkan untuk mencintai musuh. Paling maksimal moral umum akan menghormati musuh demi kemanusiaan. Namun Josef Fuchs, dosen Teologi Moral di Universitas Gregoriana, Roma, berpendapat bahwa mencintai musuh juga adalah bagian dari moral umum. Jika tidak demikian, maka harus disimpulkan bahwa untuk orang non-kristiani diizinkan untuk membenci musuh. Kenyataannya orang non-kristenpun tentu tidak dibenarkan untuk membeci musuh. Maka ternyata KS berfungsi bukan untuk menunjukkan perintah-perintah moral yang baru dan khas kristiani, melainkan hanya untuk mengingatkan (moral reminder) perintah-perintah moral umum yang berlaku untuk umat manusia. Yang baru ialah orientasi dan motivasi perbuatan moral didasarkan pada pertobatan hati yang radikal di dalam Yesus Kristus.



1.5.3. Paradigma Panggilan Menuju Kebebasan (Call to Liberation).
KS dipakai sebagai sumber ilmu moral untuk mendapatkan landasan bagi perjuangan pembebasan manusia. KS berisi berita gembira tentang pembebasan manusia dari kuasa dosa. KS berisi kisah-kisah tentang tindakan pembebasan yang dilakukan oleh Allah kepada umat-Nya. Dalam PL diceritakan peristiwa pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Allah menuntun umat-Nya melalui para Nabi dan para Pemimpin untuk menganugerahkan kebebasan hidup yang penuh martabat sebagai umat Allah. Kemudian Allah memberikan tanah Kanaan dan bangsa Israel menjadi bangsa yang besar di bawah pemerintahan Raja Daud dan Salomo. Ketika Israel sudah mencapai kejaannya di bawah pemerintahan para rajanya, Tuhan kemudian membebaskan mereka dari faham yang terlalu duniawi terhadap keselamatan. Maka segala simbol kejayaan duniawi itu dirobohkan dan Umat Israel dibawa ke pembuangan Babilon. Apa yang terjadi di dalam periode pembuangan itu? Di sana tampillah periode Kenabian di Israel di mana para Nabi diutus oleh Allah untuk mewartakan pembebasan bagi umat-Nya. Namun ternyata isi warta pembebasan para Nabi itu tidak terbatas pada janji bahwa bangsa Israel akan dibebaskan dari pembuangan, melainkan sampai kepada ramalan janji kedatangan Juru Selamat. Terlebih dalam Nabi Yesaya yang menubuatkan anak dara akan mengandung (Yes. 7: 10-14) dan Nabi Mikha yang menunjuk Betlehem di Efrata bukanlah tempat tekecil di Yehuda (Mi. 5: 1).
Ketika Yesus benar-benar hadir di dunia ini, Ia menjadi tanda hadirnya Kerajaan Allah melalui khotbah dan perbuatan-Nya. Ia mewartakan bahwa waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat dan kita harus percaya kepada Injil (Mrk. 1: 15). Dalam tindakannya Yesus membebaskan manusia dari pelbagai macam belenggu. Yang pokok ialah belenggu dosa yang disimbolkan dalam bentuk pelbagai macam penyakit; dan belenggu kuasa kegelapan yang dilambangkan dalam bentuk kerasukan setan. Jadi, ketika Yesus menyembuhkan penyakit dan mengusir setan, maka Yesus membebaskan manusia dari belenggu dosa dan kuasa kejahatan. Yesus mengampuni dosa dan mengusir setan. Para pejuang teologi pembebasan memakai teks-teks KS itu sebagai paradigma pembebasan umat manusia. KS dianggap sebagai sumber norma yang memberikan peneguhan bahwa perjuangan pembebasan manusia dari pelbagai macam belenggu itu adalah inti pesan KS. Teologi Pembebasan ingin mewujudkan pesan KS sebagai daya transformatif di dalam masyarakat yang dapat membawa keadaan yang lebih baik di dunia ini.

1.5.4. Paradigma “Menjawab Pewahyuan” (Response to Revelation)
KS dipakai untuk mencari tahu “apakah yang Tuhan sedang kerjakan dalam hidup saya?” (What is God doing in my life?). Pertanyaan itu diajukan telebih dahulu dan dicari jawabannya di dalam KS dan baru kemudian orang bisa bertanya “Perbuatan baik apa yang harus saya lakukan?” Pendekatan terhadap KS model ini mengandaikan bawah Tuhan terlibat di dalam sejarah kehidupan setiap orang. Tuhan memang tidak mengarahkan segala peristiwa dalam arti predestinasi atau sudah ditakdirkan terlebih dahulu, melainkan secara lebih kompleks Tuhan memberikan, menciptakan, menebus dan mengadili setiap orang.
            H. Richard Nierburh, seorang teolog protestan Amerika, yang di tengah-tengah berkecamuknya perang dunia II mengajukan pertanyaan ini: Apakah yang Tuhan sedang kerjakan di tengah-tengah perang seperti ini? Ia menelaah KS untuk mencari perspektif yang memungkinkan dia untuk memahami misteri tindakan Allah yang tersembunyi di dalam tragedi kemanusiaan itu. Ia menggunakan simbol-simbok biblis dalam bentuk pengadilan dan penyaliban untuk menafsirkan penderitaan para korban perang. Nierburh tidak berpretensi bahwa ia mengetahui pikiran Tuhan, melainkan ia merasa menemukan pola tindakan Allah dalam KS yang bisa dipakai untuk menjelaskan tindakan Allah di tengah-tengah berkecamuknya perang. Pola penggunaan KS ini membantu orang beriman untuk menemukan bentuk kehadiran Tuhan dalam kehidupan yang nyata. Menurut Niebuhr Tuhan tidak memihak kepada siapapun dalam perang yang sedang berkecamuk itu, melainkan mengajak semua pihak untuk bertobat. KS selalu menyediakan sumber inspirasi di mana kita dapat memahami kehendak Tuhan bagi kehidupan kita.

1.5.5. Paradigma Panggilan Kemuridan (Call to Discipleship)
Paradigma penggunaan KS ini langsung menunjuk pada tindakan Yesus memanggil para murid-Nya untuk mengikuti Dia. Mengikuti Yesus berarti menjadi murid-Nya. Menjadi murid Yesus itu unik sekali, pertama, Yesus yang mencari murid-murid; kedua, tidak pernah tamat, ketiga, harus tinggal bersama dengan Dia. Murid-murid para Rabbi Yahudi mencari guru, ada saatnya tamat dan tidak tinggal bersama Rabbi mereka. Bahkan untuk menjadi murid Yesus seorang kristen perlu mengenakan cara hidup Yesus yang sangat unik dan khas juga. Orang kristen perlu memahami dengan baik cara berfikir Yesus, Visi-Nya, sikap-sikap-Nya, perhatian-Nya, perilaku-Nya, cara-Nya bergaul dengan sesama, cara-Nya berdoa kepada Allah Bapa, cara-Nya menghadapi penggodaan, cara-Nya menghadapi penderitaan dan seterusnya.
Kalau seorang Kristen menerima semangat hidup Yesus untuk meresapi semangat hidupnya sendiri, maka ia akan menemukan bahwa ternyata banyak nilai-nilai kristiani akan berlawanan dengan nilai-nilai dunia ini. Nilai-nilai komunitas beriman kristiani akan bertentangan dengan nilai-nilai sekular dunia ini. Sebagai contoh, menurut Stanley Hauerwas, perdebatan tentang aborsi adalah bagaikan perdebatan tiada henti di antara dua orang yang tuli. Kedua belah pihak tidak mampu mendengarkan pendapat pihak yang lainnya. Masing-masing berbicara menurut isi pikirannya sendiri dan tidak dapat mendengarkan lawan bicaranya dan tidak bisa saling memahami karena pandangan yang dianut tidak cocok satu sama lain. Kelompok Pro-life melawan aborsi berdasar pada keyakinan filosofis daripada landasan iman kristiani yang jelas. Kelompok pro-choice menyetujui aborsi berdasarkan pada mentalitas budaya liberal yang sangat mengagungkan pilihan bebas dan otonomi individu. Pertanyaan sesungguhnya dalam persoalan abortus adalah bukan bahwa janin itu sudah memiliki hidup manusiawi atau belum, melainkan apakah janin itu bayi atau bukan bayi. Orang kristen mestinya bertanya kita ini ingin menjadi komunitas manusia yang mau menerima kelahiran seorang bayi atau tidak? Seorang bayi yang lahir di tengah kita itu kita anggap sebagai berkat atau ancaman? Kalau kita mendalami KS, maka kita akan menemukan norma moral yang menuntun kita untuk memiliki sikap-sikap Yesus. KS dipakai sebagai sumber ilmu moral untuk menemukan norma moral Yesus Kristus.

1.5.6. Paradigma Kasih yang tanggap ( Responsive Love)
KS dipakai untuk menemukan ajaran utama Yesus dan ternyata itu terdapat dalam Yoh 15:12 di mana Yesus berkatan, “Kasihilah satu akan yang lain sama seperti Aku telah mengasihi kamu” (As I have loved you). KS mewartakan bahwa Yesus terlebih dahulu sudah mengasihi kita. Karena kita sudah mendapatkan kelimpahan kasih dari Yesus, maka kini giliran kita untuk mengasihi satu sama lain. Perintah moral dasar yang muncul di sana ialah perintah untuk mengasihi, namun bukan sembarang mengasihi, melainkan mengasihi seperti Yesus telah mengasihi kita. Maka KS perlu dipakai untuk mencari tahu bagaimana caranya Yesus telah mengasihi. Yesus menyembuhkan orang yang sakit kusta (Luk. 17: 11-19); Yesus singgah di rumah Zakeus pemungut cukai (Luk. 19: 1-10); Yesus membela seorang perempuan yang berzinah (Yoh. 8: 1-11); Yesus memanggil Matheus pemungut cukai menjadi murid-Nya (Mat. 9: 9-13), Yesus mengampuni penjahat yang bertobat (Luk. 23: 41-43). Kalau kita sudah tahu bagaimana Yesus mengasihi, maka kita bisa meniru Dia dan mempraktekkannya untuk sesama kita. Dengan cara ini kita melakukan Imitatio Christi (mengikuti jejak Kristus). Sebagai contoh adalah ketika Paulus menghimbau umat di Filipi supaya lebih mendahulukan kepentingan sesama dari pada kepentingan diri sendiri. Paulus meminta umat di Filipi dengan sebuah kidung Kristologis yang sangat Indah dalam Fil. 2: 1-11. Diawali dengan kata-kata ajakan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah... telah mengosongkan diri-Nya sendiri.
KS sungguh-sungguh merupakan harta rohani yang sangat berharga untuk mendapatkan pedoman hidup dan pegangan moral yang bersumber dari pikiran, perasaan, kehendak dan tindakan Yesus sendiri. Ajaran Yesus merupakan kebijaksanaan yang lahir dari pikiran, perasaan dan kehendak-Nya. Namun Yesus bukan hanya mengajarkan dengan mulut melainkan melaksanakannya dalam tindakan. Maka Teologi Moral perlu menggunakan KS untuk menemukan pola pikir dan pola tindak Yesus sendiri yang menjadi norma tindakan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar